Aku memasuki ruang bercat putih, dengan tumpukan map di tiap meja. Tiga orang pekerja melengkapi. Dua sudah berusia diatas lima puluh tahun, bahkan sudah enam puluh bisa ditaksir. Duduk sederet, menghadap pintu yang menghubungkan ruang lain. Ruang bercat putih juga. Seorang lagi, perempuan juga, agak muda, sekitar tiga puluh lima tahun. Berkacamata. Duduk membentuk huruf L dengan dua yang lain. Menghadap pintu keluar.
Aku menyerahkan map yang sudah sangat kumuh, dan sehelai kertas yang akan dikembalikan padaku. Begitu masuk tadi, si Kacamata bergantian memandangiku dan memandangi temannya si penerima map. Sepertinya ia menunggu reaksi penerima map. Kulihat juga ia memperhatikan penampilanku dari balik kacamatanya. Pakaian yang kukenakan sampai logat bahasaku, kurasa diperhatikannya. Sepatu bututku juga bahkan, yang sudah pasti berbeda jauh harganya dengan sepatu hitam berhak tinggi yang mereka pakai. Sepatuku harganya pas dua puluh ribu rupiah, harga dua kilogram beras kelas menengah. Itupun sudah kupakai selama setahun lebih. Warnanya sudah gelap dari asli abu-abunya. Aku mematung, sedikit tegang.
Lama aku menahan nafas menunggu reaksi tiga perempuan ini. Tapi fokusku pada perempuan penerima map yang membalik-balik lembar kertas dalam map. Hanya membalik tidak sempat membaca apa yang tertera, dilihat dari kecepatannya membalik kertas. Pikiranku dan pikiran perempuan ini terasa bersambung.
Aku tidak mengharap satu kata pun meluncur dari perempuan berseragam putih-putih––sama dengan dua perempuan lainnya––penerima mapku. Sebabnya kali ini aku siap melawan. Memperotes. Memukul meja kalau perlu. Tidak seperti waktu-waktu yang lalu. Mengalah, tak bisa protes lebih jauh. Waktu itu, beberapa kali terjadi di ruang ini, padahal aku hanya meminta kuitansi untuk uang yang kuserahkan sepuluh ribu padanya. Tidak banyak memang. Tapi hatiku tergores. Wajah dua orang perempuan ini kukenali dengan baik. Selalu ada dalam memoriku. Perempuan berkacamata orang baru. Terlebih kalau akan berangkat ke tempat ini. Termasuk tadi pagi. Kupersiapkan juga uang pecahan sepuluh ribu untuk mengantisipasi keributan yang bisa-bisa terjadi antara aku dan perempuan berseragam putih-putih. Di ruang putih.
Suatu kali pernah pula aku tertekan sedemikain rupa. Ini terjadi pada kali kedua, atau ketiga, aku lupa, aku ke sini. Waktu itu aku harus menebus dengan uang tebusan yang seyogianya tidak seharga demikian. Waktu itu, perempuan penerima mapku, beserta teman perempuan juga yang duduk bersebelahan menge-mob-ku. Menanyaiku, berapa uang sebenarnya yang ada dalam dompetku.
Kujawab waktu itu tujuh puluh ribu. Dua perempuan ini langsung secepat kilat memproses keperluanku. Dan aku menyimpan tanya dalam benakku.
“Segitukah harus kubayar? Tidak diperdayakah aku!?”
Dalam hati kecilku, dan semua anak bangsa negeri ini, walau aku terhitung miskin, soal uang-uang pelicin, pemulus, memudahkan urusan, sampai pada menipu dengan andalan kebodohan dan keluguan korban, kuketahui dilakukan oleh siapapun yang berkuasa. Sekecil apapun kekuasaannya. Ini sudah tertanam dalam benakku. Sudah mendarah daging dalam darahku kebencian akan hal ini.
Apa saja urusanku, mulai dari sekedar membuat surat keterangan untuk mengurus kehilangan KTP dan lain-lain, tak pernah aku bebas dari memberi uang pemulus atau uang ketik di kelurahan. Yang kuanggap sangat lucu, pernah aku mengurus surat kehilangan di kantor polisi, aku dengan terpaksa menyerahkan uang pecahan logam lima ratus dan seribu rupiahan ke tangan pak polisi. Di sini, jangan coba minta kuitansi pembayaran, kalau tak ingin kena pentung.
Ketika aku menanyakan ke beberapa toko tentang harga barang yang kutebus di ruang bercat putih, beberapa hari sesudahnya, pemilik toko mengatakan aku telah tertipu. Barang yang kutebus bisa jauh lebih rendah harganya. Dalam hati aku mengutuk tiga perempuan di ruang bercat putih berseragam ini. Kuharap perut mereka nantinya akan kena busung dengan menipuku. Termasuk menerima uang sepuluh ribu, tanpa kuitansi, yang beberapa kali kuberikan. Busung perut mereka ditambahi lagi dengan berbuntut pada untut dan burut pula. Pada kemaluan mereka. Begitu besar marahku. Tapi jiwaku masih terkontrol dengan baik.
