Dalam kasus teror air keras ada semacam keinginan dari pelaku untuk mengekspresikan kebencian, balas dendam, dan frustrasi. Motif yang dominan adalah keinginan mengontrol, mendominasi, dan mengendalikan kekuasaan.
Oleh
WISNU AJI DEWABRATA
·3 menit baca
Penyidik Subdit Jatanras Polda Metro Jaya menggelar rekonstruksi teror air keras di Jakarta Barat dengan tersangka FY (29) di Markas Polda Metro Jaya, Kamis (21/11/2019). Tersangka FY dihadirkan untuk memperagakan langsung puluhan adegan penyiraman air keras terhadap enam korban.
Selama proses rekonstruksi, FY melakukan adegan demi adegan dengan lancar. FY menggunakan baju tahanan warna oranye, sedangkan para korban diperankan oleh polwan.
FY mampu mengingat secara persis urutan kejadian yang menyebabkan enam perempuan mengalami luka. FY menggunakan sepeda motor untuk mencari sasaran. Setelah menemukan calon sasaran yang semuanya perempuan, FY mendekat lalu menyiramkan air keras yang dibawa dalam botol air mineral.
Pria berperawakan kurus itu mengaku empat kali melakukan aksinya di wilayah Jakarta Barat. Teror pertama terhadap dua siswi SMP, yaitu A dan PN, tanggal 5 November 2019. Teror kedua terhadap penjual sayur keliling bernama Sakinah (60) di kawasan Kembangan, Jakarta Barat, tanggal 8 November 2019.
Teror ketiga terhadap enam siswi SMP di Kembangan, Jakarta Barat, 15 November 2019, tetapi hanya tiga siswi yang terluka. Tersangka juga mengaku pernah menyiramkan air keras di daerah Kebon Jeruk pada 3 November 2019. Peristiwa itu tidak memakan korban karena campuran air keras hanya sedikit.
Sebelumnya, Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Gatot Eddy Pramono mengatakan, motif tersangka FY diduga adalah mencari perhatian kakak perempuannya. FY yang berprofesi tukang AC itu merasa tidak diperhatikan oleh kakak perempuannya, apalagi setelah FY mengalami kecelakaan kerja terjatuh dari lantai 3.
Menurut Gatot, penyidik terus mendalami motif yang sesungguhnya mendorong tersangka melakukan teror air keras.
Pria berperawakan kurus itu mengaku empat kali melakukan aksinya di wilayah Jakarta Barat.
Kanit 2 Subdit Jatanras Polda Metro Jaya Komisaris Hendro Sukmono, Kamis, mengungkapkan, tersangka FY memperagakan 52 adegan. Rekonstruksi sebagian dilakukan di Polda Metro Jaya untuk keamanan. Tersangka juga memperagakan adegan ketika membeli soda api dan meraciknya. Tersangka membeli soda api di dua toko bangunan di Jakarta Barat kemudian meraciknya di beberapa tempat terpisah.
Keinginan mendominasi
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengungkapkan, dalam kasus teror air keras ada semacam keinginan dari pelaku untuk mengekspresikan kebencian, balas dendam, dan frustrasi. Motif yang dominan adalah keinginan mengontrol, mendominasi, dan mengendalikan kekuasaan.
”Bahwa saya lebih berkuasa dari korban, saya mampu mengendalikan hidup mati korban, bisa menaklukkan korban, bisa membuat korban tidak berdaya,” katanya.
Reza menjelaskan, di kota London sangat sering terjadi penyerangan dengan air keras sehingga disebut ibu kota penyiraman air keras. Angka kasusnya mulai dari belasan sampai ratusan di setiap distrik.
Alasan yang menyebabkan teror air keras di London sama dengan di Jakarta Barat, yaitu keinginan membuat orang cedera, cacat, tetapi bukan untuk membunuh. Pelakunya adalah orang yang sakit hati, dendam, yang ingin merusak tubuh korban, tetapi tidak sampai kehilangan nyawa. Kebanyakan korban di London juga perempuan dan golongan kulit berwarna.
Bahwa saya lebih berkuasa dari korban, saya mampu mengendalikan hidup mati korban, bisa menaklukkan korban, bisa membuat korban tidak berdaya.
Reza mengutarakan, kasus teror air keras dan pelemparan sperma di Tasikmalaya, Jawa Barat, mempunyai kemiripan, yaitu keinginan mendominasi dan menaklukkan korban. Namun, kasus pelemparan sperma di Tasikmalaya termasuk kasus pelecehan seksual. Dalam kasus pelecehan seksual, korban biasanya tidak mau melapor karena malu. Korban khawatir akan semakin dipermalukan jika melapor ke aparat.
Reza mengingatkan, ulah pelaku pelemparan sperma ataupun pelemparan air keras semakin lama akan semakin parah. Ke depan, para pelaku berpotensi melakukan serangan fisik yang lebih parah kepada korban.