Penegakan Hukum Minim Apresiasi
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mendapat nilai merah pada akhir masa jabatan mereka dalam bidang penegakan hukum. Respons pemerintah yang berbeda-beda dalam menyikapi sejumlah persoalan hukum yang muncul.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk periode kedua disambut dengan berbagai persoalan politik, ekonomi, hukum, dan sosial yang berat. Penegakan hukum menjadi tantangan berat selain beban ekonomi yang harus dijawab Pemerintahan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin lima tahun ke depan.
Pekerjaan rumah ini berasal dari nilai merah yang diberikan publik atas kinerja pemerintah selama lima tahun terakhir. Respons pemerintah yang berbeda-beda dalam menyikapi sejumlah persoalan hukum yang muncul sejak akhir tahun 2018 ternyata berdampak buruk.
Kepuasan responden survei nasional yang secara periodik dilaksanakan Litbang Kompas atas kinerja penegakan hukum terus merosot selama setahun terakhir. Ini mengindikasikan apresiasi yang rendah terhadap kemampuan pemerintah dalam menangani persoalan hukum.
Kepuasan responden survei nasional yang secara periodik dilaksanakan Litbang Kompas atas kinerja penegakan hukum terus merosot selama setahun terakhir.
Cara pemerintah menangani kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, yang sudah berbulan-bulan tanpa hasil yang memuaskan menimbulkan sinisme sebagian masyarakat terhadap pemerintah. Alih-alih menjawab rasa ingin tahu publik, cara pemerintah mengungkap fakta yang kurang terbuka justru mengundang kecurigaan publik.
Sementara, di sisi lain langkah-langkah yang diambil pemerintah bersama DPR dalam konteks seleksi pimpinan KPK dan RUU KPK juga menjadi sorotan. Kedua lembaga pemerintahan tersebut juga sangat getol untuk merevisi sejumlah undang-undang yang berkaitan langsung dengan hajat hidup masyarakat. Dua diantaranya adalah upaya merevisi UU KPK dan RKUHP.
Pemilihan waktu yang terlalu mepet dengan penutupan masa sidang DPR dan masa kerja pemerintah untuk membahas sejumlah UU tersebut menimbulkan kesan memaksakan kehendak. Hasil paling kontroversial dari langkah Pemerintah dan DPR ini adalah revisi UU KPK. Meskipun ada demo mahasiswa, pelajar dan sejumlah elemen masyarakat yang menolak pengesahannya.
Evaluasi publik
Respons masyarakat yang cukup riuh menanggapi berbagai langkah penegakan hukumatas kasus-kasus yang menjadi perhatian publik juga tercermin dari responden survei Kompas. Penilaian ini mewujud dalam ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam bidang hukum.
Dalam Survei Kepemimpinan Nasional pada Oktober ini terungkap, separuh responden tidak puas dengan cara pemerintah menangani persoalan hukum. Hanya 49,1 persen yang masih puas dengan kinerja pemerintah tersebut.
Skor ini merosot dari penilaian awal pemerintahan yang pada Januari 2015 mencapai hampir 60 persen. Bahkan, dibandingkan dengan bidang politik dan keamanan serta bidang sosial, tingkat kepuasan bidang hukum paling tajam turun yakni 10,8 persen. Sebaliknya, kenaikan apresiasi justru diberikan untuk kinerja di bidang ekonomi.
Jika dilihat ke belakang, tingkat kepuasan bidang hukum terus menurun sejak April 2018. Kala itu tingkat kepuasan sebesar 66 persen kemudian menurun hingga di pengujung masa pemerintahan. Selama lima tahun ini, terhitung sebanyak tiga kali tingkat kepuasan publik di bidang hukum berada di bawah 50 persen.
Pertama, hasil survei periode April 2015 mencatat tingkat kepuasan sebesar 43,6 persen. Angka ini sekaligus menjadi yang terendah selama survei dilakukan. Kala itu terjadi polemik KPK-Polri berkaitan dengan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Sementara tingkat kepuasan tertinggi justru terjadi pada April 2018, yaitu 66 persen.
Pada April 2018, penyelidikan terkait kasus korupsi KTP-el dilakukan. Terlebih Setya Novanto kala itu ditetapkan sebagai salah satu tersangka. Fluktuasi tingkat kepuasan memang erat kaitannya dengan respons pemerintah terhadap peristiwa hukum yang ada di negeri ini.
Lima tahun perjalanan nawacita keempat yang berbunyi ”Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya” tampaknya sebatas agenda di awal pemerintahan saja. Pada kenyataannya, hukum acap kali diwarnai kepentingan politik ketimbang melindungi hak-hak warga negara.
Kepuasan per bidang
Hasil survei enam bulanan menunjukkan kinerja dalam menuntaskan kasus hukum, seperti kriminalitas dan narkotika mendapat kepuasan tertinggi dari masyarakat.
Sampai saat ini, pemerintah memang kerap menunjukkan taringnya dengan menjebloskan pemakai narkotika ke penjara, padahal penjara bukanlah solusi. Stigma narkotika sebagai masalah kriminalitas justru ditonjolkan daripada persoalan kesehatan.
Pendekatan pidana yang dilakukan terhadap persoalan narkotika terbukti tidak efektif. Hal ini diperparah dengan diaturnya pidana narkotika dalam RKUHP. Rumusannya pun tanpa perbaikan dari UU Narkotika sebelumnya.
