Kecamatan Plered di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, memiliki sejarah panjang mengembangkan keramik. Saat ini, surutnya minat anak muda untuk menjadi perajin tak bisa dianggap remeh.
Oleh
MELATI MEWANGI
·4 menit baca
Kecamatan Plered di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, memiliki sejarah panjang mengembangkan keramik. Saat ini, surutnya minat anak muda untuk menjadi perajin tak bisa dianggap remeh. Tongkat estafet keberlangsungan tradisi ini kini dalam pusaran persimpangan jalan.
”Saya mau mencobanya,” teriak Aqila (7), siswa kelas I SD Sekolah Alam Purwakarta.
Padahal, pemandu dari kantor UPTD Pengembangan Sentra Keramik Plered Jujun Junaedi belum selesai menjelaskan tentang sejarah dan teknik dasar pembuatan keramik. Aqila tak sabar untuk segera bermain dengan tanah liat.
Sorot mata Aqila berbinar melihat tumpukan tanah liat di samping meja putar. Aqila bersama dua puluh anak lainnya mengikuti wisata edukasi di Plered, Selasa (12/11/2019) siang. Mereka diajak terjun langsung mengamati proses produksi keramik hias, yang mayoritas dibuat perajin di Plered.
Mereka diarahkan para anggota staf untuk mencoba berbagai teknik pembuatan. Yang pertama, mereka dikenalkan pembuatan keramik menggunakan cetakan, misalnya hewan dan bunga. Aqila memilih membuat motif kucing. Namun, tak sampai lima menit, ia tampak kesal. Karya buatannya justru tak berbentuk. Akhirnya, dia dibantu salah satu anggota staf.
Aqila geleng-geleng kepala, ia spontan mengatakan bahwa menjadi perajin ternyata tidak mudah. ”Susah-susah gampang, ya. Ini seru banget! Tapi harus sabar, kak” ujarnya sambil menyeka keringat. Selain sabar, seorang perajin juga harus teliti, tekun, dan ulet.
Kemudian, metode pembuatan keramik lainnya adalah menggunakan alat putar. Di atas alat putar, sekepal tanah liat diletakkan pada bagian tengah, lalu dibasahi, dan dibentuk menjadi berbagai model. Para siswa membuat piring mini, asbak, pot, dan mangkuk mini.
”Bikinnya gampang dan menyenangkan,” kata Raki (7). Selanjutnya, mereka mengukir nama pada karyanya masing-masing dan menjemurnya di bawah terik matahari. Raut wajah mereka tampak bangga saat berhasil menelurkan karya.
Jumlah pengunjung sentra Plered relatif stabil. Menurut Kepala UPTD Pengembangan Sentra Keramik Plered Mumun Maemunah, tahun 2018 ada sekitar 8.000 pengunjung. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan setahun sebelumnya, sekitar 7.000 orang. Bahkan, tahun ini, diperkirakan lebih dari 10.000 orang bakal datang ke Plered.
Mereka berasal dari kota atau kabupaten di Jabar, Jakarta, dan Banten. Perbandingan berdasarkan daerah asal pengunjung, sekitar 90 persen dari luar Purwakarta. Sebanyak 10 persen lainnya pengunjung lokal Purwakarta. Tarif kunjungan yang diberlakukan untuk pengunjung asal Purwakarta Rp 25.000 per orang. Sementara pengunjung dari luar Purwakarta dikenai tarif Rp 35.000.
Regenerasi
Sentra gerabah Plered sudah hadir sejak 1904. Perintisnya adalah enam warga, yaitu Sarkun, Aspi, Warsya, Entas, Suhara, dan Ki Dasjan. Kala itu, gerabah dibuat dalam bentuk sederhana, mulai dari kendi, cobek, hingga tempayan. Kini, Plered telah melahirkan beragam bentuk gerabah dan keramik, tak hanya untuk kebutuhan rumah tangga, tetapi juga sebagai hiasan dan dekorasi.
Seiring waktu, sejumlah pelaku usaha keramik perlahan kesulitan mencari perajin. Pekerjaan belepotan lumpur ini dianggap memalukan selain upah yang kecil ketimbang jadi buruh pabrik.
Akibatnya, mereka tak mampu memenuhi permintaan pasar yang tinggi. Padahal, usaha pembuatan keramik di Plered sudah berlangsung turun-temurun sejak lebih dari satu abad lalu.
Seiring waktu, sejumlah pelaku usaha keramik perlahan kesulitan mencari perajin. Pekerjaan belepotan lumpur ini dianggap memalukan selain upah yang kecil ketimbang jadi buruh pabrik
Hal tersebut dialami Dede (45), perajin keramik. Ia mengatakan, anak-anaknya tak ada yang tertarik meneruskan keahliannya. Mereka lebih memilih bekerja di pabrik karena penghasilannya lebih menjanjikan. Rata-rata upah buruh berkisar Rp 400.000-Rp 600.000 per minggu. Sementara upah buruh proyek atau pabrik lebih tinggi daripada angka tersebut.
Kondisi kekurangan tenaga perajin itu terkonfirmasi data UPTD Pengembangan Sentra Keramik Dinas Perindustrian dan Perdagangan Purwakarta. Berdasarkan data itu, jumlah tenaga kerja sektor tersebut pada 2014-2016 sebanyak 3.000 orang. Pada 2017, turun menjadi 2.560 orang dan kemudian menurun lagi menjadi 2.406 orang pada 2018.
Maemunah menambahkan, minimnya regenerasi perajin sudah muncul sejak belasan tahun lalu. Dengan adanya kegiatan wisata edukasi tersebut, ia berharap, semoga dapat menumbuhkan minat para pengunjung untuk terjun menjadi perajin. ”Semoga tertanam jiwa seni dan melahirkan bibit-bibit baru perajin di Plered,” ujarnya.
Tak ada yang tahu pasti masa depan keramik Plered. Masih menjadi misteri, bersinar atau mati. Namun, segalanya bisa diprediksi melihat kondisi sekarang. Apabila generasi penerus enggan meneruskan estafet usaha ini, bisa jadi Plered hanya menyisakan kisah megahnya peradaban keramik tanpa wujud.