JAKARTA, KOMPAS - Aset biro perjalanan umrah First Travel yang disita negara merupakan hak jemaah yang menjadi korban penipuan. Oleh karena itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengharapkan lembaga penegak hukum bisa segera mengatur pengembalian dana tersebut kepada jemaah.
”Saya kira itu dananya jemaah yang dipakai First Travel, ya, dan ketika asetnya disita, ya, harus dikembalikan kepada jemaah,” kata Amin menjawab wartawan di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Setelah Mahkamah Agung memutus aset First Travel dirampas untuk negara sesuai amar putusan kasasi nomor 3096 K/Pid.Sus/2018, terjadi polemik terkait pengembalian aset tersebut. Aset tersebut dapat diselesaikan dengan upaya hukum ataupun nonhukum. Upaya hukum di antaranya dapat ditempuh lewat gugatan perdata dan peninjauan kembali (PK) oleh para korban First Travel. Sebaliknya, upaya nonhukum dapat ditempuh dengan cara negara mengeluarkan kebijaksanaan memberangkatkan umrah para korban biro perjalanan tersebut (Kompas, Rabu, 20/11).
Terkait pengembalian, Amin juga meminta pengadilan dan kejaksaan agar dapat mengatur pembagian aset First Travel untuk para korban sesuai data penyetoran uang yang dilaporkan jemaah.
”Saya kira yang melapor sudah ada datanya masing-masing. Sudah ada berapa, dia bayar berapa,” ujarnya. Amin juga mengingatkan agar pembagiannya dilakukan secara adil untuk para korban.
Sebelumnya, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi menjelaskan, putusan penyitaan aset First Travel diambil karena kasus itu termasuk delik pidana. Akan tetapi, Kementerian Agama tetap berpendapat, hak jemaah yang sudah menyetorkan uang kepada Fisrt Travel harus dipenuhi.
Perlu terobosan
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Mukri di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, menyatakan, hingga kini, pihaknya masih terus mengkaji putusan pengadilan yang menyatakan aset biro perjalanan umrah First Travel diserahkan ke negara. Di sisi lain, ada opsi yang bisa diambil oleh negara untuk mengganti kerugian para korban penipuan First Travel tersebut.
”Kami sedang melakukan kajian terhadap putusan pengadilan, terutama yang menyangkut barang bukti dirampas oleh negara,” kata Mukri.
Saat ini, salah satu upaya hukum yang akan ditempuh adalah PK. Mukri menyadari bahwa jaksa tidak boleh mengajukan PK karena terhalang oleh putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 263 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. ”Namun, karena ini menyangkut kepentingan umum dan ada korban juga, harus ada terobosan,” ujarnya.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Satya Arinanto berpendapat, konstruksi hukum yang semestinya digunakan adalah korban merupakan warga Indonesia yang ditipu ketika ingin beribadah. Berangkat dari hal tersebut, negara harus memberikan perlindungan. Namun, negara harus membuat dasar hukum penggantiannya terlebih dahulu.