Misteri tentang Kasri
Agaknya kebenaran mitos bahwa Kasri bersekutu dengan setan memang benar. Seluruh warga desa ini, termasuk aku, selalu mencurigainya dalam berbagai kesempatan. Bagaimana tidak, janda tua penyendiri itu punya gelagat aneh yang sulit dipahami oleh akal sehat manusia.
Setiap pagi, sekitar pukul lima, Kasri akan pergi ke warung kopi terdekat. Ia biasa menyerobot deretan pengunjung lain dan masuk begitu saja menemui si penjual. Kemudian ia meminta satu bungkus kopi hitam yang telah disangrai dan diolah menjadi bubuk.
"Digiling to dideplok iki?" tanya Kasri. Ia ingin memastikan apakah kopi yang akan dibelinya melalui proses penggilingan atau penumbukan.
Kasri kemudian agak kecewa dengan jawaban si penjual sebab kopi tersebut ternyata digiling. Mata tuanya layu seketika. Tangannya bimbang, seluruh bahasa tubuhnya mengisyaratkan kekalahan. Ia rupanya menginginkan kopi yang ditumbuk, kopi yang masih berbau ujung alu dan pernah melekat di lesung.
Perlahan, Kasri menaruh kembali bungkusan kopi di genggamannya. Kemudian ia berbalik arah dan meninggalkan warung itu tanpa membawa apa-apa. Pagi itu dan pagi lain setelahnya, Kasri rela harus berjalan kaki ke warung yang jaraknya lebih jauh demi mendapatkan sebungkus kopi tumbuk asli.
Tak habis pikir! Memang apa bedanya? Bukankah ketika diseduh rasanya akan sama saja? Aku yang secara langsung menyaksikan transaksi itu pun heran.
Kabar angin kemudian menyeruak. Desas-desus kini beredar bahwa kopi tumbuk merupakan bagian dari syarat persembahan Kasri kepada iblis. Konon, setan tidak menginginkan kopi yang digiling dengan mesin karena itu mengkhianati citra lahiriah setan yang gagap teknologi.
Tidak hanya itu. Para tetangga juga bersaksi bahwa Kasri selalu membeli dupa di pasar. Ia rela memesan kepada pedagang langganannya dengan harga tiga kali lipat lebih mahal. Padahal, agama yang dianutnya sama sekali tidak menggunakan dupa sebagai peralatan sembahyang. Kasri juga kerap kali membuang makanan di teras rumah. Anehnya, makanan yang ia buang tampak masih utuh dan segar.
Pertanyaan demi pertanyaan kemudian timbul dengan sendirinya. Jika Kasri memang bersekutu dengan setan, lantas apa tujuan yang ingin ia capai sebenarnya? Kasri tidak kaya raya. Bahkan ia termasuk warga kategori miskin yang harus ditopang dana bantuan pemerintah. Jelas bahwa tudingan pesugihan terbantahkan. Kasri juga telah dua puluh tahun menjanda. Selama kurun waktu sedemikian lama itu, tidak pernah warga desa mencium kedekatannya dengan lelaki lain. Jadi, motif romansa supaya Kasri dapat menggaet lelaki bujang agaknya salah besar. Entahlah.
Perlu diketahui bahwa aku dan Kasri masih memiliki hubungan darah. Keanehan tingkah lakunya perlahan membuat namaku menjadi ikut tercemar. Bahkan salah satu temanku tak henti-hentinya mengejek. Ia terus-menerus mengatakan bahwa aku adalah orang yang menjadi penghubung antara Kasri dengan hal-hal klenik sialan itu.
Aku memang pernah satu kali berkunjung ke rumahnya. Kasri waktu itu menerimaku dengan sangat ramah. Ia membagikan berbagai cerita lucu tentang kehidupannya akhir-akhir ini. Bagaimana ia sekarang sudah mulai pikun dan sering lupa pada utang-utangnya. Bagaimana matanya sudah sulit diandalkan dan terkadang keliru mengenali orang. Dan bagaimana linu di dengkulnya semakin parah.
Sekilas, ia tampak sangat normal. Tidak ada gelagat aneh yang mencurigakan. Ketika Kasri izin ke kamar mandi, terbesit satu gagasan gila di kepalaku. Dengan sigap, aku menyusuri seisi rumah. Tak ada niatan apa-apa, sungguh. Hanya ingin melihat-lihat. Namun, di dalam sebuah kamar, kutemukan segelas kopi hitam yang masih hangat, sepiring pisang goreng dan jajanan pasar yang belum tersentuh, serta dupa yang menyala.
Gagasan itu kemudian berubah menjadi sesuatu yang nakal. Mungkin karena dorongan hormon remaja atau karena kekesalan yang kupendam selama bertahun-tahun lamanya, tiba-tiba saja aku ingin memberikan Kasri sedikit pelajaran. Ia harus tahu rasanya sakit hatiku selama ini supaya kita impas.
