Keputusan Pemerintah Kabupaten Bantul, DIY, mencabut izin mendirikan bangunan Gereja Pantekosta di Indonesia Immanuel Sedayu, Bantul, berbuntut panjang. Pengurus gereja menggugat pencabutan itu ke PTUN Yogyakarta.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
BANTUL, KOMPAS — Keputusan Pemerintah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mencabut izin mendirikan bangunan Gereja Pantekosta di Indonesia Immanuel Sedayu, Bantul, berbuntut panjang. Pengurus GPdI Sedayu menggugat surat keputusan Bupati Bantul terkait pencabutan IMB itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta.
Sidang pertama terkait gugatan tersebut digelar di gedung Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta, Bantul, Kamis (21/11/2019). Sidang dengan agenda pembacaan gugatan itu dipimpin majelis hakim yang beranggotakan Agustin Andriani sebagai ketua serta Rahmi Afriza dan Siti Maisyarah sebagai hakim anggota.
Dalam sidang itu, hadir pendiri Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu, pendeta Tigor Yunus Sitorus, yang juga penggugat dalam perkara tersebut. Sitorus hadir didampingi sejumlah kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Selain itu, hadir pula perwakilan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul yang merupakan tergugat dalam perkara tersebut.
Pada sidang tersebut, Agustin Andriani selaku ketua majelis hakim membacakan poin-pon gugatan yang diajukan Sitorus. Seusai pembacaan, majelis hakim memberi kesempatan tergugat untuk membacakan jawaban atas gugatan tersebut. Namun, karena tergugat belum siap, sidang ditunda. ”Sidang ditunda 28 November 2019,” kata Agustin yang kemudian menutup sidang.
Selama sidang, puluhan warga Kampung Gunung Bulu juga tampak hadir di gedung PTUN Yogyakarta. Mereka membawa spanduk berisi dukungan terhadap keputusan Bupati Bantul yang mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) GPdI Immanuel Sedayu.
Seusai pembacaan, majelis hakim memberi kesempatan tergugat untuk membacakan jawaban atas gugatan tersebut. Namun, karena tergugat belum siap, sidang ditunda.
Awal mula
Gugatan di PTUN Yogyakarta itu berawal dari permasalahan yang terjadi dalam pendirian GPdI Immanuel Sedayu yang berlokasi di Kampung Gunung Bulu, Dusun Bandut Lor, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Bantul. Gereja itu berlokasi di bangunan milik Sitorus yang dibangun sejak 2003.
Pada 15 Januari 2019, gereja itu mendapat IMB dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Kabupaten Bantul. Namun, setelah keluarnya IMB itu, sejumlah warga Kampung Gunung Bulu menyatakan menolak pendirian gereja tersebut. Alasannya, pada 2003, Sitorus selaku pendiri gereja telah menandatangani surat pernyataan yang berisi perjanjian bahwa bangunan miliknya itu hanya akan digunakan untuk tempat tinggal.
Setelah munculnya penolakan warga, Bupati Bantul Suharsono memutuskan mencabut IMB GPdI Immanuel Sedayu. Pencabutan itu dilakukan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Bantul Nomor 345 Tahun 2019 tentang Pembatalan Penetapan GPdI Immanuel Sedayu sebagai Rumah Ibadat yang Mendapatkan Fasilitasi Penerbitan IMB.
Sitorus kemudian menggugat SK Bupati Bantul No 345/2019 ke PTUN Yogyakarta. Kuasa hukum Sitorus, Yogi Zul Fadhli, mengatakan, pencabutan IMB GPdI Immanuel Sedayu sangat merugikan Sitorus. Apalagi, menurut Yogi, pencabutan IMB itu tidak dilakukan melalui proses verifikasi yang berimbang.
”Pencabutan IMB GPdI Immanuel Sedayu itu melanggar hak-hak Pak Sitorus. Apalagi, kami melihat proses pencabutan IMB ini tidak dilakukan dengan verifikasi yang berimbang,” ujar Yogi yang merupakan Direktur LBH Yogyakarta.
Yogi juga menilai pencabutan IMB itu melanggar sejumlah aturan perundang-undangan, misalnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Alasan pencabutan
Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Bantul Suparman mengatakan, pihaknya masih mencermati gugatan yang diajukan Sitorus. Namun, Suparman memaparkan, penerbitan SK Bupati Bantul No 345/2009 sudah sesuai dengan aturan.
”Keputusan Pak Bupati sudah betul,” kata Suparman saat ditemui seusai sidang di PTUN Yogyakarta.
Sebelumnya, Bupati Bantul Suharsono menyatakan, penerbitan IMB GPdI Immanuel Sedayu dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Bupati (Perbup) Bantul No 98/2016 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadat. Perbup itu menyatakan, Pemkab Bantul memfasilitasi penerbitan IMB rumah ibadat yang sudah berdiri sebelum 21 Maret 2006.
Fasilitasi itu didasarkan pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang ditetapkan 21 Maret 2006.
Dengan fasilitasi itu, penerbitan IMB GPdI Immanuel Sedayu dan sejumlah rumah ibadat lain di Bantul tidak membutuhkan dua syarat khusus pendirian rumah ibadat. Dua syarat itu adalah daftar nama dan fotokopi kartu tanda penduduk calon pengguna rumah ibadat yang berjumlah minimal 90 orang serta dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang.
Namun, agar bisa mendapatkan fasilitasi itu, sebuah rumah ibadat harus memenuhi persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006. Beberapa syarat itu adalah sudah berdiri sebelum 21 Maret 2006, sudah digunakan sebagai rumah ibadat secara permanen, dan memiliki nilai sejarah.
Menurut Suharsono, berdasarkan penyelidikan, GPdI Immanuel Sedayu tidak memenuhi syarat mendapatkan fasilitasi penerbitan IMB. Hal ini karena sebelum 2006 gereja itu belum digunakan sebagai rumah ibadat secara permanen atau terus-menerus. Kondisi itulah yang membuat Suharsono memutuskan mencabut IMB GPdI Immanuel Sedayu.