Tingkat pengangguran di provinsi yang memiliki kawasan industri dinilai tinggi. Pada saat yang sama, wilayah itu menawarkan lebih banyak lowongan pekerjaan. Ada kesenjangan yang diduga menjadi pemicunya.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat pengangguran di provinsi yang memiliki kawasan industri dinilai tinggi. Pada saat yang sama, wilayah itu menawarkan lebih banyak lowongan pekerjaan. Ada kesenjangan yang diduga menjadi pemicunya.
Problem ketimpangan itu mengemuka dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Jakarta, Rabu (20/11/2019). Oleh karena itu, pemerintah memprioritaskannya dalam program kerja, antara lain melalui Kartu Prakerja.
Dalam rapat itu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2019, ada lima provinsi dengan tingkat pengangguran terbuka tinggi, yakni Banten (8,11 persen), Jawa Barat (7,99 persen), Kepulauan Riau (6,91 persen), Maluku (7,08 persen), dan Sulawesi Utara (6,25 persen).
Kelima provinsi itu memiliki kawasan-kawasan industri. Pada saat bersamaan, kelima provinsi itu mempunyai banyak lowongan pekerjaan, terutama di Banten, Jawa Barat, dan Kepulauan Riau. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, saat ini ada lebih dari 180.000 lowongan pekerjaan, terbanyak berasal dari provinsi yang mempunyai kawasan industri.
”Data BPS itu perlu didalami lagi. Penyebabnya, apakah kualitas tenaga kerja atau faktor lain. Kami menduga persoalannya adalah kesenjangan,” kata Ida.
Kesenjangan itu berarti ada ketidakcocokan antara lowongan yang tersedia dan kompetensi pencari kerja. Secara nasional, lowongan pekerjaan yang paling banyak ditawarkan, antara lain, profesional, manajer, teknisi dan asisten ahli, serta operator.
Dalam rangka mengatasi pengangguran, pemerintah berencana merealisasikan program Kartu Prakerja, yakni kartu yang diberikan kepada pencari kerja atau pekerja untuk mendapatkan layanan pelatihan vokasi dan atau sertifikasi kompetensi kerja. Pemerintah menganggarkan dana Rp 10 triliun untuk 2 juta pemegang kartu.
Kesenjangan itu berarti ada ketidakcocokan antara lowongan yang tersedia dengan kompetensi pencari kerja.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ditunjuk sebagai penanggungj awab program. Menurut Ida, instansinya menyiapkan aplikasi layanan pelatihan, yaitu kios3in1.net, yang akan jadi tempat pendaftaran peserta.
Aplikasi itu juga diharapkan menghubungkan semua lembaga pelatihan kerja. Sejak September 2019, Kementerian Ketenagakerjaan juga membangun sisnaker, sistem untuk semua jenis pelayanan ketenagakerjaan.
Sejumlah syarat untuk memperoleh Kartu Prakerja akan dirilis pekan depan. Pekerja calon penerima antara lain akan dilihat usia dan status pendidikannya. ”Kami berharap program ini bisa menekan tingkat pengangguran,” ujarnya.
Ketimpangan
Edi Wuryanto, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI-P, menilai, pemerintah perlu juga memberi perhatian pada tren penganggur berlatar pendidikan sekolah menengah kejuruan hingga perguruan tinggi.
Menurut dia, ada ketimpangan antara kebutuhan kompetensi dan suplai dari dunia pendidikan. Oleh karena itu, jika program Kartu Prakerja direalisasikan, kurikulum pelatihan kerja semestinya relevan dengan kebutuhan industri.
Menurut Dewi Asmara, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Golkar, pelemahan pertumbuhan perekonomian global akan berdampak pada perkembangan industri beserta serapan pekerja. Pemutusan hubungan kerja berpotensi naik. Oleh karena itu, pelaksanaan program Kartu Prakerja sebaiknya dioptimalkan untuk mengatasi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan menganggur.
Terkait dengan data tingginya TPT di provinsi yang mempunyai kawasan industri, dia menyarankan agar Kementerian Ketenagakerjaan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri. Tujuannya agar bersama-sama memetakan akar penyebab.