Perizinan Terintegrasi Tak Jalan
Investasi dan ekspor dinilai sebagai obat untuk mengatasi defisit neraca berjalan Indonesia. Namun, proses mengurus perizinan di Indonesia belum juga membaik.
JAKARTA, KOMPAS — Investasi dan ekspor dinilai sebagai obat untuk mengatasi defisit neraca berjalan Indonesia. Namun, proses mengurus perizinan di Indonesia belum juga membaik.
Layanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission) dimulai pada awal 2019. Harapannya, pengusaha cukup mengajukan syarat-syarat pengurusan izin usaha secara dalam jaringan sehingga proses perizinan menjadi cepat dan sederhana. Kenyataannya, pengusaha tetap perlu menyiapkan syarat-syarat yang diurus di daerah sesuai peraturan daerah dengan proses tak kurang dari enam bulan.
”OSS seharusnya online, tetapi akhirnya tetap manual. Kami tetap harus mengurus UKL-UPL (upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup) di daerah, misalnya. UKL-UPL saja hampir enam bulan (mengurusnya),” tutur Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat seusai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Kamis (21/11/2019).
Izin-izin yang harus diproses sesuai peraturan daerah umumnya izin lingkungan. Ada juga sertifikasi bangunan dan analisis mengenai dampak lingkungan lalu lintas (amdal lalin). Akibat banyaknya syarat dan izin yang harus dipenuhi, waktu pengurusan izin usaha menjadi panjang.
Ade berharap, pabrik-pabrik yang berlokasi di kawasan industri semestinya sudah tidak memerlukan izin dan syarat lingkungan yang memperpanjang proses itu. ”Kalau perusahaan di kawasan industri seharusnya tidak perlu. Ini diulang-ulang. Investor merasa seperti negara dalam negara. Seharusnya lebih simpel,” tutur Ade.
Dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Kamis pagi, Presiden mengingatkan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia sempat melompat dari peringkat ke-120 menjadi peringkat ke-72 pada 2018. Namun, peringkat ini turun menjadi 73 pada 2019.
Presiden memerintahkan percepatan perbaikan kemudahan berusaha. Kabinet Indonesia Maju diminta menaikkan peringkat ke urutan 50 pada 2021 atau mengarah ke peringkat 40. Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman diminta mengawal semua langkah reformasi struktural, deregulasi, dan debirokratisasi dalam mendorong kemudahan berusaha.
”Saya ingin para menteri mempelajari masalah-masalah yang ada secara detail, di mana poin-poin kelemahan dan titik yang menjadi penghambat dari kemudahan berusaha ini,” tutur Presiden dalam pengantar ratas.
Untuk mengatasi hambatan investasi ini, menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung seusai ratas, Presiden memutuskan kewenangan perizinan sepenuhnya dikembalikan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Presiden juga menginstruksikan semua menteri untuk sekurang-kurangnya mencabut 40 peraturan menteri yang dianggap menghambat investasi.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menambahkan, BKPM akan menjemput bola dan membantu pengurusan perizinan. ”Nanti kami bantu urus perizinannya di kementerian mana yang sulit. Kami akan mendampingi,” ujarnya.
Bahlil menambahkan, saat dipilih sebagai Kepala BKPM, masih ada investasi senilai Rp 708 triliun yang masih tertunda realisasinya. Kini Rp 89 triliun investasi yang sudah dieksekusi.
Untuk OSS yang tak terintegrasi dengan perizinan daerah, Bahlil menambahkan semua akan diselesaikan. ”Izin di daerah, perda-perdanya harus di-clear-kan dalam rakor PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) se-Indonesia. Per Januari, semua akan terintegrasi pusat dan daerah,” tuturnya.
Tekstil dan Produk Tekstil
Terkait kawasan industri khusus tekstil dan produk tekstil atau TPT yang terpadu dinilai bisa mendorong efisiensi industri TPT Indonesia, Presiden Joko Widodo saat menerima sejumlah pengusaha tekstil di Istana Merdeka menyebutkan, hal itu perlu ditunjang perbaikan sistem perizinan usaha yang sederhana dan cepat.
Kawasan industri khusus TPT sebelumnya disebutkan Presiden saat menerima pengurus Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yang dipimpin Ade Sudrajat dan Asosiasi Produsen Serat Sintesis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) yang dipimpin Ravi Shankar di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (21/11/2019).
Dalam pertemuan ini, Presiden didampingi Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Presiden meminta masukan supaya nilai dan kuantitas ekspor TPT bisa dinaikkan, investasi ditingkatkan, dan dibangun apparel park atau kawasan yang mencakup industri TPT mulai bahan baku sampai barang jadi. Hal ini, kata Presiden, akan ditindaklanjuti termasuk dengan Menteri Keuangan.
Ade mengatakan, pengusaha menyambut kawasan industri tekstil terpadu dan lengkap. Kawasan ini direncanakan berlokasi di Tegal, Jawa Tengah, dengan luasan 4.000 hektar. Diharapkan, kawasan ini terintegrasi, termasuk instalasi pengelolaan air limbah (IPAL)-nya yang komunal. Dengan demikian, perusahaan cukup membayar pengelolaan air limbah tanpa harus berurusan dengan pidana.
Selain itu, diharapkan pula hak guna bangunan (HGB) tak dibatasi 30 tahun. Kendati masih ada peluang perpanjangan HGB, pengusaha memilih supaya HGB bisa diberikan untuk 50 tahun tanpa peluang perpanjangan.
Dengan adanya kawasan industri khusus TPT ini, Ade berharap semua izin dan biaya bisa dipangkas. Proses pengurusan izin juga semestinya bisa diperpendek dan disederhanakan.
”Untuk masalah analisis mengenai dampak lingkungan, misalnya, kalau perusahaan di kawasan industri, seharusnya tidak perlu lagi. Ini diulang-ulang dan investor merasa seperti ada negara dalam negara. Padahal, semestinya bisa lebih simpel dan cepat kalau kawasan industri sudah komprehensif dari hulu sampai hilir,” tutur Ade.
Investasi asing langsung (PMA) juga siap masuk ke sektor pewarnaan, penyelesaian, dan pencetakan tekstil. Sebab, bagian ini diketahui sebagai sumbatan dalam industri TPT Indonesia. Namun, semua investor menunggu seberapa cepat pengurusan perizinan diselesaikan.
Masalah tarif yang dikenakan di produk industri hulu dan hilir juga disampaikan kepada Presiden. Pembuat serat di kawasan berikat, misalnya, dikenai pajak 5 persen, sedangkan pengusaha tekstil yang membeli dari luar negeri malah tak kena tarif. Selain itu, produk industri hilir juga kena tarif. Diharapkan, pengusaha yang membeli bahan dari kawasan berikat tak dikenai tarif sehingga produk TPT Indonesia bersaing dan bisa meningkatkan ekspor. Perbaikan rantai pasok dan fasilitas lain juga diperlukan untuk menaikkan kuantitas dan nilai ekspor.
Selain itu, para pengusaha juga menunggu perubahan aturan perundangan seperti UU Ketenagakerjaan dan UU Agraria. Diharapkan, perubahan aturan perundangan bisa rampung segera.