Peluang Korban Penipuan First Travel untuk Memperjuangkan Haknya Belum Berakhir
›
Peluang Korban Penipuan First ...
Iklan
Peluang Korban Penipuan First Travel untuk Memperjuangkan Haknya Belum Berakhir
Perjuangan korban penipuan layanan umrah First Travel belum berakhir. Sebagian kalangan berpendapat, jaksa bisa mengajukan upaya peninjauan kembali dengan dasar pemikiran untuk mencari kebenaran materiil.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung berpeluang memperjuangkan aset penyedia layanan umrah First Travel (FT) agar dikembalikan ke korban penipuan. Sebagian kalangan berpendapat, jaksa bisa mengajukan upaya peninjauan kembali dengan dasar pemikiran untuk mencari kebenaran materiil. Jaksa Agung juga bisa mengajukan upaya kasasi demi kepentingan hukum.
Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 263 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana memang hanya membolehkan terpidana dan ahli waris yang melakukan peninjauan kembali (PK). Namun, hak-hak para pihak tidak dibatasi untuk mencari kebenaran materiil melalui PK.
”Dengan dasar pikiran seperti itu dan yang diperjuangkan juga kepentingan umum, saya mendukung Jaksa Agung untuk melakukan PK sebagai terobosan hukum acara,” kata pengamat hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, di Jakarta, Selasa (19/11/2019).
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji berpendapat, PK sebagai upaya hukum luar biasa tidak cukup memadai dari aspek legalitas meskipun pendekatan prinsip keadilan membenarkan hal ini.
Dia menawarkan upaya hukum luar biasa lain, yakni kasasi demi kepentingan hukum. ”Kasasi demi kepentingan hukum lebih tepat digunakan karena Jaksa Agung memiliki otoritas penuh yang berisi risalah dan memuat alasan permintaan yang umumnya tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan dalam hal ini pelapor atau korban FT,” katanya.
Mengacu Pasal 295 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jaksa Agung dapat mengajukan satu kali kasasi demi kepentingan hukum terhadap semua keputusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, kecuali keputusan Mahkamah Agung. Namun, dalam praktiknya, menurut Indriyanto, kasasi demi kepentingan hukum ini dilakukan terhadap semua keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kemarin, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan pihaknya menuntut agar aset FT dikembalikan kepada korban. Namun, keputusan pengadilan di tingkat pertama, banding, dan kasasi menyatakan bahwa aset FT disita untuk negara.
”Karena keputusan demikian, kami kesulitan melakukan eksekusi. Kami masih membicarakan langkah hukum yang akan dilakukan. Untuk kepentingan umum, PK mungkin akan coba dilakukan,” katanya.
Sebelumnya, Asro Kamal Rokan, salah seorang korban FT, menyatakan bahwa keputusan pengadilan yang menyerahkan seluruh harta FT ke negara sangat menyakitkan. Asro beserta 14 anggota keluarganya dirugikan Rp 160 juta. Total kerugian akibat tindakan penipuan FT mencapai Rp 905,33 miliar dari total 63.310 calon jemaah umrah yang gagal berangkat.
Pada Juli 2017, Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi menghentikan kegiatan pendaftaran umrah baru untuk program promo FT. Biaya umrah program promo Rp 14,3 juta. Padahal, sesuai data Kementerian Agama, biaya umrah 1.600 dollar Amerika Serikat (AS) per orang atau Rp 22 juta. Program promo itu disubsidi dari program lain. Namun, ada kelebihan jumlah peserta program promo sehingga pihak yang harus disubsidi melebihi alokasi.
Berselang beberapa hari setelah penghentian program promo FT itu, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama mencabut izin FT sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah.
Pengadilan Negeri Depok pun sudah menjatuhkan vonis terhadap tiga terdakwa, yaitu Direktur Utama First Travel Andika Surachman, Direktur Anniesa Hasibuan, dan Direktur Keuangan sekaligus Komisaris First Travel Siti Nuraida Hasibuan alias Kiki. Andika dan Anniesa dihukum masing-masing 20 tahun dan 18 tahun penjara serta denda Rp 10 miliar. Sementara Kiki dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.