Puluhan Warga Masih Mengungsi Pascabanjir Bandang di Agam
›
Puluhan Warga Masih Mengungsi ...
Iklan
Puluhan Warga Masih Mengungsi Pascabanjir Bandang di Agam
Hingga Kamis (21/11/2019), puluhan warga masih mengungsi pascabanjir bandang di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Rumah mereka tidak dapat ditempati karena rusak dan tertutup material sisa banjir sehari sebelumnya.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
AGAM, KOMPAS — Hingga Kamis (21/11/2019), puluhan warga masih mengungsi pascabanjir bandang di Jorong Galapuang, Nagari Tanjung Sani, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Rumah mereka tidak dapat ditempati karena rusak dan tertutup material sisa banjir sehari sebelumnya.
”Warga terdampak menumpang di rumah sanak saudara ataupun para tetangga di sekitar lokasi. Kebersamaan warga di sini sangat tinggi,” kata Camat Tanjung Raya Handria Asmi, di lokasi banjir. Daerah itu berjarak sekitar 100 kilometer arah utara Padang, tak jauh dari Danau Maninjau. Sebanyak 14 keluarga yang terdiri atas 49 orang mengungsi.
Pantauan Kompas di lokasi, Kamis sore, petugas dibantu warga masih membersihkan material berupa batu, pasir, lumpur, dan kayu yang menutupi jalan, rumah, dan masjid. Dua alat berat dikerahkan untuk mengangkat material. Air dari Bandar Ampuah, sungai kecil yang meluap, masih mengalir di antara material sisa banjir menuju Danau Maninjau.
Sudah ditetapkan masa tanggap darurat selama tiga hari ke depan. Target pertama adalah membersihkan material.
Kamis malam, pembersihan dihentikan dan akan dilanjutkan esok. Akses jalan yang menghubungkan Tanjung Sani dan Maninjau masih terputus meski tidak separah kemarin. Saat banjir bandang, jalan tertutup material sepanjang sekitar 200 meter dengan tinggi 3-5 meter.
”Sudah ditetapkan masa tanggap darurat selama tiga hari ke depan. Target pertama adalah membersihkan material. Selama masa tanggap darurat juga disediakan dapur umum untuk masyarakat terdampak,” kata Handria.
Dilanjutkan Handria, di lokasi kejadian sudah dibuka posko penerimaan bantuan. Berbagai bantuan dari sejumlah instansi dan lembaga sudah berdatangan, seperti bahan pangan dan pakaian.
Banjir bandang terjadi pada Rabu (20/11/2019) sekitar pukul 19.00. Curah hujan tinggi sejak sore memicu bencana tersebut. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu, tetapi dua rumah hanyut. Sebanyak 14 rumah, 1 masjid, dan 1 madrasah diniyah awaliyah juga rusak.
Salman Endah (67), warga terdampak, mengatakan, warga sudah meninggalkan rumah sebelum material sampai ke permukiman. Rabu sore, air mulai menggenangi rumah warga, jalan, dan bangunan lainnya. ”Sehabis maghrib, batu, lumpur, pasir, dan kayu menimpa rumah. Namun, karena warga sudah tidak di rumah, tidak ada korban jiwa,” kata Endah.
Menurut Endah, sejak Idul Fitri pada Juni lalu sudah terjadi tiga kali banjir di Jorong Galapuang. Namun, banjir kali ini merupakan yang terparah. Banjir sebelumnya hanya menyebabkan genangan air dan hampir tidak ada material yang menimpa permukiman.
Zona merah
Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Agam Rinaldi menjelaskan, wilayah Tanjung Sani termasuk zona merah banjir dan pergeseran tanah. Setidaknya ada empat jorong (setingkat dusun) yang terancam dengan total sekitar 800 keluarga.
Menurut Rinaldi, potensi itu mulai diketahui pascagempa 30 September 2009 di Sumbar. Saat gempa, perbukitan curam di sekitar Tanjung Sani mengalami longsor. Di perbukitan itu terdapat retakan tanah yang dapat ambles saat musim hujan.
"Pemerintah kabupaten sudah mengupayakan relokasi warga sejak 2013. Setidaknya sudah tersedia 113 rumah di Jorong Dama Gadang (Tanjung Sani). Namun, hasilnya belum maksimal. Tidak semua warga mau pindah,” kata Rinaldi.
Sementara itu, Handria mengatakan, sejak program relokasi, ada warga yang pindah dan ada juga yang bertahan. Di antara warga yang pindah, ada pula yang kembali ke rumah lama mereka.
Warga enggan beranjak dari Jorong Galapuang karena sebagian besar merupakan petambak ikan keramba jaring apung di Danau Maninjau. ”Dama Gadang jauh dari danau dan hanya tersedia lahan pertanian. Sementara itu, masyarakat sudah terbiasa mencari nafkah di danau. Akhirnya, mereka bertahan atau kembali lagi ke Galapuang,” ujar Handria.