Menyentuh Penonton
Teater Kecil Jakarta di Taman Ismail Marzuki kali ini sedikit beda. Kondisi panggung separuh lebih diisi penonton yang duduk lesehan, sedangkan sisa ruang panggung di bagian kanan digunakan untuk pentas teater.
Teater Kecil Jakarta di Taman Ismail Marzuki kali ini sedikit beda. Kondisi panggung separuh lebih diisi penonton yang duduk lesehan, sedangkan sisa ruang panggung di bagian kanan digunakan untuk pentas teater.
Itulah Festival Teater Jakarta 2019 yang berusaha menyentuh penonton dalam tema besar ”Drama Penonton”. Ketika berada di deretan kursi penonton seperti biasanya, di panggung menjadi terlihat unik: menonton penonton dan ada pentas teater.
Arah hadap arena bermain teater itu kepada penonton yang ada di panggung sehingga menyampingi penonton yang ada di deretan kursi biasanya. Benar-benar terasa unik dari sisi penonton di deretan kursi.
Ketika itu pementasan oleh Teater Cahaya yang mewakili salah satu kelompok teater Jakarta Utara, Rabu (20/11/2019). Mereka memanggungkan lakon Domba-domba Revolusi, naskah karya Bambang Soelarto dan disutradarai Afri Rosyadi.
Sehari sebelumnya, naskah yang sama dipentaskan Teater Ciliwung dari Jakarta Selatan. Pada akhir pekan berikutnya, naskah ini juga dimainkan kelompok Teater Petra dari Jakarta Pusat.
Naskah Domba-domba Revolusi termasuk paling diminati. Naskah ini mengunggah latar peperangan di masa revolusi fisik republik ini. Di situ ada kisah asmara, perjuangan bersiasat di tengah peperangan, dan ada pula pengkhianatan.
”Dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, perjuangan bangsa, namun sesungguhnya kepentingan pribadi di atas segalanya,” demikian sinopsis yang diberikan Teater Cahaya.
Perang status
Pilihan naskah dengan latar peperangan di masa revolusi ini pun mengundang kritik. Koordinator Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta Afrizal Malna mengungkapkan, generasi penikmat teater sekarang sudah tidak lagi terhubung dengan masa-masa peperangan fisik seperti di era pasca-kemerdekaan atau perang dunia sebelumnya.
”Ini bukan berarti medan perang generasi sekarang menghilang. Medan perangnya sudah berubah, seperti di media sosial ada perang status di situ,” ujar Afrizal.
Di pementasan Teater Cahaya, sesekali tatapan pemain ditujukan kepada penonton yang berada di bawah panggung. Mereka berusaha meleburkan diri ke segenap penonton yang ada.
Mereka menggapai perhatian penonton seutuhnya demi merespons tema Festival Teater Jakarta (FTJ) 2019, ”Drama Penonton”. FTJ memang bukan pementasan teater biasa. Ini pentas kompetisi tahunan.
Hajatan ini diselenggarakan Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta sejak tahun 1973. Dukungan dana sepenuhnya oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Ada dua putaran untuk menentukan pemenang kompetisi ini. Putaran pertama, putaran penyisihan di lima tingkat wilayah Jakarta. Kemudian, putaran berikutnya, putaran final sebagai FTJ yang diselenggarakan di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki.
Penyelenggaraan pada tahun 2019 ini merupakan yang ke-46 kali. Ini hajatan seni teater tertua di lingkup Asia Tenggara. Rentang waktu FTJ 2019 cukup panjang, 12-29 November 2019.
Setiap wilayah administrasi kota Jakarta diwakili tiga finalis sehingga jumlah para finalisnya 15 kelompok. Tercatat para peserta meliputi kelompok Lab Teater Lumbung, Teater Asa, dan Teater Nusantara asal Jakarta Barat.
Selain itu, Kelompok Teater Labo El Aktor, Teater Ciliwung, dan Kelompok Pojok dari Jakarta Selatan. Kelompok Castra Mardika, Teater Camuss, dan Sanggar Teater Jerit asal Jakarta Timur.
Kelompok Maura Lintas Teater, Teater Cahaya, dan Teater Amatirujan asal Jakarta Utara. Kelompok Teater Petra, Unlogic Teater, dan Teater Indonesia dari Jakarta Pusat.
Penonton bawaan
Dari festival ini pada tahun-tahun sebelumnya, Komite Teater DKJ menangkap fenomena penonton ”bawaan”, yakni penonton yang hadir merupakan penonton ”yang dibawa” dari wilayah masing-masing.
