Pengepul dan Petani Kelapa Lampung Dibuat Pusing akibat Kemarau
›
Pengepul dan Petani Kelapa...
Iklan
Pengepul dan Petani Kelapa Lampung Dibuat Pusing akibat Kemarau
Kemarau panjang tak hanya membuat kekeringan atau musim tanam mundur, tetapi juga membuat produksi kelapa di Lampung menurun drastis. Kualitas buah kelapa pun jadi lebih buruk.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Kemarau panjang tak hanya membuat kekeringan atau musim tanam mundur, tetapi juga membuat produksi kelapa di Lampung menurun drastis. Kualitas buah kelapa pun jadi lebih buruk.
Suryadi (32), petani dan pemanjat kelapa di Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung, mengungkapkan kegundahannya. Kemarau berdampak terhadap produksi buah kelapa sehingga paling banyak hanya 10 butir per pohon. Padahal, di luar kemarau, ia bisa mengumpulkan 20-25 kelapa untuk setiap pohon yang ia panjat.
”Saya lebih capek karena harus memanjat banyak pohon kelapa, bisa sampai 20 pohon sehari,” kata Suryadi, ditemui di rumahnya, Selasa (19/11/2019).
Tak hanya itu, dia juga harus mencari buah kelapa lebih jauh. Selain di daerah Bandar Lampung, biasanya Suryadi mencari hingga ke Kabupaten Pesawaran. ”Kelapa di kebun saya sudah habis. Saya hanya punya 15 pohon dan tidak semuanya berbuah,” ujarnya.
Biasanya ia membeli kelapa dari petani yang ditemuinya di kebun. Ia memanjat pohon kelapa sendiri, lalu menggunakan sepeda motor untuk menjual kelapa-kelapa tersebut kepada pedagang kecil di pinggir jalan dan pasar tradisional di Bandar Lampung.
Selain produksi yang menurun drastis, ukuran buah kelapa juga lebih kecil. Akibatnya, meski pasokan sedikit, harga buah kelapa tidak naik karena kualitasnya tidak bagus. Saat ini, harga satu kelapa di tingkat petani Rp 1.500-Rp 2.000 per butir.
”Kemarau membuat kelapa lebih cepat tua. Banyak kelapa yang ukurannya terlalu kecil sehingga tidak laku dijual,” katanya.
Narto (40), petani kelapa lainnya, mengatakan, saat kondisi normal dia bisa memanen kelapa setiap satu bulan. Namun, karena kemarau panjang, 40 pohon kelapa di ladangnya tidak kunjung berbuah. ”Saya sudah tidak panen sejak empat bulan terakhir,” ujarnya.
Padahal, biasanya ia mendapat uang Rp 500.000-Rp 1 juta per bulan dari panen kelapa. Saat ini, Narto hanya bisa mengandalkan penghasilan dari panen pisang.
Pengumpul buah kelapa di Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung Selatan, Wardhani (48), mengatakan, pasokan kelapa ke sejumlah pasar tradisional dan pengolah kopra turun 30-50 persen sejak enam bulan terakhir.
Menurunnya pasokan kelapa terjadi karena permintaan kelapa naik. Sementara produksi kelapa di tingkat petani menurun. ”Saya harus mencarinya sampai ke dua atau tiga kabupaten untuk mengumpulkan 10.000 kelapa setiap bulan,” katanya.
Selain dari sejumlah petani di Lampung Selatan, ia juga harus mencari kelapa hingga ke Pesawaran dan Tanggamus. Biaya angkut kelapa yang lebih besar membuat harga jual kelapa naik di tingkat pengepul. Saat ini, harga jual kelapa berkisar Rp 3.000-Rp 3.500 per butir.
”Saat kemarau, kelapa semakin banyak dicari. Kami harus berani menawarkan harga yang lebih tinggi agar petani mau menjualnya kepada kami untuk memenuhi kebutuhan daerah,” tuturnya.