Kisah 101 Desa Bermasalah di Konawe
Desa Watunggarandu di Kecamatan Lalunggasumeeto, Kabupaten Konawe, berada sekitar 16 kilometer dari Kota Kendari, ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara
Sebanyak 101 desa di Konawe dan Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, diduga kuat bermasalah. Pendirian desa-desa ini tidak dilandasi aturan yang benar. Kejanggalan banyak ditemukan di lapangan. Namun, desa-desa ini terus mendapat kucuran dana desa yang bernilai ratusan miliar rupiah.
Desa Watunggarandu di Kecamatan Lalunggasumeeto, Kabupaten Konawe, berada sekitar 16 kilometer dari Kota Kendari, ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara. Desa ini lebih mudah dicapai dari Kendari ketimbang dari pusat Kabupaten Konawe yang berjarak 77 kilometer.
Sebuah poster berukuran 2 meter x 3 meter terpancang di depan kantor Desa Watunggarandu, Kamis (14/11/2019). Nominal APBDes Watunggarandu 2019 sebesar Rp 1.142.372.000 tercetak di poster. Nilai itu merupakan gabungan dari dana desa, alokasi dana desa (ADD) 2019, dan ADD 2018.
”Ini sengaja kami cetak besar-besar biar warga tahu pendapatan dan pengeluaran desa. Nilai itu digunakan untuk banyak kegiatan,” kata Makmur, Pelaksana Tugas Kepala Desa Watunggarandu yang menjabat selama setahun terakhir. Tahun 2019 merupakan ketiga kali Watunggarandu mendapat dana desa. Selama tiga tahun totalnya Rp 2 miliar. Anggaran digunakan antara lain untuk pembangunan dan peningkatan jalan, drainase, tandonisasi, serta berbagai program pemberdayaan yang dilakukan.
Khusus dana desa tahap ketiga yang nilainya sekitar Rp 250 juta, hingga kini belum cair. Makmur menduga, hal itu terjadi seiring adanya masalah dana desa di Konawe. Desa Watunggarandu memang menjadi salah satu yang janggal. Meski terletak di ibu kota Kecamatan Lalunggasumeeto, belum ada satu pun yang berbentuk kelurahan. Di wilayah itu ada 11 desa.
Rencana pembentukan kelurahan di wilayah ini telah lama disiapkan. Sebuah bangunan yang direncanakan menjadi kantor kelurahan telah dibangun. Hanya saja, bangunan ini tidak lagi digunakan dan terasnya penuh kotoran kambing. Di satu sisi, nama Kelurahan Watunggarandu tercatat hingga di Kementerian Dalam Negeri. Nama kelurahan ini dengan mudah ditemukan di laman kemendagri.go.id.
Sekretaris Camat Lalunggasumeeto Rustam Alkam menuturkan, di wilayahnya belum ada kelurahan yang terbentuk. Ia tidak tahu mengapa di wilayah ini belum terdapat kelurahan. Padahal, kelurahan merupakan syarat mutlak terbentuknya kecamatan.
Desa Watunggarandu diketahui sebagai salah satu dari 56 desa yang tercatat dibentuk dan didefinitifkan berdasarkan Perda Nomor 7 Tahun 2011. Meski tercatat hingga Kemendagri, aturan ini bermasalah karena Perda No 7/2011 tercatat sebagai pengesahan APBD Konawe, bukan aturan pembentukan desa.
Desa Lerehoma, di Kecamatan Anggaberi juga dibentuk berdasarkan aturan bermasalah Perda No 7/2011. Desa ini hanya dihuni belasan keluarga. Total ada 20-an rumah, enam di antaranya rumah kebun.
Jasran, mantan Kepala Desa Lerehoma hingga pertengahan 2018, menuturkan, wilayahnya telah lama disiapkan untuk menjadi desa. Meski demikian, jumlah warga yang tercatat hanya 55 keluarga. Desa ini telah mendapatkan dana desa sejak 2017. Dalam salinan Perda No 7/2011, desa ini disebutkan memiliki 190 keluarga. ”Tidak benar itu Perda No 7/2011. Salah semua isinya,” kata Jasran
Aturan ”siluman”
Perda No 7/2011 tentang pembentukan dan pendefinitifan desa dianggap bermasalah karena tidak pernah tercatat dan tidak dibahas, tetapi menjadi dasar pembentukan 56 desa. Sejak 2017, semua desa itu menerima dana desa.
Aturan lain yang juga tidak tercatat di badan hukum daerah adalah Perda Nomor 7 Tahun 2012 yang juga tentang pembentukan dan pendefinitifan desa. Sebanyak 27 desa dibentuk berdasarkan aturan yang ditetapkan akhir Juli itu. Desa-desa ini juga tercatat di Kemendagri, lengkap dengan kode wilayah. Sama seperti Perda No 7/2011, aturan ini juga ditandatangai pejabat bupati ketika itu.