Selain itu sebanyak 52,5 persen responden mengaku puas terhadap kinerja pemerintah dalam menjamin perlakuan yang sama oleh aparat hukum atau dikenal dengan equality before the law. Sayangnya, dalam praktik hukum masih memandang jenis kelamin atau harta seseorang.
Berdasarkan Laporan Penilaian Penerapan Prinsip Fair Trial di Indonesia 2018 oleh Institute for Criminal Justice Reform memberikan nilai cukup (53,6 persen) pada indikator pemenuhan prinsip kesetaraan di muka hukum. Dalam laporan tersebut ditemukan pemeriksaan terhadap orang miskin dilakukan secara cepat. Bahkan, dalam dua kali persidangan saja sudah diputus bersalah.
Pendapat publik terbelah dalam aspek pemberantasan KKN yang dilakukan oleh pemerintah. Sepanjang 2004-2018, terhitung KPK sudah menyelidiki 1.135 kasus korupsi. Di satu sisi pengungkapan kasus korupsi menjadi sinyal positif bekerjanya hukum di negeri ini, tetapi di sisi lain juga membuat masyarakat antipati terhadap pejabat publik.
Dua bidang lainnya yang harus mendapat perhatian adalah menuntaskan kasus kekerasan aparat (pelanggaran HAM) dan memberantas suap dan jual beli kasus hukum. Sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masih belum tuntas juga, seperti peristiwa 1965-1966, peristiwa kerusuhan Mei 1998, dan peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998.
Berdasarkan Laporan Penilaian Penerapan Prinsip Fair Trial di Indonesia 2018 oleh Institute for Criminal Justice Reform memberikan nilai cukup (53,6 persen) pada indikator pemenuhan prinsip kesetaraan di muka hukum.
Korupsi di lembaga peradilan juga masih terjadi, termasuk dalam pengadilan tipikor yang seharusnya mengadili perkara korupsi. Laporan Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2017 menunjukkan bahwa fenomena korupsi di pengadilan tidak hanya dalam bentuk suap kepada hakim atau panitera.
Praktik pungutan liar atau pungli yang dilakukan oleh oknum pengadilan dalam memberikan layanan publik kepada masyarakat ternyata masih ada. Praktik ini masih terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta, Medan, Serang, Bandung, Malang, dan Yogyakarta. Modusnya adalah pengenaan biaya layanan tambahan di luar ketentuan penerimaan negara bukan pajak dan permintaan uang lelah yang berkorelasi dengan waktu pelayanan.
Pengadilan yang bersih dan berintegritas tampaknya masih jauh dari harapan. Mahkamah Agung harus bertindak tegas kepada jajarannya. Begitu juga dengan Komisi Yudisial dalam menindaklanjuti laporan pengaduan terkait perilaku hakim.
Periode kedua
Sejumlah pekerjaan rumah di bidang hukum saat ini menanti Presiden Jokowi pada periode kedua. Salah satunya adalah RKUHP yang pembahasannya telah berlangsung selama lebih kurang 51 tahun. KUHP sekarang dianggap jauh tertinggal dengan perubahan sosial yang bergerak dengan cepat. Sejatinya, sebuah UU harus bisa mengimbangi perubahan yang terjadi di masyarakat.
Dengan kata lain, perubahan yang terjadi di masyarakat segarusnya bisa dibarengi dengan pembaruan hukum. Meski semangat untuk merevisi KUHP lama membawa semangat pembaruan hukum, pembahasan rancangan perubahannya perlu menghormati hak asasi manusia dan hak privasi yang diatur dalam UU tersebut.
Pengawalan terhadap pembahasan RKUHP harus terus dilakukan, tidak hanya oleh akademisi atau LSM, tetapi juga oleh masyarakat sendiri. Masih ada pasal karet dan pasal warisan kolonial dalam RUU ini. Pertama, mengenai penghinaan presiden yang sebelumnya sudah dibatalkan oleh Putusan MK karena tidak sesuai dengan prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi.
Pengawalan terhadap pembahasan RKUHP harus terus dilakukan, tidak hanya oleh akademisi atau LSM, tetapi juga oleh masyarakat sendiri.
Kedua, tentang kriminalisasi perempuan yang melakukan pengguguran. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 75 UU Kesehatan. Seharusnya pemerintah dan legislatif belajar dari kasus-kasus yang pernah ada. Jangan sampai kejadian ketika korban pemerkosaan melakukan aborsi justru dikriminalisasi terulang kembali.
Terakhir adalah negara yang masuk terlalu jauh ke dalam ranah privat warga negara dengan menggunakan hukum pidana dalam pengaturan mengenai persetubuhan antara lelaki dan perempuan di luar perkawinan serta hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan.
Kini saatnya rakyat mendorong pemerintah baru di bawah pimpinan Jokowi-Amin agar segera menjalankan visi-misi dan program kerja di bidang hukum. Meski sebagian besar rakyat mendukung pemerintahan ini, pengawasan dalam penegakan hukum harus terus dilakukan. Karena itulah jaminan yang bisa dipegang agar Jokowi dan timnya tetap komit dalam menegakkan hukum. (Litbang Kompas/Ida Ayu Grhamtika Saitya)