Situs Sekaran masih menanti penjagaan selanjutnya. Tanpa peneduh dan penjaga, situs itu dikhawatirkan rusak, bahkan hilang. Jika demikian, akan hilang pula jejak sejarah kita.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
Suara azan Dzuhur di kejauhan memecah keheningan area Situs Sekaran di Dusun Sekaran, Desa Sekarpuro, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Rabu (20/11/2019). Matahari bersinar terik. Tidak ada aktivitas lain kecuali satu-dua kendaraan proyek pembangunan Jalan Tol Pandaan-Malang Seksi 5 yang tengah melintas di sisi timur situs.
Sepanjang mata memandang, dari utara ke selatan, membentang beton konstruksi jalan tol yang masih dalam penyelesaian. Di sisi barat situs, tanaman-tanaman padi yang masih berumur beberapa hari menghiasi lahan pertanian penduduk yang sedikit basah oleh air irigasi dan hujan.
Sebuah warung semipermanen, yang membatasi area situs dengan makam desa, terlihat kosong. Tak ada lagi aktivitas si mbok, empunya warung, menyeduh kopi panas atau menuang gorengan dari serok ke atas loyang. Di warung kecil itulah biasanya pekerja proyek atau pengunjung situs mengisi perut atau sekadar ngopi.
Untungnya sebuah bangku kayu berdebu masih dibiarkan berada di dalam warung. Sambil duduk berteduh dari panas, Kompas mengamati kondisi situs berbahan batubata yang dikelilingi pagar bambu. Tenda sementara yang beberapa bulan lalu masih memiliki atap terpal kini tinggal rangka bambu. Tutup terpal telah terempas.
Sebelumnya tenda itu berfungsi melindungi bagian tengah situs yang terbuka setelah proses ekskavasi oleh pihak terkait selesai dilakukan. Kondisinya cukup kontras dengan papan-papan imbauan berisi ajakan melestarikan situs, yang tertancap di pagar bambu, seperti ”Situs Sekaran Milik Bersama Ayo Lestarikan”.
”Hujan jelas mengancam situs yang terbuat dari batubata. Situs akan rusak. Makanya kemarin kami berkoordinasi untuk mengantisipasi musim hujan. Kami ingin sebelum hujan situs itu sudah ada atapnya,” ujar arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, Wicaksono Dwi Nugroho, saat dihubungi dari Malang.
Hujan jelas mengancam situs yang terbuat dari batubata. Situs akan rusak.
Pekan lalu BPCB berkoordinasi dengan sejumlah pihak, antara lain Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang, pihak Jasa Marga, serta pemerintah desa. Koordinasi yang berlangsung di Museum Singhasari, Malang, itu berupaya memetakan masalah mengapa sampai delapan bulan setelah ditemukan keberadaan situs belum juga mendapat sentuhan, dalam hal ini atap.
Menurut Wicaksono, lahan tersebut ternyata masih milik Jasa Marga sehingga pemerintah daerah belum bisa menganggarkan dana untuk membuat atap.
”Saya kemudian minta pihak Jasa Marga membangun atap, ternyata mereka bersedia membangun atap. Pada hari yang sama, pihak Jasa Marga minta agar Pemerintah Kabupaten Malang membuat surat permohonan atap darurat untuk Situs Sekaran. Surat itu telah dibuat,” ucapnya.
Dari proses tersebut, lanjut Wicaksono, dalam waktu dua pekan ke depan, pihak Jasa Marga akan segera membangun atap sementara. Adapun terkait status tanah, BPCB akan menjadi mediator agar lahan di area situs dihibahkan oleh Jasa Marga ke pemda. Kemudian pemda akan menyerahkan pengelolaan situs ke pemerintah desa.
Terbongkar
Keberadaan situs Sekaran sebenarnya sudah diketahui warga Sekarpuro sejak lama. Namun, warga baru tahu ada struktur batubata masa lalu saat pengerjaan Jalan Tol Pandaan-Malang Seksi 5, Maret lalu. Saat itu ujung ekskavator menyingkap bangunan cagar budaya yang sebelumnya tertimbun tanah.
Hasil ekskavasi awal BPCB Jawa Timur menyatakan batubata di Sekaran punya ukuran lebih besar dibanding batubata di Trowulan, Mojokerto, yang diyakini peninggalan masa Majapahit. Batubata di Sekaran memiliki dimensi 38 cm x 25 cm x 8 cm, 35 cm x 20 cm x 7 cm, dan 32 cm x 23 cm x 6 cm. Sementara di Trowulan 30-32 cm x 6-7 cm x 18-20-23 cm.
Perbedaan ukuran ini menjadi salah satu pertimbangan bahwa Situs Sekaran, yang ada di tepi Sungai Amprong, dibangun lebih awal dari masa Majapahit, yakni Singasari atau Kediri. Dugaan ini diperkuat oleh temuan koin, gerabah, dan porselen yang menyatakan benda itu digunakan pada masa Dinasti Song abad ke-10 hingga ke-14. Adapun era Majapahit tahun 1293-1500 M.
Hasil ekskavasi berikutnya, BPCB memiliki hipotesis sementara bahwa apa yang ada di Sekaran merujuk pada indikasi bangunan suci pra-Majapahit. Di situ BPCB mendapati struktur yang menyerupai altar dan fondasi gapura paduraksa. Semua itu terlihat dari area seluas 25 meter x 25 meter yang tersingkap.
Pemerintah Desa Sekarpuro menyatakan kesiapannya mengelola Situs Sekaran. Pelaksana Tugas Kepala Dusun Sekaran, Desa Sekarpuro, Suyono, yang ditemui Rabu siang mengatakan, pihaknya telah diajak berkoordinasi oleh BPCB bersama pihak Jasa Marga dan Pemkab Malang.
”Begitu pula soal atap. Pihak Jasa Marga telah menyatakan siap membangun atap dan kami pemerintah desa siap membantu. Tidak sampai akhir tahun diharapkan atap telah dibangun,” katanya.
Menurut Suyono, tidak banyak situs masa lalu yang terbuat dari batubata. Sebagian besar terbuat dari batu andesit. Olah karena itu, Sekaran punya kelebihan sendiri yang harus dilestarikan keberadaannya.
Jasa Marga telah mengalihkan jalur Tol Pandaan-Malang Seksi 5 demi situs Sekaran. Jalur yang awalnya melalui situs itu kini dibelokkan menjauh dari situs. Namun, Situs Sekaran masih menanti penjagaan selanjutnya. Tanpa peneduh dan penjaga, situs itu dikhawatirkan rusak, bahkan hilang. Jika demikian, akan hilang pula jejak sejarah kita.