Sebanyak 516 kapal asing ditenggelamkan di era Menteri Kelautan dan Perikanan (2014-2019) Susi Pudjiastuti. Kini, saatnya fokus pemberdayaan nelayan lokal.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Jumat (1/11/2019) malam, menumpang perahu dayung bercadik, Kompas bertolak dari pesisir pantai Desa Tial, Kabupaten Maluku Tengah, menuju tengah Laut Banda. Perahu itu didayung Agung Rolobessy (21), nelayan setempat. Pemuda berlengan kekar itu tampak santai mendayung perahu dialun gelombang 0,5 meter.
Kami berdua saja di perahu yang sebetulnya hanya mampu membawa satu orang itu. Panjang perahu tak lebih dari 3 meter, lebar dan tinggi lunas hampir sama, sekitar 50 cm. Agung terus mendayung mencari titik biasanya ia memancing. Sekitar 1.000 meter lepas dari darat, ia mendayung pelan.
Dibantu cahaya bulan sabit, ia meneropong dengan mata telanjang ke dasar laut, mencari titik dituju. ”Ini sudah. Sarang ikan ada di sini,” ujarnya sambil melepas jangkar.
Dasar laut di titik itu terlihat meski samar-samar. Pasir putih dan batu karang itulah sarang ikan karang, seperti kerapu dan kakap. Meski ada di laut, kedalaman di titik itu sekitar 5 meter. Oleh warga setempat, dangkalan itu disebut tanusang. Di situ banyak ikan.
Sayang, nelayan lokal minim sentuhan pemberdayaan. Perahu dan alat tangkap minimalis dan terbatas.
Tiga menit melempar umpan, tali pancing bergerak. Ikan yang terus melawan mulai dikendalikan hingga ditarik masuk ke perahu. Kerapu berbobot sekitar 8 ons jadi hasil pertama. Malam itu, sepuluh ikan ditangkap. Tidak termasuk yang lolos, terlepas dari kail, atau senar putus.
Selain menemukan rumah ikan karang, faktor lain yang menentukan tangkapan adalah arus. Semakin kencang arus laut, peluang dapat ikan kian tinggi.
Pengalaman memancing itu menunjukkan kekayaan perairan Maluku. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku menunjukkan, perairan Maluku menyumbang 30 persen tangkapan ikan Nusantara. Provinsi Maluku ada pada tiga wilayah pengelolaan perikanan, yakni Laut Arafura, Laut Banda, dan Laut Seram.
Sayang, nelayan lokal minim sentuhan pemberdayaan. Perahu dan alat tangkap minimalis dan terbatas. Di Maluku ada sekitar 150.000 rumah tangga nelayan. Kurang dari 10 persen yang merasakan program pemberdayaan.
Pascapenenggelaman
Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Ruslan Tawari mengatakan, euforia penenggelaman kapal berlalu. Sebanyak 516 kapal asing ditenggelamkan di era Menteri Kelautan dan Perikanan (2014-2019) Susi Pudjiastuti. Kini, saatnya fokus pemberdayaan nelayan lokal.
Di desa binaan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpati, yakni Desa Kawa, Kabupaten Seram Bagian Barat, banyak nelayan lokal tak punya perahu motor. Mereka menggunakan perahu dayung kecil. Banyak yang berutang kepada rentenir dengan bunga tinggi sehingga sulit keluar dari kemiskinan.
Kun Kusno, pengusaha perikanan di Maluku, menyarankan model pemberdayaan dengan kredit ringan perbankan kepada nelayan. Nelayan penerima bantuan direkomendasi perusahaan penerima tangkapan si nelayan. ”Supaya datanya betul. Pemberian bantuan banyak yang salah sasaran,” ujar Kun.
Itungan Kun, seorang nelayan butuh modal Rp 40 juta hingga Rp 50 juta untuk membeli perahu dan mesin. Jika rajin melaut, penghasilan sebulan sekitar Rp 20 juta. Itu bisa untuk bayar angsuran, biaya hidup, dan tabungan. ”Nelayan dilatih menabung. Sebagian besar nelayan kita konsumtif,” ujarnya.
Iklim usaha
Masalah terbesar usaha perikanan adalah mahalnya biaya angkutan logistik. Pengusaha menjerit. Akibatnya, harga beli ikan dari nelayan diturunkan. Ikan cakalang yang sebelumnya Rp 20.000 per kilogram, anjlok hingga Rp.9.000 per kg. ”Bertahun-tahun kami bermitra dengan nelayan lokal, kami tak bisa banyak membantu mereka,” ujar Kun.
Sebagai contoh, ongkos pengiriman ikan dari Ambon ke Surabaya menggunakan kapal laut Rp 2.200 per kg. Dalam satu peti kemas ukuran 20 kaki yang diisi 15.000 kg, pengusaha harus menyiapkan Rp 33 juta. Itu ongkos angkutan masuk pelabuhan, biaya administrasi di pelabuhan, ongkos angkutan kapal, pengawalan oleh petugas, dan biaya tak terduga.
Bertahun-tahun kami bermitra dengan nelayan lokal, kami tak bisa banyak membantu mereka.
Begitu pula ongkos melalui pesawat udara. Tarif kargo pesawat dari Bandara Pattimura ke Jakarta Rp 31.000 per kg ikan segar, melonjak 181,8 persen dari sebelumnya Rp 11.000 per kilogram. Ekspor ikan segar dari Maluku anjlok.
Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Ambon mencatat, frekuensi pengiriman ikan dari Maluku melalui pesawat pada Februari 2019 hanya 211 kali senilai Rp 2,2 miliar. Jumlah itu menurun 87 persen dibandingkan tahun sebelumnya senilai Rp 16,5 miliar.
Di Maluku, potensi ikan memang melimpah, seperti memancing malam itu. Namun, masalah yang ada tak kalah besar.