Sistem antisuap di lingkungan swasta belum sepenuhnya bisa dilakukan karena aturan yang menopang pembangunan sistem itu belum ada. Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentang Korupsi, tapi belum ditegaskan ke dalam UU.
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem antisuap di lingkungan privat atau swasta belum sepenuhnya bisa dilakukan karena aturan yang menopang pembangunan sistem itu belum ada. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional PBB tentang Antikorupsi, tahun 2003, tetapi ratifikasi itu belum ditegaskan ke dalam bentuk undang-undang.
Konvensi Internasional PBB tentang Korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) mengatur empat hal yang digolongkan sebagai korupsi, yakni perolehan kekayaan yang tidak sah (illicit enrichment), perdagangan pengaruh (trading in influence), penyuapan di sektor privat atau swasta (bribery in the private sector), dan penyalahgunaan wewenang atau fungsi (abuse of function).
Keempat hal yang disepakati dalam konvensi tersebut belum diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Belum diaturnya suap di sektor swasta menjadi salah satu kendala bagi upaya pencegahan dan penindakan suap dalam dunia usaha. Hal itu antara lain direfleksikan dari kerentanan suap yang relatif tinggi di Indonesia dalam berbisnis sebagaimana dirilis oleh TRACE International, tahun 2019. Tahun ini Indonesia menduduki posisi ke-90 dari 200 negara yang diukur. Skor indeks Indonesia tahun ini 50, atau naik tipis dari tahun 2018 (51).
Pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan mengatakan, sektor swasta memberikan kontribusi besar dalam risiko suap di Tanah Air. Selama ini manajemen usaha di sektor swasta tidak diatur, terutama yang terkait dengan praktik suap.
Sekalipun Indonesia telah meratifikasi UNCAC, sepanjang belum ada aturan hukum yang secara tegas mengatur praktik suap di kalangan swasta dan korporasi, manajemen atau sistem antisuap sulit untuk direalisasikan.
”Risiko suap bukan hanya terjadi di kalangan birokrasi, tetapi juga di lingkungan swasta. Hanya saja, baru sedikit perusahaan atau korporasi yang dimintai pertanggungjawaban dalam praktik suap. Di kalangan swasta, suap-menyuap di antara mereka sendiri tidak ada aturan hukumnya,” kata Agustinus, Selasa (19/11/2019), saat dihubungi dari Jakarta.
Perilaku koruptif di kalangan swasta berdampak pada sektor-sektor publik. Pengurusan perizinan, tender proyek, dan sebagainya, lanjut Agustinus, sulit dicegah dari praktik suap manakala kalangan swasta masih terbiasa melakukan hal itu. Di sisi lain, birokasi yang tidak memiliki sistem antisuap, dan pegawainya tidak berintegritas, dengan mudah bersama-sama pihak swasta melakukan praktik suap.
Agustinus mengatakan, melihat kondisi itu, penciptaan sistem atau manajemen antisuap melibatkan tidak hanya birokrasi, tetapi juga swasta. Suap di kalangan birokrasi di masa lalu antara lain dipicu oleh gaji pegawai negeri yang rendah. Hal ini perlahan-lahan telah diperhatikan pemerintah. Oleh karena itu, sistem antisuap di birokasi selain mencakup penyederhanaan mekanisme pelayanan publik dan perizinan, serta pemotongan rantai birokrasi, juga idealnya diiringi denga transparansi kerja dan perbaikan kesejahteraan.
Di sisi lain, perusahaan didorong untuk memiliki program pencegahan kejahatan, termasuk korupsi dan penyuapan. Sistem pelaporan suap di dalam lingkungan perusahaan (whistleblowing system) harus ditumbuhkan sehingga akan membantu penanganan suap di internal perusahaan. Hal itu akan lebih efektif manakala regulasi yang mengatur suap di lingkup kerja swasta diundangkan.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menambahkan, kesadaran hukum masyarakat, baik yang bekerja di lingkungan privat maupun publik, sangat menentukan apakah mereka akan melakukan dan menerima suap ataukah tidak.
Kesadaran ini harus pula dimulai dari pendidikan, dan perekrutan pegawai yang berintegritas. Dengan demikian, sistem antisuap yang berupaya dibangun juga dijalankan oleh orang-orang yang memiliki kesadaran hukum.
”Tidak hanya perbaikan sistem, tetapi juga penempatan orang-orangnya akan turut menentukan keberhasilan sistem antisuap di institusi swasta ataupun pemerintahan. Kesadaran hukum sangat memengaruhi berjalannya sistem tersebut,” kata Fickar.