Pemerintah Kota Administratif Jakarta Utara menyiapkan penataan terintegrasi melalui komunikasi dan koordinasi yang disampaikan secara berkala pada 23 dan 25 September, kemudian pada 2 dan 7 Oktober 2019.
Oleh
STEFANUS ATO/NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jalinan komunikasi antara warga korban penggusuran di Jalan Agung Perkasa 8, Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta buntu sebelum penggusuran. Warga sejak awal sudah menolak opsi yang ditawarkan pemerintah untuk direlokasi ke rumah susun.
Tokoh masyarakat Jalan Agung Perkasa 8, Ahmad Dahri (60), mengatakan, sejak awal warga tidak mendapatkan sosialisasi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait rencana penggusuran mereka. Warga hanya mendapat surat imbauan pada September 2019 yang ditandatangani pejabat Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta.
”Surat itu berisi imbauan agar warga mengosongkan lahan di Jalan Agung Perkasa 8. Saat itu ada dua surat yang dikeluarkan dalam waktu berdekatan. Surat pertama warga diminta mengosongkan lahan dalam tempo 7 x 24 jam. Surat kedua, waktunya 3 x 24 jam,” kata Ahmad di Jakarta, Kamis (21/11/2019).
Warga kemudian merespons surat tersebut dengan berunjuk rasa ke Balai Kota DKI Jakarta. Mereka diterima perwakilan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menyampaikan bahwa tidak akan ada penggusuran tempat tinggal warga.
Saat warga sedang berunjuk rasa, kata Ahmad, rupanya ada surat imbauan ketiga yang kembali dikeluarkan Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta. Setelah surat imbauan terakhir itu, isu penggusuran sempat mereda dan warga pun beraktivitas seperti biasa.
”Setelah satu bulan lebih, kembali ada isu penggusuran. Awalnya mereka (Pemprov DKI) merazia senjata tajam di rumah warga dan besoknya dilakukan eksekusi,” katanya.
Komunikasi buntu
Ahmad mengakui Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Camat Tanjung Priok dan Lurah Sunter Jaya sempat mengunjungi warga di lokasi untuk menyosialisasikan penggusuran. Sosialisasi dilakukan setelah surat imbauan pertama dan kedua dikeluarkan Satpol PP DKI Jakarta.
”Cuma waktu itu tidak ada titik temu karena opsi relokasi yang ditawarkan ke rumah susun (rusun). Warga menolak rusun karena mereka pengusaha, jadi butuh tempat usaha,” katanya.
Camat Tanjung Priok Syamsul Huda, saat dihubungi terpisah, mengatakan, sejak awal pemerintah sudah memikirkan nasib warga yang akan terdampak penggusuran. Pemerintah Kota Administratif Jakarta Utara menyiapkan penataan terintegrasi melalui komunikasi dan koordinasi yang disampaikan secara berkala pada 23 dan 25 September, kemudian pada 2 dan 7 Oktober 2019.
”Dari akhir September sudah dilakukan komunikasi dan koordinasi yang baik dengan tokoh masyarakat atau yang dituakan yang ada di lokasi. Pemerintah sudah menawarkan kebutuhan dasar dari semua warga,” katanya.
Syamsul menjelaskan, kebutuhan dasar yang disiapkan, antara lain, berupa penyediaan tempat tinggal rusun sebanyak 162 unit, layanan pendidikan, dan kesehatan. Pihaknya juga menawarkan peluang kerja melalui pelatihan sampai bantuan modal dan pendampingan usaha.
”Sampai hari ini juga kami masih menunggu warga untuk mulai mendaftar di posko terpadu yang ada di lokasi penataan,” katanya.
Kepala Dinas Usaha Mikro Kecil Menengah DKI Jakarta Adi Ariantara menambahkan, pihaknya tidak akan memberikan pelatihan kerja bagi warga yang digusur. Sebab, menurut dia, akar permasalahan di sana bukanlah soal pelatihan, tetapi ketersediaan lahan usaha.
”Pelatihan hanya untuk wirausaha. Mereka itu bukan masuk kriteria wirausaha baru, tetapi pengusaha barang bekas,” katanya.
Bertahan
Pada Kamis siang, sebagian warga terdampak penggusuran masih bertahan di lokasi penggusuran. Mereka bernaung di bawah pohon.
Hasyim (42) mengatakan, mereka akan tetap bertahan karena belum mendapat lokasi usaha baru. Warga masih menanti komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar diberdayakan tanpa mematikan mata pencariannya.
”Kami mendukung langkah penataan dari pemerintah, tetapi bukan dipindah ke rusun. Kami butuh tempat usaha, kalau dulunya kumuh, harusnya kami ditata, diatur biar tertib dan bersih,” ujarnya.
Ia juga menolak rencana pelatihan kerja yang ditawarkan pemerintah lantaran program itu dinilai tidak relevan dengan kondisi warga korban penggusuran. Pelatihan kerja lebih tepat diberikan kepada pencari kerja yang masih berusia muda atau baru lulus dari dunia pendidikan.
”Kami sudah bertahun-tahun hidup dari barang rongsokan. Tidak mudah beralih pekerjaan,” ujar Hasyim.