Ini tak ubahnya menjadi penonton ”suporter” karena FTJ berbasis lomba. Pegiat teater Gandung Bondowoso, yang kebetulan dilibatkan sebagai anggota Dewan Juri FTJ 2019, mengatakan, fenomena penonton ”bawaan” itu wujud rupa kegagalan seni pertunjukan teater ini.
”Sejauh ini, drama penonton untuk teater modern masih sebatas ide atau teori,” ujar Gandung.
Ia mencontohkan lenong atau ludruk sebagai teater tradisional yang terbukti mampu mewujudkan drama penonton. Drama penonton teater modern pernah dipicu dengan konsep Danarto tentang ”teater tanpa penonton”.
Itu sebuah konsep permainan teater yang melibatkan penonton. Penonton pun ikut bermain.
Konseptualisasi ”teater tanpa penonton” itu memicu gagasan kuratorial FTJ 2019 ini. Sebab lain, menurut Gandung, karena pementasan teater yang dikemas setiap tahun di dalam FTJ ini termasuk krisis penonton.
Afrizal Malna menyinggung peristiwa ekstrem yang pernah ditempuh Danarto. Suatu kali, Danarto di atas pentas mengajak penonton makan sate bersama. Ini cara tak lazim, tetapi sebagai upaya menarik penonton.
Ia menyebut, pementasan lain oleh Ibu Dewi Topeng Losari. Tokoh yang satu ini di saat menjelang pentasnya benar-benar menggoreng makanan dan mengajak penonton makan bersama terlebih dahulu.
”Poinnya bukan pada persoalan mengajak makan di saat atau sebelum pentas. Poinnya adalah bagaimana sebuah pentas teater benar-benar bisa menyentuh penonton,” ujar Afrizal.
Membunuh kreativitas
Terkait penyelenggaraan FTJ 2019, ada kutipan menarik seperti disampaikan Alberto Ali, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Ia menyebutkan, FTJ sebagian besar difasilitasi pemerintah. ”Zona nyaman ini bisa menjadi jebakan yang melumpuhkan kreativitas,” ujar Alberto.
Hal ini dibenarkan oleh seorang periset manajemen seni pertunjukan dari Universitas Bina Nusantara, Sri Bramantoro Abdinagoro. Di FTJ 2019 ini Bramantoro juga dilibatkan sebagai anggota dewan juri.
”Orientasi produk lebih ditekankan daripada orientasi pasar atau konsumennya. Kadangkala alasan dipentaskannya sebuah lakon itu karena sudah berlatih enam bulan atau lebih, bukan pada alasan kebutuhan konsumennya,” kata Bramantoro.
Secara sederhana, seni pertunjukan dibutuhkan konsumen untuk mendapatkan hiburan. Kejelian menangkap tema yang sesuai menjadi sangat dibutuhkan.
Afrizal menyebut contoh dari suatu pentas teater yang mencoba menyesuaikan era digital. Di situ dipilih tema cinta seorang perempuan tidak lagi pada lawan jenis atau sesama jenis, tetapi kebutuhan cinta yang dapat dipenuhi lewat software atau peranti lunak komputer.
Bramantoro membeberkan hasil risetnya. Di antaranya, jumlah dari penonton teater yang berbayar itu merupakan anggota masyarakat yang memiliki penghasilan cukup tinggi.
Datanya menyebutkan, sebanyak 45,4 persen penonton teater berbayar itu memiliki penghasilan di atas Rp 5 juta. Kemudian rentang usia penonton berkisar 71,9 persen berusia 25 tahun sampai 44 tahun. Ini tergolong muda.
Sumber informasi seni pertunjukan teater bagi sebagian besar penonton diperoleh dari internet atau media sosial. Perangkatnya terutama Facebook, Whatsapp, dan Instagram.
Alberto Ali menyebutkan, teater merupakan tempat bertemunya berbagai disiplin ilmu. Teater menjadi laboratorium peradaban kota.
”Dalam industri budaya, inovasi merupakan salah satu indeks untuk mengukur perkembangan kota. Kreativitas merupakan modal utamanya,” kata Alberto.
Seniman teater di Jakarta, khususnya, saat ini ditantang untuk menjawab kebutuhan inovasi untuk industri budaya ini.
Menyentuh penonton bukan lagi harus dimaknai sebagai peleburan situasi dan tempat pentas tak berjarak. Inovasi teater seperti pada peralihan tema cukup terbentang luas. Seperti pada tema peperangan fisik telah disodorkan tema inovatif ”perang status” di media sosial atau medsos.