Mayoritas publik telah merasakan dampak perbaikan dalam penerimaan personel Polri di tingkat tamtama, bintara, perwira. Namun, Polri masih harus menghapus stigma terkait adanya KKN dalam seleksi perekrutan personel baru.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mayoritas publik telah merasakan dampak perbaikan yang dicanangkan Polri dalam penerimaan personel, mulai dari tingkat tamtama, bintara, hingga perwira. Meski begitu, Polri masih memiliki pekerjaan rumah, yaitu menghapus stigma adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam seleksi perekrutan personel baru.
Dalam pemaparan hasil riset Litbang Kompas tentang Monitor dan Evaluasi Seleksi Calon Tamtama, Bintara, dan Taruna Akademi Kepolisian 2019 di Jakarta, Selasa (19/11/2019), terlihat adanya kepuasan mayoritas peserta tes seleksi masuk Polri itu terhadap 17 tahapan seleksi yang harus dilalui.
Dari indeks penilaian 1 sampai 6, tiga tahapan yang dianggap paling baik oleh peserta ialah pemeriksaan psikologi II dengan nilai 5,75, penelusuran mental kepribadian yang mendapatkan nilai 5,74, dan pemeriksaan kesehatan II yang menerima nilai 5,72.
”Angka itu menunjukkan skala kepuasan masyarakat yang mengikuti seleksi penerimaan Polri tinggi. Tingkat kepuasan semakin meningkat seiring jenjang seleksi yang dilalui peserta,” kata peneliti Litbang Kompas, BE Satrio, di Jakarta.
Survei itu dilakukan 310 peserta seleksi masuk Polri 2019 yang terdiri atas tiga jalur. Jalur tamtama sebanyak 30 orang, jalur bintara 248 orang, dan jalur Akademi Kepolisian (Akpol) sebanyak 32 orang.
Wilayah penelitian dilakukan di Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara, Polda Kalimantan Barat, Polda Sulawesi Selatan, Polda Nusa Tenggara Barat, Polda Papua, Polda Jawa Barat, dan Akpol Semarang, Jawa Tengah. Proses wawancara dilaksanakan Juni 2019.
Lebih lanjut Satrio menyatakan, pelaksanaan prinsip Betah (Bersih, Transparan, Akuntabel, dan Humanis) dalam penerimaan anggota baru Polri juga telah menunjukkan tingginya tingkat ketidakpercayaan peserta seleksi terhadap intervensi yang dapat membantu kelulusan mereka. Sebanyak 79 persen peserta tidak percaya bantuan dari pihak internal panitia bisa membantu kelulusan mereka.
Ada pula 73 persen peserta yang tidak percaya orang dalam atau pihak internal seleksi penerimaan Polri dapat mengubah hasil ujian yang berjumlah 17 tahapan. Selain itu, 82 persen peserta juga tidak percaya jika mereka memberikan imbalan kepada pihak tertentu bisa memperlancar proses penerimaan mereka sebagai personel baru Korps Bhayangkara.
Cara ilegal
Meskipun perbaikan telah dilakukan Polri, dalam praktiknya peserta seleksi masuk Polri 2019 masih menemukan adanya fenomena ilegal ”penembak di atas kuda”. Ungkapan ini mengacu pada oknum di luar panitia resmi penerimaan Polri yang menjanjikan kelulusan kepada orangtua dan peserta seleksi jika memberikan sejumlah uang sekitar Rp 200 juta.
Dalam survei yang dilakukan kepada peserta bintara dan Akpol yang berjumlah 280 orang, sebanyak 8 calon siswa atau 3 persen dari total siswa mengaku pernah menerima tawaran bantuan. Jumlah itu berasal dari 4 calon siswa di Polda Sumatera Utara, 2 calon siswa di Nusa Tenggara Barat, dan 2 calon siswa di Papua. Bahkan, 3 calon siswa di antaranya menyebut mereka dihubungi oleh orang yang mengaku anggota Polri.
”Para penembak di atas kuda itu berupaya memanfaatkan ketidakyakinan kemampuan calon siswa dan orangtua,” ujar Satrio.
Stigma
Selain melakukan wawancara langsung kepada peserta dan orangtua peserta seleksi penerimaan Polri, Litbang Kompas juga melakukan survei melalui telepon kepada 525 responden, Agustus 2019. Hasil survei itu menunjukkan 69,7 persen responden tidak yakin proses penerimaan Polri telah bersih dari praktik suap.
Untuk mengikis stigma itu, lanjut Satrio, perlu dilakukan sosialisasi yang lebih gencar. Utamanya, melibatkan orangtua dengan latar masyarakat sederhana yang anaknya lulus serta, andai berkenan, orangtua yang anaknya tidak lulus seleksi untuk menyampaikan pengalaman mereka menjalani proses penerimaan Polri yang obyektif dan transparan.
Sebagai penanggap, komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Andrea H Poeloengan, menilai Polri harus memberlakukan sistem penghargaan dan hukuman kepada panitia seleksi penerimaan Polri. Sebab, panitia seleksi itu menentukan masa depan Polri sehingga hukuman keras perlu diberikan kepada anggota kepolisian yang ”bermain”.
Penanggap lain dalam agenda itu ialah Asisten Utama Ombudsman RI Domikus Dalu dan Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane.
Sementara itu, Kepala Biro Kajian dan Strategi Staf Sumber Daya Manusia Polri Brigadir Jenderal (Pol) Subiyanto menjamin keberadaan oknum yang berusaha mendapat keuntungan dari peserta seleksi masuk Polri bukan berasal dari tim panitia. Ia berharap semua pihak membantu Polri menyosialisasikan prinsip Betah yang telah diterapkan Polri untuk menghindari praktik KKN dalam proses penerimaan personel baru.
”Bahkan, di lingkungan internal Polri sendiri masih ada yang tidak percaya bahwa panitia menerapkan prinsip Betah. Masih ada anggota Polri yang mencari bantuan untuk anaknya yang akan mengikuti seleksi,” ucap Subiyanto.