Dalam Jerat Sengketa Lahan Eks Bioskop Tua Yogyakarta (3)
Pembangunan gedung relokasi pedagang kaki lima di Malioboro, Kota Yogyakarta, sejak awal dijerat sengketa lahan. Mahkamah Agung menguatkan putusan PTUN Yogyakarta memenangi gugatan ahli waris lahan bekas bioskop itu.
Pembangunan tempat relokasi pedagang kaki lima di kawasan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta, diwarnai sejumlah masalah. Sejak awal, salah satu persoalan yang membayangi proyek itu adalah status lahan yang masih dalam proses sengketa. Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari tiga tulisan terkait proyek tersebut.
Sejak akhir 2018, pembangunan konstruksi tempat relokasi pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Malioboro sebenarnya telah selesai. Namun, hingga kini, gedung yang menempati lahan eks bioskop Indra itu belum bisa digunakan. Salah satu alasannya, pekerjaan penataan lanskap belum selesai.
Namun, apabila pekerjaan penataan lanskap itu bisa selesai dalam waktu dekat, tempat relokasi PKL itu pun tak bisa serta merta digunakan. Pasalnya, lahan tempat bangunan tersebut berdiri masih dalam proses sengketa. Bahkan, sengketa lahan yang terjadi berpotensi mengancam keberlanjutan salah satu proyek besar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu.
Lahan yang dipakai untuk tempat relokasi PKL Malioboro itu dulunya merupakan areal gedung Bioskop Indra, salah satu bioskop tua di DIY. Lokasi lahan tersebut sangat strategis karena berada di dalam kawasan wisata Malioboro. Hanya berjarak sekitar 100 meter di sebelah utara Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta.
Baca juga: Sengketa Lahan Eks Bioskop Indra, Kasasi Pemda DIY Ditolak
Di satu sisi, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY mengklaim lahan itu merupakan tanah negara yang hak pengelolaannya diserahkan kepada mereka. Klaim itu didasarkan pada Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 39/HPL/BPN RI/2014 yang memberikan hak pengelolaan lahan eks Bioskop Indra kepada Pemda DIY.
Keputusan yang terbit pada 24 Oktober 2014 itu diikuti keluarnya sertifikat pengelolaan lahan eks Bioskop Indra oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta pada 17 Desember 2014. Dalam sertifikat itu, Pemda DIY dinyatakan sebagai pemegang hak pengelolaan lahan eks Bioskop Indra seluas 5.170 meter persegi.
Namun, polemik muncul saat seorang warga bernama Sukrisno Wibowo, mengklaim sebagai pemilik sah lahan itu. Sukrisno mengklaim lahan bekas Bioskop Indra merupakan milik perusahaan keluarga bernama NV Javasche Bioscoop en Bouw Maatschappij (JBBM) yang berdiri tahun 1916.
Sukrisno mengatakan, NV JBBM membeli lahan eks Bioskop Indra pada tahun 1919 dan tidak pernah menjual atau melepaskan haknya.
Dalam wawancara dengan Kompas pada 2018, Sukrisno mengatakan, NV JBBM membeli lahan eks Bioskop Indra pada 1919 dan tidak pernah menjual atau melepaskan haknya. Menurut Sukrisno, dirinya merupakan ahli waris pemilik NV JBBM sehingga ia dan keluarganya adalah pemilik sah lahan itu.
Pada Januari 2018, Sukrisno dan empat anggota keluarganya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta untuk membatalkan Keputusan Kepala BPN Nomor 39/HPL/BPN RI/2014 serta sertifikat hak pengelolaan lahan eks Bioskop Indra milik Pemda DIY.
Baca juga: Bau Tak Sedap Lelang Cepat di Sebelah Istana (1)
Pada 28 Maret 2018, ketika proses hukum di PTUN Yogyakarta masih berlangsung, Pemda DIY membongkar bangunan lama di atas lahan eks Bioskop Indra. Meski mendapat protes dari Sukrisno dan keluarganya, Pemda DIY selanjutnya mulai membangun gedung untuk tempat relokasi PKL di lahan tersebut.
Akan tetapi, masalah kemudian muncul karena majelis hakim PTUN Yogyakarta ternyata mengabulkan gugatan Sukrisno Wibowo dan keluarga. Dalam putusan tertanggal 5 Juli 2018, majelis hakim PTUN Yogyakarta membatalkan Keputusan Kepala BPN Nomor 39/HPL/BPN RI/2014 serta sertifikat hak pengelolaan lahan eks Bioskop Indra yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta.
Meski begitu, Pemda DIY tak menyerah. Setelah putusan PTUN Yogyakarta itu, Pemda DIY dan beberapa lembaga lain mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya, Jawa Timur. Proses pembangunan tempat relokasi PKL itu pun terus berjalan. Namun, pada 8 November 2018, majelis hakim PTTUN Surabaya mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan PTUN Yogyakarta.
Baca juga: Kisut Temuan BPK dan Dugaan Monopoli Proyek (2)
Putusan banding itu lalu ditindaklanjuti dengan permohonan kasasi oleh Pemda DIY dan sejumlah lembaga lain. Namun, permohonan kasasi itu ditolak oleh MA sehingga putusan PTUN Yogyakarta pun kembali dikuatkan. Dengan demikian, Pemda DIY sudah tiga kali kalah dalam sengketa lahan eks Bioskop Indra itu.
