Pembenahan tata kelola program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat tidak bisa ditawar lagi. Hal itu disebabkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan belum bisa menekan defisit.
Oleh
Anita Yossihara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembenahan tata kelola program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat tidak bisa ditawar lagi. Hal itu disebabkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan belum bisa menekan defisit meski pemerintah telah mengeluarkan dana hingga Rp 115 triliun untuk menyubsidi iuran 150 juta penduduk.
Dalam rapat terbatas (ratas) membahas program kesehatan nasional di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (21/11/2019), Presiden Joko Widodo kembali mengingatkan pentingnya pembenahan dan perbaikan tata kelola BPJS Kesehatan. ”Saya minta betul-betul, manajemen tata kelola di BPJS dibenahi dan diperbaiki,” kata Presiden Jokowi saat menyampaikan pengantar ratas.
Saya minta betul-betul manajemen tata kelola di BPJS dibenahi dan diperbaiki.(Joko Widodo)
Permintaan untuk membenahi tata kelola BPJS Kesehatan berkali-kali disampaikan Presiden Jokowi. Sebelumnya saat meninjau pelayanan BPJS Kesehatan di RSUD Abdul Moeloek, Bandar Lampung, Provinsi Lampung, Jumat (15/11/2019), mantan Gubernur DKI Jakarta itu meminta agar manajemen badan pengelola JKN-KIS diperbaiki. Sebab, dana yang dikeluarkan pemerintah untuk menyubsidi iuran peserta BPJS Kesehatan relatif besar.
Dalam rapat yang dihadiri Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan sejumlah menteri itu, Presiden Jokowi menyampaikan, hingga tahun 2018, pemerintah telah mengeluarkan dana hingga Rp 115 triliun untuk menyubsidi BPJS Kesehatan.
Selain menanggung iuran lebih dari 96 juta peserta kategori penerima bantuan iuran (PBI), dana itu digunakan untuk menyubsidi iuran 17 juta anggota TNI/ Polri. Belum lagi subsidi yang diberikan pemerintah daerah kepada 37,8 juta peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat .
”Artinya yang sudah disubsidi pemerintah itu sekitar 150 juta jiwa,” kata Presiden. Dengan demikian, iuran lebih dari 60 persen dari total 222,27 juta peserta BPJS Kesehatan ditanggung pemerintah.
Seusai ratas, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengungkapkan, ujung pangkal persoalan BPJS Kesehatan sudah ditemukan. Defisit yang dialami BPJS Kesehatan disebabkan, antara lain, banyak pelayanan yang berlebihan. Banyak tindakan medis tak sesuai diagnosis penyakit sehingga tagihan yang harus ditanggung membengkak.
”Misalnya belum waktunya di-stent (memasang ring) jantung, lalu dipasang stent. Seharusnya kalau mau tindakan, ya, sesuai diagnosisnya, mau operasi juga sesuai diagnosisnya,” kata Terawan.
Kondisi itu membuat tagihan BPJS Kesehatan untuk pasien penyakit jantung menjadi tinggi, Rp 10,5 triliun. Tagihan untuk operasi sesar juga tergolong tinggi karena 45 persen kelahiran di Indonesia dilakukan dengan operasi sesar. Banyaknya kelahiran dengan operasi sesar tidak bisa menekan angka kematian ibu dan bayi.
Karena itu, pemerintah berupaya menekan tagihan rumah sakit kepada BPJS Kesehatan dengan memperketat pemberian tindakan kepada pasien peserta JKN-KIS. ”Jadi, nanti kami evaluasi, kami lihat, jangan sampai over indikasi. Tindakan yang dilakukan benar-benar sesuai diagnosis penyakit yang diderita,” kata Terawan.
Dengan pengetatan itu diyakini biaya pengobatan yang harus ditanggung BPJS Kesehatan bisa ditekan hingga lebih dari 50 persen. Untuk keperluan itu, Terawan akan membuat regulasi sebagai payung hukum. Peraturan itu dibuat agar pembiayaan BPJS Kesehatan bisa berkelanjutan.