Hasil penelitian pada 2017 menunjukkan Generasi Z memiliki opini intoleran dan radikal yang bisa menjadi aksi intoleran dan radikal. Radikalisasi salah satunya terjadi di kampus. Kalangan intelektual sengaja dibidik.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
Generasi Z atau angkatan yang lahir pada periode pasca-1995 dipandang bagian dari digital native. Akrab dengan hal-hal kekinian yang serba instan sehingga dinilai jauh dari ide-ide yang mengakar dalam pikiran, apalagi sampai diwujudkan dalam perbuatan. Namun, RMN (24), pelaku bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan, 13 November lalu, mematahkan pandangan itu.
Ini pun dikuatkan hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, sepanjang 1 September-7 Oktober 2017. Hasil penelitian justru menunjukkan Generasi Z memiliki sikap yang berpotensi besar menjadi jalan masuk ide radikal.
Sebagian besar dari masyarakat yang berusia di bawah 25 tahun cenderung tertutup atau intoleran saat membicarakan hal-hal yang terkait keagamaan.
Penelitian yang melibatkan 1.859 siswa dan mahasiswa dari 33 provinsi itu di antaranya menanyakan kesediaan beribadah jika dipimpin orang yang berbeda aliran agama dan kesediaan tinggal sekamar dengan rekan yang berbeda agama.
”Temuan umum kami, Gen Z Muslim Indonesia memiliki opini intoleran dan radikal yang berpotensi menjadi aksi intoleran dan radikal,” kata pengajar UIN Syarif Hidayatullah, M Zaki Mubarak, dalam diskusi bertajuk ”Strategi Pencegahan Intoleransi, Radikalisme, dan Kekerasan Ekstremisme”, di Lembaga Pendidikan dan Media Sosial, Jember, Jawa Timur, Rabu (20/11/2019).
Diskusi yang merupakan bagian dari rangkaian Festival Hak Asasi Manusia (HAM) 2019 itu menghadirkan peneliti Pusat Pengkajian Pesantren dan Masyarakat (P3M), Agus Muhammad; dan Policy and Research Officer Wahid Foundation Libasut Taqwa sebagai pembicara.
Selain itu, hadir pula sebagai penanggap antara lain Ketua Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Pengembangan Mutu (LP3M) Universitas Jember Akhmad Taufiq dan Farha Ciciek dari Preventing Violent Extremism (PVE).
Zaki melanjutkan, sebanyak 58,5 persen mahasiswa beropini intoleran terhadap wacana keagamaan. Adapun di tingkat siswa, ada 43,88 persen siswa yang intoleran.
Contohnya, dalam menanggapi isu tentang kelompok Syiah dan Ahmadiyah, 49 persen siswa dan mahasiswa tidak setuju jika pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi mereka. Bahkan, 86,55 persen responden setuju jika pemerintah melarang keberadaan kelompok minoritas yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Sebanyak 64,17 persen responden pun setuju jika para pengungsi Syiah dan Ahmadiyah dipulangkan ke wilayah asalnya.
Menurut Zaki, intoleransi itu sejalan dengan bagaimana dan dari mana mereka mengakses pengetahuan keagamaan. Mayoritas siswa dan mahasiswa mendapatkan pengetahuan agama melalui internet, baik media sosial maupun portal berita. ”Website yang mereka akses adalah website dari kelompok intoleran,” kata Zaki.
Sebagian dari mereka menelan mentah-mentah informasi itu tanpa memverifikasinya. Kemudian, terdapat 25,51 persen responden yang selalu membagikan pendapat, anjuran, atau fatwa dari tokoh agama yang mereka temukan di dunia maya.
Kecenderungan Generasi Z yang intoleran membuka jalan bagi mereka untuk permisif pula terhadap infiltrasi ide-ide radikal. Tidak heran jika bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur, pada 2018 melibatkan anak berusia 7 tahun. ”Anak berusia 7 tahun sudah bisa diajak beramaliyah untuk menjemput kesyahidan,” ujar Zaki.