Penolakan permohonan kasasi Pemda DIY terkait sengketa lahan eks Bioskop Indra tercantum dalam Putusan MA Nomor 147 K/TUN/2019. Berdasarkan salinan putusan yang diperoleh Kompas, putusan tersebut ditetapkan pada 25 April 2019 oleh majelis hakim yang diketuai Yulius dengan hakim anggota Yosran dan Is Sudaryono.
Dalam amar putusannya, majelis hakim MA menyatakan menolak permohonan kasasi Pemda DIY, Kepala Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta, serta seseorang bernama Tantyo Suharno. Sementara itu, majelis hakim menyatakan tidak menerima permohonan kasasi dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN karena pengajuan permohonan kasasi itu telah melewati tenggang waktu yang ditetapkan.
Baca juga: PKL Malioboro Dibawa ke Sidang PTUN
Peninjauan kembali
Kepala Bagian Bantuan dan Layanan Hukum Biro Hukum Sekretariat Daerah DIY Adi Bayu Kristanto menyatakan, Pemda DIY sudah menerima pemberitahuan ihwal putusan MA tentang sengketa lahan eks Bioskop Indra. Dia menambahkan, Pemda DIY masih menunggu tindak lanjut dari BPN dan Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta setelah adanya putusan MA itu.
Hal ini karena obyek gugatan dalam perkara tersebut adalah keputusan yang dikeluarkan oleh BPN dan sertifikat pengelolaan lahan yang diterbitkan Kantor Pertanahan Yogyakarta.
”Kami ini kan memegang HPL (hak pengelolaan lahan), sementara dasar HPL itu kan Keputusan Menteri (Kepala BPN). Keputusan itulah yang dibatalkan. Jadi, kami menunggu bagaimana sikap kementerian (BPN),” ujar Adi.
Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta juga diwajibkan mencabut sertifikat pengelolaan lahan eks Bioskop Indra yang dipegang Pemda DIY.
Dalam putusannya, PTUN Yogyakarta memang mewajibkan BPN mencabut Keputusan Kepala BPN Nomor 39/HPL/BPN RI/2014 yang memberikan hak pengelolaan lahan eks Bioskop Indra kepada Pemda DIY. Selain itu, Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta juga diwajibkan mencabut sertifikat pengelolaan lahan eks Bioskop Indra yang dipegang Pemda DIY.
Adi menyatakan, Pemda DIY juga berencana mengajukan peninjauan kembali (PK) terkait putusan tersebut. Namun, pengajuan PK itu harus dilakukan berdasarkan kajian matang karena harus didasari pada novum atau bukti baru. ”Kami juga akan melakukan upaya PK, tetapi untuk PK itu kan butuh novum atau bukti baru. Bukti baru itu yang akan dicari,” ungkapnya.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X juga menyatakan, Pemda DIY akan mengajukan PK ke MA terkait putusan sengketa eks Bioskop Indra. ”Kami mengajukan gugatan (PK) lagi,” ujarnya.
Setelah putusan MA terbit, Kompas sudah berupaya meminta tanggapan dari Sukrisno Wibowo selaku penggugat. Namun, saat dihubungi melalui telepon dan aplikasi percakapan Whatsapp, Sukrisno tak merespons. Pada Jumat (27/9), Kompas mendatangi rumah Sukrisno di Yogyakarta, tetapi dia tak berada di tempat.
Menurut adik Sukrisno, Riyanti Suryatiningsih, kakaknya tengah berada di Jakarta sejak beberapa waktu lalu. Riyanti menyebut, jika sudah siap, sang kakak akan menggelar konferensi pers terkait sengketa lahan eks Bioskop Indra. ”Memang rencana nanti mau konferensi pers juga kalau urusannya di sana sudah beres,” katanya.
Potensi kerugian
Koordinator Pengurus Harian Jogja Corruption Watch, Baharuddin Kamba, mengatakan, sengketa lahan yang terjadi itu bisa membuat bangunan tempat relokasi PKL Malioboro menjadi mangkrak atau tak bisa digunakan. Jika hal itu terjadi, proyek tersebut berpotensi merugikan keuangan negara.
”Ada potensi kerugian negara kalau bangunan itu mangkrak. Sebab, dalam proyek itu kan sudah ada uang negara yang keluar untuk membangun gedung,” kata Kamba.
Kamba mengingatkan, Pemda DIY seharusnya lebih berhati-hati dalam membangun gedung yang berada di lahan sengketa. Apabila status lahan belum benar-benar jelas, pelaksanaan proyek sudah semestinya ditunda.
”Masalah ini harus menjadi pelajaran bagi Pemda DIY ataupun pemerintah kabupaten/kota di DIY. Harus dipastikan dulu status hukum tanah yang akan digunakan. Kalau masih dalam sengketa, ya, jangan,” ungkap Kamba.
Becermin dari kasus ini, saatnya masyarakat bersama-sama mengawasi proyek-proyek di DIY, termasuk pembangunan gedung relokasi PKL Malioboro yang dibelit sejumlah masalah. Bagi Pemda DIY, persoalan ini semestinya menjadi peringatan dini untuk berbenah dalam merancang proyek yang lebih transparan dan taat hukum.
(Selesai)