Antisipasi Relokasi Pabrik, Gubernur Jabar Terbitkan Surat Edaran UMK
›
Antisipasi Relokasi Pabrik,...
Iklan
Antisipasi Relokasi Pabrik, Gubernur Jabar Terbitkan Surat Edaran UMK
Upah minimum kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2020 telah ditetapkan. Gubernur Jabar Ridwan Kamil menerbitkan surat edaran yang dimaksudkan untuk mendorong semangat perundingan jika ada keberatan perusahaan dan buruh.
Oleh
SAMUEL OKTORA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Besaran upah minimum kabupaten/kota atau UMK di Provinsi Jawa Barat tahun 2020 telah ditetapkan. Terkait UMK dengan kenaikan 8,51 persen, Gubernur Jabar Ridwan Kamil telah menerbitkan surat edaran. Yang dimaksudkan, dengan surat edaran itu, lebih fleksibel dan mendorong semangat perundingan jika terdapat keberatan dari pihak perusahaan ataupun buruh.
Gubernur Jabar tidak menerbitkan surat keputusan (SK) sebagai dasar hukum penetapan UMK sebagaimana yang diterbitkan tahun sebelumnya. Hal itu karena SK dinilai mengikat secara hukum dan terdapat sanksi pidana bagi perusahaan yang tak mampu membayar upah sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan.
Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan situasi yang tidak kondusif bagi pertumbuhan investasi di wilayah Jabar. Sebab, bagi perusahaan yang keberatan dengan UMK, apabila mereka tak mampu membayar, tak menutup kemungkinan mereka memilih opsi untuk tutup atau merelokasi pabrik ke daerah lain atau luar Jabar.
”Penerbitan pelaksanaan UMK 2020 dalam bentuk surat edaran telah melalui segala pertimbangan dan ini merupakan terobosan untuk menekan pengangguran. Buruh diharapkan tetap dapat bekerja dan sejahtera, sedangkan perusahaan juga tetap berkesinambungan,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar M Ade Afriandi, di Bandung, Jumat (22/11/2019).
Gubernur meneken Surat Edaran Nomor 561/75/Yanbangsos tentang Pelaksanaan Upah Minimum Kabupaten/ Kota di Provinsi Jabar Tahun 2020 itu pada Kamis (21/11/2019) malam.
Penerbitan pelaksanaan UMK 2020 dalam bentuk surat edaran telah melalui segala pertimbangan dan ini merupakan terobosan untuk menekan pengangguran.
Penetapan itu berdasarkan rekomendasi dari bupati/wali kota. UMK tertinggi adalah Kabupaten Karawang sebesar Rp 4.594.324 dan terendah Kota Banjar sebesar Rp 1.831.884.
Ade menuturkan, dari pengalaman sebelumnya, ketika ditetapkan UMK tahun 2018, terdapat 73 industri yang mengajukan penangguhan. Dari jumlah itu, 80 persen merupakan usaha garmen. Begitu pula saat UMK 2019 ditetapkan, sebanyak 54 industri meminta penangguhan. Dari jumlah tersebut, 90 persen juga merupakan industri garmen.
Hal ini menjadi perhatian Pemerintah Provinsi Jabar. Pasalnya, sektor tekstil dan produk tekstil menyerap tenaga kerja yang besar, seperti pada usaha garmen yang merupakan industri padat karya. Satu pabrik garmen bisa menyerap 2.000-an buruh.
Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar, akibat upah relatif tinggi di Jabar, lima perusahaan garmen pindah ke Jawa Tengah. Perusahaan itu adalah Libra Permana (Kabupaten Bogor), Sungintex (Kota Bekasi), Sahabat Unggul Internasional (Kota Bogor), Lucky Abadi (Kota Depok), dan Dream Sentosa (Karawang).
Dengan bentuk surat edaran ini, akan lebih fleksibel dan yang didorong adalah perundingan jika memang ada keberatan antara perusahaan dan buruh. Perusahaan akan membayar sesuai dengan kemampuan.
”Namun, meski mungkin terjadi perundingan, pihak perusahaan tak boleh membayar upah di bawah rekomendasi UMK yang sudah ditetapkan para bupati/wali kota,” ujar Ade.
Menurut Ade, pihak yang berkeberatan dengan surat edaran itu juga terbuka untuk mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara.
Mendukung
Apindo Jabar menyambut positif penerbitan surat edaran itu. Apindo Jabar menilai, ini juga sebagai upaya bagi Pemprov Jabar untuk mengambil kebijakan pengupahan yang tepat sehingga menarik bagi investor.
”Ini kebijakan yang fleksibel, tak memaksakan kehendak. Sebab, kalau dengan surat keputusan, ada konsekuensi pidana, dan ini bagi investor akan menakutkan. Jika mereka merasa berat dengan besaran upah dan bisnis tak mendatangkan untung, mereka tentu akan hengkang,” ucap Ketua Apindo Jabar Deddy Wijaya.
Secara terpisah, ketika dikonfirmasi Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Jabar Roy Jinto Ferianto menyatakan menolak surat edaran tersebut.
”Kebijakan ini sama saja gubernur melegalkan upah murah dan pelanggaran hukum di Jabar. Ini aturan yang aneh. Apa jaminannya dengan surat edaran ini perusahaan tak membayar upah sesuai dengan ketentuan. Surat edaran tak mengikat secara hukum, baik kepada perusahaan maupun buruh,” tutur Roy.
Roy berpendapat, kebijakan surat edaran gubernur ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang penetapan UMK, juga adanya sanksi pidana jika upah yang dibayar di bawah angka yang ditentukan.