Mencermati Regulasi Investasi di Indonesia
Keberadaan regulasi investasi di suatu negara diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi penanaman modal asing. Namun, hadirnya perundangan investasi belum menjadi jaminan melimpahnya arus penanaman modal asing. Pelaksanaan regulasi di lapangan dan komitmen birokrasi turut menguatkan semarak investasi.
Investasi atau penanaman modal merupakan segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Indonesia. Penekanan definisi penanaman modal asing merujuk pada aktornya, yaitu dilakukan oleh penanam modal asing. Baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang bekerja sama dengan penanam modal dalam negeri.
Tujuan penanaman modal baik dalam negeri maupun asing antara lain meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan menciptakan lapangan kerja. Melihat strategisnya manfaat penanaman modal, berbagai instrumen penanaman modal disiapkan, termasuk regulasinya.
Jejak regulasi awal yang berlaku di Indonesia dalam hal penanaman modal asing adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing atau biasa disingkat PMA.
Undang-undang yang sempat direvisi satu tahun setelah ditetapkan ini, memiliki masa berlaku yang cukup lama, hingga 39 tahun. Regulasi PMA di Indonesia kemudian baru diperbarui pada tahun 2007 dengan dibuatnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Berbeda dengan regulasi sebelumnya, undang-undang ini memberikan banyak kemudahan bagi pemodal asing. Kemudahan itu antara lain pemberian fasilitas kepada pemodal yang berupa kemudahan pelayanan dan perizinan untuk memperoleh hak atas tanah, pelayanan keimigrasian, dan perizinan impor (Pasal 21).
Mencermati tujuan pembuatan undang-undang ini, selain karena alasan dinamika perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional, regulasi ini dibuat untuk mendorong iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien.
Manfaat ini setidaknya terlihat dari dampak kemudahan berinvestasi di Indonesia. Sesudah berlakunya undang-undang tersebut, tingkat kemudahan berusaha di Indonesia menunjukkan tren membaik. Pada 2012 hingga 2014, tingkat kemudahan berusaha Indonesia naik dari peringkat 128 menjadi peringkat 120 dari 185 negara.
Ada beberapa indikator positif terkait dengan kemudahan berbisnis di Indonesia, terutama terkait dengan akses listrik, mendapatkan kredit, dan penyelesaian permasalahan pailit.
Tren positif ini berlanjut hingga tahun lalu. Peringkat Indonesia dibandingkan dengan 190 negara di dunia membaik 42 peringkat. Jika pada 2015, Indonesia di peringkat 114 posisinya membaik menjadi peringkat 72 pada 2018.
Perubahan yang paling signifikan terjadi di aspek pembayaran pajak. Dari yang awalnya berada di peringkat 160 dari 190 negara di tahun 2015, Indonesia berhasil merangsek naik hingga ke peringkat 114 pada 2018. Hal serupa juga terjadi di aspek perlindungan terhadap investor minoritas yang peringkatnya naik dari 87 pada 2015 menjadi peringkat 43 pada tahun 2018.
Tumpang tindih
Investasi asing menjadi salah satu faktor yang penting bagi pertumbuhan ekonomi negara. Munculnya aliran dana, baik yang berbentuk investasi portfolio maupun penanaman modal asing langsung, juga potensial mendorong penyediaan lapangan kerja.
Keberadaan instrumen regulasi penanaman modal menjadi titik awal kepastian berusaha bagi investor asing. Namun, yang perlu dicermati regulasi tersebut masih belum mampu untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait PMA di Indonesia. Permasalahan tumpang tindih regulasi dan pelaksanaan perizinan berusaha di lapangan masih menjadi simpul yang harus terus diperbaiki.
Salah satu contoh irisan regulasi investasi adalah tentang penggunaan tanah. Ketentuan tentang tanah tidak hanya diatur oleh UU Penanaman Modal saja. Ada beberapa peraturan lain yang juga mengatur tentang tanah seperti UU Pokok Agraria tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Terdapat perbedaan hak pakai atas tanah bagi investor asing pada peraturan-peraturan tersebut. Pada UU Pokok Agraria, ketentuan hak guna usaha maksimal 25 tahun dengan kemungkinan perpanjangan maksimal 35 tahun. Sementara hak guna bangunan selama 30 tahun dengan kemungkinan perpanjangan maksimal 20 tahun.
Sedangkan ketentuan hak pakai diatur dalam PP No. 40 Tahun 1996, di mana hak pakai dapat digunakan maksimal selama 25 tahun dengan kemungkinan perpanjangan maksimal selama 20 tahun.