Maka kopi di gelas itu kuminum sampai tersisa setengah, begitu pun dengan pisang goreng dan jajanan lainnya. Semua kubuat sengaja berantakan. Remah-remah berceceran di lantai. Tumpahan kopi mengotori permukaan meja. Dupa yang menyala kumatikan lalu kutaruh lagi sebagaimana posisinya di tempat semula.
Tak berapa lama kemudian, kudengar pintu kamar mandi terbuka. Aku pun segera keluar dan duduk manis di ruang tamu. Memasang tampang polos seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Seakan aku benar-benar tak berdosa dan tidak pernah mengacaukan sesajiannya.
Di luar dugaan, Kasri ternyata tidak segera menghampiriku. Ia mampir terlebih dahulu ke dalam kamar tempat diletakkannya sesajian itu, kamar yang baru saja kumasuki dan kubuat kacau tak keruan. Setan-setan peliharaannya pasti telah mengadukan tingkahku. Kasri pasti tidak akan terima dan murka.
Demi Tuhan! Seketika tubuhku gemetar.
Tanpa aba-aba, Kasri kemudian ke luar dari kamar. Ia menutup pintu dengan hentakan yang keras. Tapi tidak seperti yang kubayangkan. Di wajahnya, ada seutas senyum yang belum pernah kulihat seumur hidup. Kasri anehnya malah tampak bahagia. Lalu tibalah saat matanya menatapku dengan begitu teduh. Tidak ada sama sekali raut marah.
"Nak, Mbah Lanang uwes muleh."
Nak, Mbah Lanang sudah pulang, itu artinya.
Mbah Kasri kemudian menjelaskan semuanya. Maka dengarkanlah pengakuan ini baik-baik, karena ia tidak akan mengulanginya untuk kedua kali: saat itu, Mbah Lanang hendak ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar. Penghasilannya semakin hari semakin menipis mengingat orang mulai beralih ke minyak tanah. Alhasil, utang mereka yang tercecer di sana-sini pun kian menggunung. Mbah Lanang yang malang. Ia tidak punya keahlian apa-apa. Maka segala hal dikerjakannya secara serabutan, mulai dari menjadi kuli bangunan, mengumpulkan gondang, hingga kuli panggul di pasar. Namun, itu semua belum cukup.
Pertengkaran pun terjadi. Mbah Kasri menginginkan Mbah Lanang untuk melakukan lebih. Tidak neko-neko, ia hanya ingin keluar dari jeratan utang. Biarlah tetap miskin dan melarat asal tidak ada tanggungan yang akan membebani mereka di akhirat kelak. Sementara Mbah Lanang merasa bahwa ia telah mencurahkan segala tenaga dan kemampuan yang ia punya. Demi usainya pertengkaran itu, Mbah Lanang akhirnya menjanjikan sesuatu. Ia bilang, ia akan pulang dengan membawa duit untuk melunasi seluruh utang.
Maka pergilah ia ke hutan. Dikumpulkannya lima ikat kayu bakar dan hendak dijualnya kepada pengepul. Namun, sayang sekali. Sebuah pohon tua yang memang sudah miring tiba-tiba jatuh dan menimpa tubuh Mbah Lanang. Badan pohon itu melindas perutnya. Beberapa kesaksian menyebut bahwa ada organ-organ yang tergencet keluar. Ia jelas tidak bisa diselamatkan. Mbah Lanang mati seketika di tempat dengan kondisi yang mengenaskan.
Lalu para tetangga bersaksi akan jerit tangis memilukan yang keluar dari mulut Mbah Kasri. Utang mereka memang belum terbayar, namun kepergian Mba h Lanang adalah sepedih-pedihnya hal dibanding utang apa pun juga. Mbah Lanang boleh saja pergi, tapi Kasri akan tetap hidup dalam ilusi bahwa suami yang telah menemaninya selama tiga puluh tahun itu akan kembali.
Sebagaimana janjinya. Sebagaimana dulu ia bersumpah akan menjual kayu bakar, pulang, dan melunasi segala utang. Maka itulah mengapa ia tetap menyediakan kopi tumbuk dan berbagai makanan di kamar. Semuanya adalah kesukaan Mbah Lanang semasa hidup. Itulah mengapa ia, secara rutin tanpa pernah satu kali pun absen, melayani sosok Mbah Lanang yang telah tiada.
Dan ketika hidangan yang disajikan untuk Mbah Lanang kumakan diam-diam, Mbah Kasri secara naif mengira bahwa itu perbuatan dari arwah suaminya. Ia merasa Mbah Lanang akhirnya datang. Kekasihnya itu telah menepati janjinya untuk pulang.
Barangkali, dari sorot matanya yang teduh dan tenteram, Mbah Kasri ingin mengatakan satu hal: kau telah datang, Lanang. Utangmu padaku telah lunas. Maka pergilah kau sekarang ke alammu dengan tenang.
____________________________
Naryati, lahir di Lamongan 16 Desember 1997. Saat ini, ia tengah menempuh pendidikan S1 di Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Indonesia.