Salah satu desa yang tercatat dalam Perda No 7/2012 adalah Desa Asipako, Kecamatan Asinua. Dalam penjelasan perda, disebutkan desa ini memiliki 115 keluarga. Akan tetapi, menurut Kepala Desa Asipako, Mumammad Rum, desa ini hanya memiliki 71 keluarga.
”Desa ini setahu saya definitif sejak 2011. Saya tidak tahu dasar aturannya apa. Beberapa waktu lalu kami juga dimintai keterangan oleh kepolisian terkait ini. Tapi yang jelas desa ini sudah terima dana desa sejak 2015. Tahun ini pagunya Rp 720 juta,” kata Rum yang terpilih sebagai Kepala Desa pada pemilihan langsung 2017.
Ketua DPRD Konawe Ardin yang dikonfirmasi tentang hal ini enggan berkomentar banyak. ”Perda No 7/2011, kan, tidak ada. Kalau untuk Perda No 7/2012 tidak tahu. Nanti saya cek,” katanya. Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Konawe, Apono, menyebutkan, Perda No 7/2011 tidak pernah tercatat sebagai aturan pembentukan desa. Akan tetapi, Perda No 7/2011 yang ada di Konawe adalah tentang pengesahan APBD 2011. Sementara dalam Perda No 7/2012 dipastikan tidak ada pemekaran desa.
Apono menambahkan, sejak 2010 hanya ada dua aturan pembentukan dan pendefinitifan desa, yakni Perda No 2/2011 dan Perda No 1/2014. Khusus untuk Perda No 1/2014, yang ditandatangani oleh pejabat bupati saat ini, diterbitkan saat diberlakukan moratorium pembentukan desa, tepatnya 18 Juli 2014. ”Sampai sekarang saya tidak menemukan adanya surat penolakan terkait aturan ini. Jadi sampai sekarang masih berlaku dan tidak pernah dicabut,” kata Apono, Minggu (17/11).
Tertera dua kali
Berdasar tiga perda bermasalah, yaitu Perda No 7/2011, Perda No 7/2012, dan Perda No 1/2014, terdapat total 117 desa yang dibentuk dan didefinitifkan. Akan tetapi, sebanyak 16 desa di antaranya tertera dua kali di perda yang berbeda sehingga sejatinya ada 101 desa. Sebanyak 22 desa masuk di Konawe Kepulauan dan 79 desa lainnya di Konawe, seiring mekarnya daerah Konawe Kepulauan.
Semua desa ini menjadi penerima dana desa dengan tahun berbeda. Jika dirata-ratakan satu desa mendapat Rp 700 juta, total anggaran untuk 101 desa ini Rp 70 miliar dalam setahun. Desa-desa bermasalah yang menerima dana desa pertama kali diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Kasus ini telah ditangani oleh kepolisian dan sejumlah lembaga lain, termasuk KPK. Berdasarkan temuan KPK, ada aturan yang dibuat dengan tanggal mundur agar pendirian desa tercatat jelas. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Konawe mencatat, ada 297 desa di Konawe yang mendapatkan dana desa. Meski demikian, sebanyak tiga desa telah dihentikan pengucuran dananya sejak 2019 karena diketahui bermasalah. Dengan demikian, total penerima dana desa saat ini di Konawe 294 desa.
Total anggaran dana desa di Konawe pada tahun ini Rp 222 miliar. Pada 2018, anggaran dana desa di Konawe Rp 201 miliar dan pada 2017 sekitar Rp 221 miliar. Di Konkep, ada 90 desa yang tercatat dan menerima dana desa. Sebanyak 22 desa di antaranya dibentuk dengan aturan bermasalah di Konawe. Abdul Halim, Staf Ahli Bupati Konkep, menuturkan, sejumlah desa memang dibentuk oleh aturan saat Konkep masih masuk dalam wilayah Konawe.
”Yang kami tahu, desa-desa ini ada wilayahnya, ada pengurus desa, dan ada penduduknya. Semua desa ini juga mendapatkan dana desa sejak 2015 lalu. Hanya saja, memang ada desa yang penduduknya kurang dari 100 keluarga,” kata mantan Kepala Bappeda Konkep ini, dihubungi dari Kendari.
Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebutkan, kejadian ini tidak hanya harus diusut di daerah, tetapi hingga sampai ke pusat. Sebab, aturan pembentukan desa yang fiktif itu tetap dijadikan dasar pemerintah pusat dalam menetapkan desa penerima dana desa.
Kejadian ini menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana mungkin sebuah aturan yang tidak tercatat di daerah, bisa tercatat hingga ke kementerian? Lalu, siapa yang mengusulkan dan membuat aturan-aturan bermasalah ini?
Publik berharap penyelidikan yang dilakukan bisa membuka kejadian yang menurut Agus Rahardjo, Ketua KPK, sebagai modus baru dugaan penyalahgunaan anggaran.