Produksi kacang sangrai Kawangkoan sebagai produk unggulan Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, masih sangat bergantung pada musim hujan. Aliran penghasilan petani dan penyangrai kacang nyaris terhenti saat kemarau.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA, KOMPAS — Produksi kacang sangrai Kawangkoan sebagai produk unggulan Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, masih sangat bergantung pada musim hujan. Aliran penghasilan petani dan penyangrai kacang nyaris terhenti saat kemarau. Harga kacang di pasar pun ikut berfluktuasi.
Kacang sangrai Kawangkoan adalah produk unggulan khas Minahasa yang menggerakkan roda ekonomi di desa-desa di wilayah Kawangkoan, terutama di Kecamatan Kawangkoan dan Kawangkoan Barat. Kacang itu juga biasa menjadi oleh-oleh wisatawan. Sebuah tugu kacang tanah didirikan di Kelurahan Uner, Kawangkoan.
Setidaknya ada tiga varietas yang dihasilkan di Kawangkoan, yaitu kacang banggai berkulit ari merah, kacang belimbing yang berkulit ari putih, serta kacang blaster yang berukuran besar dan berkulit ari belang. Setelah dipanen, kacang disangrai dengan cara digoreng di atas pasir dalam belanga besar.
Namun, hingga Rabu (20/11/2019), produksi kacang sangrai Kawangkoan telah terhenti selama beberapa bulan akibat kemarau panjang, seperti di Desa Kanonang Satu, Dua, Tiga, Empat, dan Lima, Kecamatan Kawangkoan Barat. Sebagian besar lahan di lima Desa Kanonang masih kosong dan belum diolah.
Hanya beberapa petani yang sudah mulai menggarap lahannya dan menanam bibit kacang tanah, seperti Jerry Warangkiran (62), di Desa Kanonang Empat. Ia telah menanam kacang tanah varietas blaster di lahan seluas 0,8 hektar tiga pekan lalu. Kacang tanah akan dipanen Februari 2020. Perkiraannya, panen bisa mencapai 50 karung kacang tanah setara 7.500 liter dengan harga Rp 800.000-Rp 1 juta per karung.
Selama kemarau, Jerry tidak memiliki pekerjaan ataupun penghasilan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia kerap terpaksa berutang. ”Kami tidak bisa menanam sepanjang tahun karena kebun hanya mengandalkan hujan sebagai sumber air. Tidak ada irigasi untuk mengairi. Kalaupun ada, belum tentu ada pekerja (buruh tani),” kata Jerry.
Saat ini, ia dibantu dua pekerja, Edwan (38) dan Grayen (33). Saat kemarau, mereka pun berganti pekerjaan. Grayen, misalnya, menjadi fotografer bagi wisatawan di obyek wisata utama kelima desa, Bukit Kasih Kanonang.
Karena belum ada panen, pengusaha penyangrai kacang membiarkan belanga penggorengan mereka mangkrak di atas tungku. ”Sudah berbulan-bulan tidak ada panen karena musim kering. Torang nda (kami tidak) bisa jual sama sekali, padahal torang hidup cuma dari kacang,” kata Ani Pantow (70), penyangrai kacang di Desa Kanonang Tiga.
Hal serupa dikatakan Nice Pioh (71), penyangrai kacang di Kanonang Tiga. Ia sempat membeli sekarung kacang tanah (sekitar 150 liter) yang ditanam dan panen selama kemarau. Namun, kualitas kacang tergolong jelek, dengan kulit kacang yang besar, tetapi tidak ada butiran kacang di dalamnya.
Pelanggan kacang di kios milik Yulin Timporok (78) di Kelurahan Uner, Kawangkoan, bahkan mengembalikan kacang yang sudah dibeli. ”Banyak kacang balon yang gendut, tetapi isinya kosong. Ini karena ditanam waktu kemarau, tidak dapat cukup air,” katanya.
Sebaliknya, kelangkaan kacang tanah justru menguntungkan beberapa pengusaha kacang yang lebih besar. Febry Tumbelaka (50), pengusaha penyangrai kacang, menyimpan stok 80 karung beragam jenis kacang yang telah disangrai.
Saya perkirakan, ini bisa memenuhi (kebutuhan) sampai panen lagi Februari nanti.
Ia memperkirakan, di tengah kelangkaan, harga kacang per karung bisa mencapai Rp 1,9 juta-Rp 2 juta. Normalnya, harga hanya Rp 1 juta-Rp 1,2 juta per karung.
”Saya sudah 25 tahun menggeluti bisnis ini, jadi tahu kapan harus mulai menumpuk stok. Saya perkirakan, ini bisa memenuhi (kebutuhan) sampai panen lagi Februari nanti,” katanya. Di beberapa toko di pusat Kawangkoan, kacang sangrai dijual Rp 17.500 per liter. Saat musim panen, harga per liter hanya Rp 12.500.
Tak tercapai
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Minahasa pada 2018, ada sekitar 7.000 hektar kebun kacang tanah dengan luas tanam 6.250 hektar. Dengan produktivitas 1,47 ton per hektar, Minahasa bisa menghasilkan 9.187,5 ton kacang tanah sepanjang tahun.
Kecamatan Kawangkoan dan Kawangkoan Barat memiliki sekitar 800 hektar kebun kacang tanah dengan luas panen 700 hektar. Potensi panennya pada 2018 mencapai 1.033,9 ton. Namun, panen yang bergantung pada musim hujan membuat potensi itu tak tercapai.
Hukum Tua (kepala desa) Kanonang Dua Welly Rawis mengatakan, para petani membutuhkan sumber air yang terus-menerus. Pihaknya berencana membuat sumur bor dengan dana desa. Namun, dana desa sekarang masih difokuskan pada pekerjaan fisik, seperti pembuatan jalan desa.
Kepala Dinas Pertanian Minahasa Yeittij Fonnie Roring mengatakan, pihaknya telah merencanakan pembuatan sumur tanah di sekitar perkebunan kacang tanah Kawangkoan dan Kawangkoan Barat pada 2020. Ia telah mengajukan penyediaan irigasi bagi lahan kacang tanah seluas 1.500 hektar.
”Namun, harus kita lihat dulu, apa bisa kita buat irigasi di sana. Kalau bisa, nanti akan kami akan buat. Saya sudah usulkan ke pusat,” katanya.
Yeittij juga mengusulkan penyediaan bibit unggul kacang tanah varietas kelinci untuk mengatasi masalah ”kacang balon”. Bibit itu akan dibagikan kepada warga di Kanonang dan Kanonang Barat sebagai daerah prioritas.
Sementara itu, Kepala Dinas Perdagangan Minahasa Sherly Bukara mengatakan, kacang sangrai Kawangkoan kini belum tersentuh industri skala besar. Perusahaan-perusahaan industri kacang tidak melirik kacang Kawangkoan karena pasokannya rendah dan tidak tetap. Pengemasan pun masih sangat sederhana dengan plastik dan logo hasil fotokopi.