Kejahatan Rasial Masih Menyelimuti Sepak Bola Inggris
›
Kejahatan Rasial Masih...
Iklan
Kejahatan Rasial Masih Menyelimuti Sepak Bola Inggris
Semangat olahraga yang menjunjung sportivitas masih ternodai oleh tindakan kejahatan rasial. Di Inggris, angka kejahatan rasial di sepak bola justru meningkat pada kompetisi musim lalu.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
Pada 15 Oktober 2019 lalu, sepak bola Eropa mengalami sebuah insiden memalukan, yakni tindakan rasis yang dilakukan suporter Bulgaria terhadap pemain Inggris pada laga kualifikasi Piala Eropa 2020 di Stadion Vasil Levski, Sofia. Tidak hanya di tingkat tim nasional, Liga Inggris juga akrab dengan kejahatan rasial.
Berdasarkan data Home Office yang dikutip dari BBC Sport pada Kamis (21/11/2019), kejahatan rasial di Liga Inggris meningkat 66 persen pada musim lalu. Sebanyak 194 insiden kejahatan rasial dilaporkan pada musim 2018/2019, pada musim sebelumnya terdapat 129 laporan. Dari 323 laporan dalam dua musim terakhir, sebanyak 230 di antaranya terkait dengan rasisme.
Data itu dikumpulkan Freedom of Information berdasarkan permintaan Home Office yang dibentuk Asosiasi Pers. Selanjutnya, laporan insiden diserahkan ke Unit Penegakan Hukum Sepak Bola Inggris (UKFPU) yang dilakukan oleh petugas sepak bola khusus (DFO).
Catatan itu tidak jauh dari data Pemerintah Inggris yang melaporkan adanya kenaikan kejahatan rasial di Liga Inggris yang mencapai 50 persen pada musim 2018/2019. Insiden kejahatan rasial terjadi pada 193 pertandingan pada Agustus 2018 hingga 31 Juli 2019.
Jumlah tersebut terjadi kenaikan karena pada musim sebelumnya yang hanya terjadi pada 131 pertandingan. Laporan Pemerintah Inggris menyatakan, sebanyak 79 persen kejahatan rasial terkait dengan ras.
Beberapa insiden terkait dengan kejahatan rasial, antara lain, dialami pemain depan Manchester City, Raheem Sterling, yang menjadi korban dugaan pelecehan ras dalam pertandingan di Chelsea. Sementara penyerang Arsenal, Pierre-Emerick Aubameyang, dilempari kulit pisang oleh salah satu pendukung Tottenham Hotspur.
Pada musim lalu, Burnley menjadi klub yang paling banyak dilaporkan melakukan kejahatan rasial, yakni 12 insiden. Pada musim sebelumnya, mereka tercatat melakukan lima insiden rasial.
Klub menyangkal bahwa mereka adalah tim yang paling banyak melakukan kejahatan rasial. Data tersebut menunjukkan, mereka proaktif dalam melawan segala bentuk tindakan diskriminasi. Alasan Burnley tersebut cukup masuk akal karena 19 klub tidak melaporkan insiden perilaku diskriminatif selama dua musim terakhir.
”Sebagai klub, kami menerapkan kebijakan tanpa toleransi terhadap segala bentuk diskriminasi di Turf Moor dan di antara para pendukung kami pada pertandingan tandang,” demikian pernyataan klub.
Klub aktif mendorong para pendukungnya untuk melaporkan setiap insiden termasuk yang dilakukan oleh sesama pendukung Burnley. Sikap tegas klub diikuti pemain Burnley, Andre Gray, yang menegur dua pendukungnya karena menggunakan komentar rasis dalam pertandingan di Bradford pada tahun 2016.
Adapun pada musim 2017/2018, Leeds United dan Manchester City menjadi klub paling banyak terjadi kasus kejahatan rasial, yakni enam insiden. Wakil Kepala Kepolisian Sepak Bola Dewan Kepolisian Nasional Mark Roberts mengatakan, kejatahan rasial terus meningkat dan menjadi masalah serius. ”Kami berkomitmen untuk bekerja sama dengan liga dan klub untuk mengatasi masalah ini,” ujar Roberts.
Kelompok antidiskriminasi Kick it Out menyatakan, masalah peningkatan insiden diskriminasi menjadi tantangan bagi klub di semua divisi untuk mengatasi persoalan ini. ”Kami terus mendesak siapa pun yang menjadi korban atau saksi pelecehan untuk melaporkannya,” demikian pernyataan Kick it Out.
Menurut Kick it Out, saat ini data terkait diskriminasi dalam sepak bola terpecah-pecah di klub, badan pemerintah, badan amal, dan penegakan hukum. Mereka berharap, data tersebut dapat dibuat dengan lebih komprehensif untuk mendapatkan gambaran masalah yang lebih akurat sehingga mendapatkan solusi yang tepat sasaran. (AFP)