Ketika menyerahkan map kepada dua perempuan yang sudah kuanggap tua, berseragam putih ini, aku berkesempatan memandang wajah keduanya. Sudah mulai keriput. Kantong mata mereka sudah mulai terbentuk. Rambut putih tampak diselang-seling rambut yang di cat hitam. Walau keduanya waktu itu menunduk, aku bisa memperhatikan dengan baik. Kupikir mereka mengenaliku. Mereka pernah kumintai kuitansi untuk uang yang kuserahkan sepuluh ribu, bukan satu kali itu terjadi. Kuingat-ingat waktu itu presiden negara ini masih perempuan. Dan setahun yang lalu, terakhir aku kesini, aku memberanikan diri kabur ketika harus membayar sepuluh ribu. Aku pura-pura akan menukar uang menuju kantin. Dig-dag juga hatiku waktu itu, apakah perempaun berseragam putih-putih ini akan mengejarku! Sepuluh ribu yang diperjuangkan. Bagi tiga pula. Mungkin sudah berharga sekali untuk ditabung. Bukankah menabung dimulai dengan yang keci kecil. Lima puluh orang saja yang datang ke ruang putih-putih itu setiap hari. Dikali sepuluh ribu dan dibagi tiga, setiap orangnya sudah mengantongi lima puluh ribu. Dua kali gaji seorang babu cuci. Apalagi gaji guru honor.
Sayang sekali aku tidak mengintip untuk menguping pembicaraan mereka sesudah meninggalkan ruang itu. Apa yang dibahas mereka? Kecewakah mereka? Atau salah satu dari mereka mengatakan penerima map lusuhku bodoh. Tidak agresif.
“Toh perempuan itu dari kampungnya! Dengar tadi logat kampungnya itu!” si Kacamata, yang termuda, yang belum mengenaliku, menilaiku yang memang datang dari kampung. Dan memang aku datang dari daerah yang bejarak sekitar 200 km ke kota. Tambah harus menempuh satu jam perjalanan angkot ke tempat ini. Gedung berwarna putih yang memperkerjakan semua orang harus mengenakan seragam putih-putih, baik yang tinggi kedudukannya maupun para pegawai rendahan. Kecuali tukang pangkas rumput, yang sebagaian besar adalah orang-orang yang tinggal di gedung ini yang tak harus mengenakan seragam putih-putih. Bahkan ada yang bersempak saja bekerja.
Atau memang mereka berdua, selain si Kacamata sudah tobat melakukan kecurangan- kecurangan.
“Hey, minta duit! Duit, duit!” Seorang perempuan menadahkan tangan sambil menunjuk-nunjuk hidungku. Aku terpaksa berhenti untuk menuju ruang untuk menukar selembar bon ke ruang yang juga sebenarnya putih. Tapi sudah luntur dari keputihannya. Dan para antrian hanya berda di luar. Memasukkan kertas melalui sebuah lubang cukup untuk dua buah tangan. Loket apa namanya, aku lupa.
“Sana kamu! Aku tidak punya duit. Ngompas, beraninya!” Aku berekasi seolah-olah dimata perempuan ini kulihat mata perempuan di ruang bercat putih.
“Pelit, dasar!” sergahnya.
Menyesal juga aku berperasangka padanya. Toh, ia hanya meminta. Tidak memaksa.
“Tu, bos memanggilmu!” Seru seorang lelaki berperawakan tinggi kurus, mengenakan seragam putih-putih. Sambil menunjuk seseorang yang berdiri di tangga naik ke lantai dua. Perempuan yang meminta padaku duit mengalihkan perhatiaannya, refleks.
“Gila kamu ya? Tidak malu menyuruh perempaun baik-baik membelikan rokok! Mau kupanggilkan orang gila di luar sana, yang di rumah sakit jiwa, cocok berpasangan dengan kamu. Hey, goblok!” Idealis jua rupanya perempuan ini. Mungkin ia mantan mahasiswi yang aktif di organisasi ekstra dulunya.
“Bos nanti ngasi balen ke kamu, mau!?” Laki-laki di atas tangga merayu.
“Ogah, nun sana kasi ke amoy-amoy. Aku tidak sudi nerima suap! Jelek-jelek begini, aku mantan guru, bis, eh bos. Bis bos, ha-ha-ha....”
Banyak pasangan mata memperhatikan apa yang terjadi. Aku minta jalan pada orang yang berkerumun. Tubuh-tubuh yang sempat kuminta meminggir, tak bergerak. Berkakuan, mungkin oleh otak yang sudah rusak. Bahkan ada yang sempat menadahkan tangan, dan memberi kode dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dirapatkan dan dinaikkan kedekat bibir. Minta rokok!
Aku dan adik laki-lakiku berjalan keluar dari gedung putih menuju pintu gerbang. Kami tidak bercakap sepatah kata pun sampai melewati pintu gerbang, dan berhenti persisi di papan nama gedung: Rumah Sakir Jiwa dr. Bartalome Sijisaki. Papan nama sudah dikerubungi tanaman menjalar.
“Lima ribu keluar, bu!”
“Ya. Masih harga lama.”
“Kasihan yang mau naik betor, bu. Mereka umumnya membawa pasien gangguan jiwa. Dari daerah lagi. Tak sampai hati saya membebani mereka lagi!”
“Betul sekali yang kau katakan!”
“Tahulah ibu apa yang ada di rumah sakit itu. Selalu ada uang pelicin seperti di instansi-instansi lain yang tak mengurusi orang gila.”
“Memang bisa tambah gilanya kita kalau sering-sering kesini. Bagus uang yang dibayarkan kesini dibelikan makanan, ya enggak bang!?” Adikku, 45 tahun, duda dengan empat anak, dengan gangguan jiwa stadium rendah berunek-unek.
Nevatuhella, lahir di Medan, 1961. Alumnus Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara. Buku ceritanya yang telah terbit Perjuangan Menuju Langit (2016), Bersampan ke Hulu (2018) dan satu buku puisi Bila Khamsin Berhembus (2019).