Semua pihak seyogianya mengarusutamakan moderasi dalam beragama. Artinya, tetap kokoh dalam memegang agama, tetapi di sisi lain juga memberi ruang bagi keyakinan orang lain.
Oleh
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS —Semua pihak seyogianya mengarusutamakan moderasi dalam beragama. Artinya, tetap kokoh dalam memegang agama, tetapi di sisi lain juga memberi ruang bagi keyakinan orang lain. Moderasi beragama dinilai menjadi salah satu cara menangkal radikalisme.
”Arus utamakan moderasi beragama. Bukan moderasi agama. Namun, cara beragama yang perlu dimoderasi karena dinamika keagamaan yang terus berubah. Menarik bandulnya agar selalu di tengah. Meski seseorang harus kokoh dalam beragama, di sisi lain tetap harus memberi ruang pada keyakinan orang lain,” tutur Menteri Agama Fachrul Razi saat memberi kuliah umum bertema ”Meneguhkan Nilai-nilai Agama dan Kebangsaan dalam Menangkal Radikalisme Menuju Indonesia Maju”, Kamis (21/11/2019), di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur. Hadir dalam kuliah umum tersebut para mahasiswa dalam dan luar negeri, ulama, serta dosen.
Selain itu, cara untuk melawan radikalisme menurut purnawirawan jenderal TNI itu adalah mengajak masyarakat untuk meningkatkan pemahaman dengan pendidikan. ”Meningkatkan pemahaman masyarakat dengan pendidikan dan penguatan pendidikan Islam. Semakin luas wawasan, maka orang semakin bijak. Sehubungan dengan ini, kurikulum pendidikan harus bersih dari pelajaran yang mendorong ekstremisme. Di kementerian masih terus dilakukan seleksi ketat hal itu, dan ditemukan bahan-bahan seperti itu. Ini berbahaya dan bisa membuat orang jadi radikal,” tuturnya.
Ancaman nyata
Menurut Fachrul, ancaman radikalisme negatif itu nyata. Menurut dia, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sedang menghadapi ujian dari pihak-pihak yang ingin menggantinya dengan bentuk lain.
”Kita tegaskan lawan radikalisme dan tangkal ekstremisme. Radikalisme adalah pandangan yang mendamba perubahan secara vokal dan revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis melalui aksi- aksi kekerasan,” katanya.
Ia mengingatkan, unsur radikalisme itu antara lain intoleran dengan orang lain yang berbeda, memiliki konsep takfiri atau mengafirkan orang lain di luar kelompoknya, memaksakan kehendak dengan dalil, dan menggunakan cara-cara kekerasan baik verbal maupun fisik untuk mencapai keinginannya.
”Dari sisi kami di Kementerian Agama, perlu melakukan upaya deradikalisasi. Kami juga paham ada pro-kontra di sekitar. Karena itu, kami mengembangkan moderasi beragama. Ini target selama 2020-2024, sebagai upaya melawan ekstremisme beragama di negara kita,” tutur Fachrul.
Dalam kesempatan itu, Fachrul juga mengkritik pegawai negeri sipil (PNS). ”PNS harus menjadi garda terdepan untuk meningkatkan wawasan kebangsaan dan melakukan deradikalisasi. Tidak boleh ada PNS yang tertular sifat-sifat radikal negatif. Buat apa jadi PNS kalau merusak negara. Buat apa menggaji PNS kalau dia menjadi musuh dalam selimut negara,” tuturnya disambut tepuk tangan hadirin.
Seiring munculnya surat keputusan bersama (SKB) sejumlah menteri tentang penanganan radikalisme, menurut Fachrul, di setiap kementerian sedang membentuk satuan tugas (satgas). ”Nanti akan ada pembentukan satgas yang menampung laporan-laporan tentang itu. Nanti akan kita panggil dan dikasih nasihat. Kalau tidak bisa dikasih tahu, ya, diberi sanksi. Pun akan dilakukan wawancara saat penerimaan PNS. Itu wajar saja, setiap penerimaan pegawai hal itu dilakukan,” katanya.
Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur Marzuki Musmatar mengatakan bahwa apa yang disampaikan Menteri Agama sesuai dengan pemahaman kiai. ”Apa yang disampaikan beliau, realitasnya, logikanya, kebijakannya, itu full yang dikehendaki oleh para kiai,” ujarnya.
Marzuki menjelaskan, kiai menjalankan dua amanah, yaitu menjaga negara dan jaga agama. Menjaga agama, tapi negaranya kacau, maka tidak bisa beragama. Menjaga negara sampai makmur aman saja, tapi tidak ada agama, maka tidak barokah. ”Siapa pun pejabat yang komitmen pada dua hal itu, otomatis satu visi misi dengan NU. Semua kebijakan yang mengamankan negara, bukan hanya kita dukung, melainkan juga kita doakan. Kalau negara aman, pastinya semua bisa bekerja dengan baik,” tutur Marzuki.
Marzuki pun setuju bahwa materi pendidikan keagamaan di sekolah harus ilmiah. Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan orang yang berlatar belakang akademisi dan pesantren. (DIA)