Radikalisasi di kampus
Pada tingkatan selanjutnya, intoleransi generasi muda terhadap wacana keagamaan akan mempermudah proses radikalisasi. Radikalisasi terhadap mereka gencar terjadi di kampus.
Agus Muhammad mengatakan, berdasarkan penelitiannya bersama International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) di 10 perguruan tinggi negeri (PTN) di Sumatera, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, terungkap bahwa radikalisasi mahasiswa sudah lama terjadi.
Setidaknya ada dua gelombang besar, yakni pada 1980-an dan 1990-an yang berlanjut hingga kini. ”Proses itu dilakukan melalui kegiatan seperti mentoring, diskusi, liqo (kelompok kecil pengajian), membantu mahasiswa baru, bimbingan belajar, dan mencarikan beasiswa,” kata Agus.
Pelakunya mulai dari mahasiswa, dosen, pegawai, hingga alumni. Bahkan, tokoh-tokoh radikal yang ada di sekitar kampus pun kerap kali terlibat.
”Keterhubungan antara aktivis radikal kampus dan pihak di luar mengindikasikan adanya radical milieu, yaitu tatanan sosial dan fisik yang mendukung keberadaan kelompok radikal membentuk jejaring luas,” ujar Agus.
Narasi yang mereka sebarkan mencakup doktrin khilafah, sikap negatif pada Pancasila dan NKRI, dan jihad. Selain itu, mereka menyebarkan sikap negatif terhadap non-Muslim, kepemimpinan non-Muslim, dan perempuan.
Meski ada kesamaan pola radikalisasi, derajat radikalisme di setiap kampus berbeda. Dari 10 PTN, ada lima yang masuk kategori agak tinggi dan tinggi, yaitu yang berada di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Adapun sisanya, terbagi pada kategori sedang hingga agak tinggi.
”Derajat radikalisme di 10 PTN yang diteliti itu menurun drastis setelah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Seiring dengan pengawasan dan pelarangan organisasi, kegiatan di masjid kampus pun menurun,” katanya.
Penurunan tersebut terjadi karena radikalisasi bergeser ke luar kampus. Akan tetapi, bukan berarti proses di dalam hilang sepenuhnya.
Akhmad Taufiq mengatakan, pada 2018, dirinya juga meneliti kecenderungan 15.000 mahasiswa di kampusnya. Hasilnya menunjukkan, sebanyak 22 persen mahasiswa Universitas Jember telah terpapar radikalisme. Sebagian dari mereka setuju dengan pengafiran, sedangkan yang lain sepakat untuk membentuk khilafah guna menggantikan NKRI.
Budaya toleran
Menurut Taufiq, radikalisasi di kampus merupakan bagian dari skenario besar. Membidik kalangan intelektual agar bisa menjadi kekuatan yang dahsyat kelak. Oleh karena itu, perlu disikapi serius.
”Ini merupakan kondisi yang bisa dikatakan krusial dan akut karena perguruan tinggi sangat vital, yaitu sebagai lembaga yang melahirkan para pemimpin bangsa,” tuturnya.
Ia mengusulkan agar kampus mengembangkan pendidikan multikultural untuk kembali membudayakan sikap toleran dan inklusivitas. Selain itu, pimpinan perguruan tinggi harus tegas menutup ruang gerak radikalisme di kampus.
Agus mengatakan, Presiden juga perlu turun tangan. Salah satunya dengan menerbitkan instruksi presiden yang memuat larangan penggunaan fasilitas kampus untuk berkegiatan yang terkait dengan radikalisasi. Kampus juga perlu memetakan kecenderungan mahasiswa secara komprehensif untuk memperdalam temuan dari sejumlah penelitian sebelumnya.
Beragam hasil penelitian ini semestinya menjadi alarm bagi semua pemangku kepentingan. Penanggulangan sekaligus pencegahan radikalisme bagi generasi muda perlu segera dimulai. Jika tidak, masa depan bangsa tentu jadi taruhan.