Lima puluh empat hari terakhir, kecemasan muncul di tengah kehidupan warga Pulau Ambon, Maluku. Ada 2.438 gempa, dan 277 kejadian di antaranya dirasakan di pulau seluas 803,9 kilometer persegi itu. Entah sampai kapan.
Oleh
Frans Pati Herin
·5 menit baca
Cuaca sedang baik, Selasa (19/11/2019), tetapi mendung tampak di wajah George Bakarbessy (7). Siswa kelas II Sekolah Dasar Negeri 1 Waai, Kabupaten Maluku Tengah, ini mencoba menyimak penjelasan guru di depan kelas. Tatapannya kosong. Tenda darurat itu berdiri di kebun warga di ketinggian sekitar 2 kilometer dari pesisir pantai.
Di dalam tenda beratap terpal tanpa dinding ini, ia sering melamun. Lalu, melihat tanaman sekitar. George masih dirundung duka lantaran neneknya, Martha, Selasa (12/11) malam, meninggal akibat serangan jantung saat gempa. Martha menambah deretan korban jiwa yang kini berjumlah 42 orang sejak gempa pertama berkekuatan magnitudo 6,5 mengguncang Pulau Ambon, Seram, Haruku, dan Saparua pada 26 September 2019.
George pun tak dapat menutup kecemasannya. Wajahnya seperti sedang mewaspadai gempa sekaligus siaga. Getaran tanah akibat truk lewat di dekat jalan raya dekat tenda itu kadang direspons sebagai gempa. Mereka sangat sensitif terhadap gempa.
Itulah alasan warga lebih sering beraktivitas di dalam tenda. Retak pada dinding dan tiang rumah ataupun gedung sekolah semakin lebar seiring gempa-gempa susulan yang mengancam keselamatan mereka. Di tengah kondisi itu, permintaan pemerintah agar warga kembali menempati rumah tak direspons baik, termasuk oleh George. ”Kami tidak mau,” ujar George sambil menggelengkan kepala.
Kini, kondisi hampir semua rumah semakin parah dari hari ke hari. Tidak layak ditinggali.
Keluarga George dan 2.226 keluarga di Waai memilih tinggal di tenda. Ada tidaknya bantuan pemerintah yang telah mengakhiri masa tanggap darurat tak membuat mereka pusing. Suplai air bersih dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang semula setiap hari kini tiga hari sekali. Tempat penampungan air di lokasi pengungsian telah dicabut.
”Katanya habis masa kontrak. Sebentar lagi tidak ada suplai air. Biarlah, nanti kami usahakan. Kami tak mau mati konyol,” ujar sukarelawan kebencanaan di Waai, Stefi Tapilaha. Kini, kondisi hampir semua rumah semakin parah dari hari ke hari. Tidak layak ditinggali. Total pengungsi di Waai sebanyak 7.849 orang.
Kecemasan semacam itu juga diakui korban gempa di Desa Tial, sekitar 6 kilometer dari Waai. Gempa yang terus meneror membuat banyak nelayan tak berani melaut. Mereka takut gempa berpotensi menimbulkan tsunami.
Banyak lapak penjual ikan di sepanjang jalur itu kosong. Ketakutan akan bahaya tsunami itu beralasan. Pulau Ambon pernah dilanda tsunami besar. Cerita ini dituturkan turun-temurun hingga saat ini.
Menurut catatan Georg Everhard Rumphius dalam De Levensbeschrijving van Rumphius yang dialihbahasakan Frans Rijoly, terekam gempa besar diikuti tsunami terjadi di Ambon pada 17 Februari 1674, atau 345 tahun lalu. Naturalis Jerman itu mencatat, lebih kurang 2.300 orang meninggal, termasuk istri dan anaknya.
Sadar bahaya
Rekam jejak gempa dan tsunami di Ambon mengisi benak masyarakat. Mereka sadar pada bahaya tersebut. Setiap kali terasa getaran gempa, bayangan tsunami segera hadir. Beberapa warga yang tinggal di dekat pesisir, misalnya, memarkir kendaraan menghadap ke arah dataran tinggi. Jika sewaktu-waktu terjadi gempa berpotensi tsunami, mereka langsung bergerak. Beberapa lagi memilih bermalam di dataran tinggi.
Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Ambon Andi Azhar Rusdin mengatakan, dalam 54 hari terakhir, gempa susulan terjadi 2.438 kali, dengan 277 kejadian dirasakan getarannya. Getaran yang terasa berpotensi merusak.
Meski demikian, frekuensi gempa semakin sedikit. Hari pertama sebanyak 224 kali, sedangkan hari ke-54 ada 18 kali. Berkurangnya frekuensi gempa menandakan sesar pemicu gempa bergerak menuju stabil. Kapan gempa berhenti, belum ada teknologi yang dapat memprediksinya.
Kapan gempa berhenti, belum ada teknologi yang dapat memprediksinya.
Andi hanya mengingatkan masyarakat agar melakukan penyelamatan mandiri saat gempa terjadi sesuai prosedur yang sering disosialisasikan. Misalnya, mencari perlindungan di kolong meja atau tempat tidur, lalu bergerak ke dataran tinggi jika guncangan gempa berlangsung lebih dari 20 detik karena hal itu berpotensi tsunami.
Tingginya frekuensi gempa susulan mendorong Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggandeng peneliti dari Institut Teknologi Bandung untuk meneliti patahan di Pulau Ambon, Seram, Haruku, dan Saparua. Kejadian gempa direkam menggunakan seismograf yang dipasang di 11 titik pada 18 Oktober 2019. Rekaman data tiga minggu pertama sedang diolah, yang menurut rencana akan diperoleh hasilnya awal Desember.
Kepala Subdirektorat Peringatan Dini BNPB Abdul Muhari menyebutkan, gempa susulan yang terekam seismograf malah jauh lebih banyak ketimbang kejadian yang direkam BMKG. Gempa susulan yang terjadi di Ambon lebih banyak jika dibandingkan dengan gempa susulan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Total gempa susulan di Lombok selama tiga bulan itu 663 kali.
Ketua Komnas HAM Provinsi Maluku Benediktus Sarkol berharap hasil penelitian dapat disampaikan kepada masyarakat demi langkah mitigasi lebih dini. Hal itu dapat mencegah jatuhnya korban karena ketidaktahuan masyarakat. ”Model penyampaiannya dikemas secara baik agar tidak menimbulkan ketakutan. Masyarakat juga siap terima bahwa mereka hidup di zona rawan bencana,” katanya.
Di tengah ketakutan masyarakat itu, muncul kesadaran membangun rumah relatif tahan gempa, sebuah kearifan lokal yang pernah ditinggalkan. Masyarakat Maluku menyebutnya rumah bakancing. Rumah itu ditopang tiang kayu yang saling mengunci. Rumah bakancing yang berumur lebih dari setengah abad itu masih berdiri kokoh saat banyak rumah beton yang baru dibangun ambruk dengan atap menyentuh tanah.
Kini, sejumlah orang di lokasi pengungsian Desa Waai menganyam daun sagu untuk dijadikan dinding dan atap rumah. Mereka tak mau lagi tinggal di dalam rumah beton. Seberapa pun kuatnya rumah beton yang dibangun warga, jika terus diguncang gempa, perlahan akan goyah, retak, dan menanti waktu untuk roboh.
Hal itu dikhawatirkan sedang terjadi di Maluku. ”Selamat tinggal rumah beton,” ujar Hein Bakarbessy (71), penyintas gempa di Desa Waai, yang ingin membangun rumah tahan gempa.