Presiden China Xi Jinping, Jumat (22/11/2019), menegaskan, sejatinya China ingin menjalin kerja sama perdagangan dengan Amerika Serikat.
Oleh
·3 menit baca
China selalu menginginkan bekerja sama. Beijing tidak pernah menginginkan perang dagang dengan Amerika Serikat. Namun, jika AS memaksa, China siap meladeninya.
BEIJING, JUMAT—Presiden China Xi Jinping, Jumat (22/11/2019), menegaskan, sejatinya China ingin menjalin kerja sama perdagangan dengan Amerika Serikat. Di hadapan delegasi bisnis AS di gedung Balai Agung Rakyat di Beijing, Xi menyampaikan bahwa China memiliki ”sikap yang positif” menuju negosiasi perdagangan.
”Seperti kami selalu sampaikan bahwa kami tidak ingin memulai perang dagang, tetapi kami tidak takut,” kata Xi. ”Apabila diperlukan kami akan melawan balik, tetapi selama ini kami telah aktif berusaha tidak memulainya.” Delegasi bisnis AS dari Forum Ekonomi Baru Bloomberg itu termasuk mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger, mantan Menteri Keuangan AS Hank Paulson, serta mantan Wakil Perdagangan AS Mike Froman.
Selama pertemuan, Xi kembali menegaskan bahwa kesepakatan membutuhkan ”sikap saling menghormati dan kesetaraan. Kami ingin mengusahakan kesepakatan fase pertama atas dasar saling menghormati dan kesetaraan.” Keinginan Xi itu sebenarnya sedang dalam proses. Wakil Perdana Menteri China yang sekaligus pimpinan juru runding dalam negosiasi perdagangan China, Liu He, telah mengundang perwakilan dari AS untuk membahas perjanjian dagang sebagaimana dilaporkan The Wall Street Journal, Kamis (21/11).
Selain itu, The South China Morning Post juga melaporkan bahwa Washington kemungkinan akan menunda pemberlakuan tarif baru yang semula direncanakan bulan depan. ”Kedua negara harus benar- benar menandatangani kesepakatan, lebih cepat lebih baik, setidaknya untuk gencatan senjata dan itu akan mengembuskan kepastian pada pasar dan ekonomi,” kata Liu.
Merespons hal tersebut, sebagian besar pasar Asia bereaksi positif. Sikap China yang ingin memiliki dan membangun kerja sama perdagangan dengan AS memberikan sinyal positif dan optimisme pada kinerja ekonomi di kawasan.
Menjelang penutupan, bursa Hong Kong naik 0,3 persen dan bursa Tokyo ditutup menguat 0,3 persen. Begitu juga dengan bursa Singapura yang naik 0,7 persen, Sydney naik 0,6 persen, Seoul dan Bangkok menguat 0,3 persen, serta bursa Taipei naik 0,1 persen. Namun, bursa Shanghai justru melemah 0,6 persen, sedangkan bursa Wellington, Manila, Mumbai, dan Jakarta berada di zona merah.
Kekhawatiran tampaknya masih membayangi investor. Mereka mencemaskan perjanjian dagang AS-China berpotensi gagal pada menit-menit akhir. Kekhawatiran didasarkan pada sikap DPR AS yang mendorong RUU untuk mendukung demokrasi di Hong Kong.
Nomor satu
Di sisi lain, tetap ada optimisme. Laporan Biro Statistik Nasional China terbaru memperlihatkan, besaran ekonomi China 2,1 persen lebih besar dari hasil perkiraan sebelumnya. China merevisi besaran produk domestik bruto (PDB) 2018 menjadi 91,93 triliun yuan atau sekitar 13,1 triliun dollar AS. Sebelumnya besaran PDB 2018 itu diperkirakan 90 triliun yuan (sekitar 12,8 triliun dollar AS).
PDB China di bawah PDB AS yang pada 2018 mencapai 20,5 triliun dollar AS. Namun, ekonomi AS pada 2018 tumbuh lebih lambat, yakni 2,9 persen dibandingkan dengan China. Pada Juli-September 2019, ekonomi China tumbuh 6 persen dibandingkan periode serupa pada 2018. Ini pertumbuhan kuartalan terrendah sejak 1992.
Perang dagang dengan AS dan melambatnya permintaan global menyebabkan penurunan itu. Namun, dengan pertumbuhan China yang lebih cepat dan populasinya yang mencapai 1,4 miliar jiwa, China diperkirakan bisa menggantikan AS sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Namun, data statistik ekonomi China kerap diragukan. Pengalaman pada masa lalu menunjukkan para pejabat pemerintah terkadang mengubah informasi dan data statistik demi alasan politik.(AP/AFP/REUTERS/ADH)