Tidak hanya itu, peraturan pemerintah tersebut memungkinkan para investor untuk memperpanjang perizinan hak atas tanah mereka sekaligus di muka. Ketentuan ini sedikit berbeda dengan ketentuan yang ada di UU Pokok Agraria di mana mereka harus menunggu hingga masa berlaku hak atas tanah tersebut selesai.
Perizinan
Selain regulasi, hal lain yang perlu dicermati untuk peningkatan investasi adalah manajemen birokrasi. Walaupun sudah digenjot dengan berbagai regulasi yang memudahkan investor asing seperti pelayanan terpadu berbasis daring, implementasi di lapangan masih kurang maksimal. Waktu pengurusan perizinan masih menjadi pekerjaan rumah untuk mendatangkan lebih banyak investor asing.
Ambil contoh, waktu yang dibutuhkan oleh investor asing dalam mengurus perizinan berusaha dan perizinan terkait konstruksi. Prosesnya membutuhkan waktu sekitar 8 bulan. Waktu tempuh perizinan ini tidak jauh berbeda dengan keadaan 10 tahun lalu.
Hal ini dapat dilihat dari laporan Doing Business 2010 oleh Bank Dunia. Laporan tersebut menyebutkan skema alur proses masuk dan realisasi investasi asing di Indonesia, mulai dari proses awal hingga mendapatkan NPWP dan NPPKP serta proses mendapatkan fasilitas pendukung seperti air, listrik dan sambungan telepon.
Pada saat itu, waktu yang dibutuhkan investor untuk menyelesaikan perizinan awal, hingga mendapat NPWP dan NPPKP adalah 55 hari dengan biaya Rp 3,8 – 17,3 juta. Sedangkan, dibutuhkan waktu hingga 180 hari serta biaya sebesar Rp 40,7 bagi mereka untuk menyelesaikan perizinan di tingkat daerah dan mendapat fasilitas pendukung berusaha.
Melalui beberapa regulasi yang telah dibuat, saat ini pemerintahan Presiden Jokowi sudah berusaha untuk memangkas lamanya waktu perizinan bagi para investor asing. Dilihat dari laporan World Bank serupa tahun 2018, melalui Sistem Online Single Submission (OSS), pemerintah telah berhasil memangkas waktu yang dibutuhkan untuk perizinan awal.
Proses hingga mendapat NPWP dan NPPKP, investor kini hanya membutuhkan waktu selama 20-28 hari. Waktu pengurusan ini lebih efisien, separuh dari waktu yang dibutuhkan pada 2010. Namun, pemotongan waktu pengurusan ini tidak seirama untuk perizinan di daerah dan fasilitas pendukung malah semakin lama.
Salah satu celah lamanya waktu pengurusan izin investasi adalah belum padunya sistem perizinan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Contohnya seperti yang terjadi di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.
Hingga Oktober 2018, banyak realisasi investasi yang akhirnya mandek karena tidak ada integrasi data antara pusat dan daerah. Perizinan para investor tidak bisa diproses di level pemerintah daerah karena pemerintah setempat tidak punya kewenangan untuk meminta dokumen pelengkap karena belum ada payung hukum yang pasti.
Akhirnya, pemerintah daerah hanya bisa menanyakan komitmen para investor untuk menyetorkan semua dokumen perizinan sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan, tanpa bisa membantu investor untuk menembus birokrasi di berbagai instansi/lembaga pemerintah yang lain.
Dengan implementasi regulasi yang tidak maksimal potensi dari Indonesia untuk menarik investor asing pun tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Tidak mengherankan jika melihat di atas kertas peringkat kemudahan berusaha dan daya saing Indonesia terus meningkat setiap tahun. Namun peningkatan indeks daya saing belum diimbangi pertumbuhan realisasi PMA.
Laporan Doing Business 2018 mencatat, sekalipun menunjukkan perbaikan, peringkat Indonesia masih di bawah peringkat lima negara di kawasan Asia Tenggara. Negara tetangga yang peringkatnya lebih baik adalah Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Ini menggambarkan, iklim investasi dan kemudahan usaha di Indonesia masih sedikit tertinggal dibandingkan negara lainnya.
Berbagai permasalahan yang muncul dalam investasi di Indonesia harus diikuti perbaikan penyelenggaraan tata laksana PMA di Indonesia. Paling tidak konsisten memenuhi asas-asas yang tercantum dalam UU Penanan Modal seperti kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, dan efisiensi.