Akibat lambatnya pengiriman dan penyortiran barang, sebanyak 675 ton kelapa bulat asal Sumatera Selatan ditolak Thailand karena kelapa bertunas. Eksportir merugi hingga Rp 2,5 miliar.
Oleh
Rhama Purna Jati / Vina Oktavia
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS - Sebanyak 25 kontainer berisi 675 ton kelapa bulat asal Sumatera Selatan ditolak Thailand karena kelapa bertunas. Eksportir merugi hingga Rp 2,5 miliar akibat lambatnya pengiriman dan penyortiran barang itu.
Kontainer-kontainer itu akan dikirim balik sebulan ke depan. Ini kejadian pertama di Sumsel. ”Biasanya tidak ada pengembalian. Kalaupun ada, tidak sebanyak ini,” ujar Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi Bea Cukai Palembang Dwi Harmawanto di terminal peti kemas Pelabuhan Boom Baru, Palembang , Selasa (19/11/2019).
Sepanjang tahun ini, 5.504 kontainer kelapa bulat dengan berat 94.070 ton diekspor ke beberapa negara, seperti China, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Dari jumlah itu, sekitar 25 persen di antaranya atau 1.527 kontainer dikirim ke Thailand. Nilai devisa ekspor kelapa bulat ini Rp 213 miliar, Rp 89 miliar di antaranya dari Thailand. ”Thailand pengimpor besar selain China,” katanya.
Tidak mungkin eksportir mengirim barang tidak laik, itu akan merugikan mereka sendiri.
Muhammad Rajief Nasir, Direktur PT Central Agro Indonesia, perusahaan pengekspor, mengatakan, alasan Thailand mengembalikan kelapa karena telah bertunas 1-2 cm setibanya di Thailand. Kecil kemungkinan kelapa tak bertunas karena pemetikan hingga tiba di Thailand butuh waktu satu bulan.
Selama ini, kata Rajief, kelapa bertunas tak masalah. Bulan ini saja dikembalikan. ”Kemungkinan ada perubahan regulasi,” katanya. Penolakan itu dari pemerintah, sementara pihak perusahaan tidak mempermasalahkan. Demi mengurangi kerugian hingga Rp 2,5 miliar itu, perusahaan akan mengolah kembali kelapa menjadi kopra, sabut, arang, dan produk lain.
Rajief berharap Pemerintah Indonesia bertemu Pemerintah Thailand terkait hubungan dagang ini. ”Perlu kesepakatan lanjutan, termasuk toleransi tentang tunas di kelapa sehingga barang yang telah dikirim tidak lagi ditolak,” kata Rajief. Kepala Dinas Perdagangan Sumsel Iwan Gunawan mengatakan, kelapa yang diekspor itu layak kirim. ”Tidak mungkin eksportir mengirim barang tidak laik, itu akan merugikan mereka sendiri,” katanya.
Masalahnya, proses pengiriman sehingga setibanya di Thailand terlalu lama. Apalagi, kondisi kontainer lembab. Perlu alat mempercepat distribusi. ”Pemetikan atau pengupasan bisa dipercepat,” katanya.
Selama ini, pemetikan dan pengupasan masih manual. Di tingkat petani dan pengumpul saja bisa tiga minggu. Dengan hasil panen 300 juta butir per tiga bulan, mekanisasi pengolahan kelapa mendesak. Sumsel eksportir kelapa terbesar. Palu berhenti produksi pascagempa.
Kelapa Lampung
Di Lampung, kemarau panjang membuat produksi kelapa menurun drastis. Kualitas buah juga jadi buruk. Suryadi (32), petani dan pemanjat kelapa di Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung, mengatakan, produksi kelapa paling banyak 10 butir per pohon. Biasanya, bisa mengumpulkan 20-25 butir per pohon.
Narto (40), petani kelapa lain, mengatakan, saat normal ia bisa panen setiap bulan. ”Sudah tidak panen empat bulan terakhir,” ujar pemilik 40 batang kelapa itu.