Franz Magnis: Negara Harus Intoleran terhadap Intoleransi
›
Franz Magnis: Negara Harus...
Iklan
Franz Magnis: Negara Harus Intoleran terhadap Intoleransi
Untuk mengatasi persoalan intoleransi yang terus terjadi di Indonesia, aparat negara harus bersikap tegas. Mereka yang bertindak intoleran dan sewenang-wenang mesti ditindak secara hukum.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Untuk mengatasi persoalan intoleransi yang terus terjadi di Indonesia, aparat negara harus bersikap tegas. Mereka yang bertindak intoleran dan sewenang-wenang mesti ditindak secara hukum. Sebab, tanpa penindakan yang tegas, tindakan intoleransi akan terus muncul dan mengganggu kerukunan masyarakat.
”Negara harus intoleran terhadap intoleransi dan mereka yang mau merusak toleransi kita tidak boleh ditoleransi,” kata rohaniwan Franz Magnis-Suseno dalam acara Forum Dialog dan Kerja Sama Lintas Iman untuk Indonesia yang Lebih Baik, Damai, dan Toleran secara Kritis-Konstruktif, Rabu (20/11/2019), di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Forum Dialog dan Kerja Sama Lintas Iman itu diselenggarakan oleh Institut Dialog Antariman di Indonesia (Dian) pada 19-20 November 2019. Forum tersebut dihadiri oleh para tokoh agama, akademisi, pendidik, serta aktivis dari sejumlah wilayah Indonesia, misalnya Papua, Banjarmasin, Ambon, Kupang, Manado, Gorontalo, Palu, Poso, Jakarta, dan Bandung.
Indonesia adalah negara yang toleran, dalam arti minoritas bisa hidup dan beribadah di tengah mayoritas tanpa kesulitan apa-apa dan tanpa merasa takut.
Magnis memaparkan, sebagian besar masyarakat Indonesia sebenarnya masih memiliki sikap toleran terhadap perbedaan. Hal ini terlihat dari banyaknya kelompok minoritas yang bisa menjalankan ibadah di suatu wilayah yang dihuni oleh kelompok mayoritas. ”Indonesia adalah negara yang toleran, dalam arti minoritas bisa hidup dan beribadah di tengah mayoritas tanpa kesulitan apa-apa dan tanpa merasa takut,” katanya.
Namun, di sisi lain, kasus intoleransi juga terus bermunculan selama beberapa waktu terakhir. Magnis mengingatkan, apabila tindakan intoleran terus dibiarkan, sikap toleran masyarakat Indonesia itu bisa jadi akan berubah. Sebab, pembiaran terhadap intoleransi akan memberikan sinyal kepada masyarakat bahwa tindakan intoleran ternyata merupakan sesuatu yang wajar.
Oleh karena itu, Magnis menyatakan, aparat negara tidak boleh membiarkan tindakan intoleransi, misalnya penutupan tempat ibadah atau pembatalan acara diskusi. Dia mengingatkan, dalam melakukan penindakan terhadap kasus intoleransi, aparat mesti berpegang pada konstitusi dan aturan hukum yang berlaku.
”Kalau, misalnya, alat negara membiarkan massa yang beringas menutup rumah ibadah dan membatalkan acara diskusi, itu sinyal yang sangat buruk. Tidak boleh terjadi,” kata Magnis yang merupakan Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Secara khusus, Magnis meminta Presiden Joko Widodo untuk memberikan instruksi tegas terhadap seluruh aparat negara agar tidak membiarkan tindakan intoleransi. Instruksi tersebut penting untuk menjamin agar aparat negara di lapangan berani menindak tegas para pelaku intoleransi.
”Pemerintahan Jokowi harus memberikan instruksi tegas agar aparat negara tidak membiarkan tindakan-tindakan intoleran berjalan. Dibutuhkan ketegasan yang konsisten bahwa tindakan main hakim sendiri tidak diizinkan,” kata Magnis.
Pendidikan
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Amin Abdullah mengatakan, persoalan intoleransi di Indonesia juga berkaitan dengan bidang pendidikan. Sebab, selama beberapa tahun terakhir, sebagian peserta didik ternyata terpapar oleh paham radikal dan sikap intoleran.
Kondisi itu juga terjadi di level perguruan tinggi yang seharusnya bisa membuat seseorang berpikir kritis sehingga tak tertarik dengan paham radikal dan sikap intoleran. ”Beberapa rektor perguruan tinggi mengeluh karena pendidikan tinggi terpapar oleh radikalisme dan toleransi,” kata Amin yang juga merupakan mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Untuk mengatasi persoalan itu, Amin menyebut, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Salah satunya, semua pihak harus memastikan bahwa proses pendidikan yang dijalankan bisa mengenalkan nilai-nilai positif, misalnya saling menghargai perbedaan. Selain itu, proses pendidikan harus memungkinkan perjumpaan di antara elemen masyarakat yang berbeda, terkait beda agama, suku, dan sebagainya.
Yang harus dibuat oleh kabinet sekarang adalah merancang sistem pendidikan yang memungkinkan toleransi hidup di semua level pendidikan.
Salah seorang pendiri Institut Dian, Daniel Dhakidae, mengatakan, pemerintah harus merancang model pendidikan yang bisa menanamkan nilai dan sikap toleran kepada para peserta didik. Daniel menuturkan, penanaman nilai dan sikap toleran itu mesti ditanamkan di semua tingkat pendidikan, terutama di level pendidikan dasar dan menengah.
”Yang harus dibuat oleh kabinet sekarang adalah merancang sistem pendidikan yang memungkinkan toleransi hidup di semua level pendidikan,” kata Daniel.
Sementara itu, Direktur Institut Dian, Elga Sarapung, mengajak seluruh elemen masyarakat sipil di sejumlah daerah untuk bekerja sama memperjuangkan terwujudnya toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia. ”Sekarang bukan era ketika kita harus bekerja sendiri-sendiri, tapi kita harus benar-benar membangun kerja sama. Karena itu, bagi kami gerakan antariman se-Indonesia, jaringan itu sangat penting,” ujarnya.