DKI Jakarta didorong untuk menjadi kota percontohan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya.
Oleh
STEFANUS ATO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DKI Jakarta didorong untuk menjadi kota percontohan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya. Energi terbarukan yang bersumber dari matahari itu dinilai potensial dan cocok untuk dikembangkan di daerah perkotaan yang minim ruang terbuka.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Satrio Swandiko Prillianto, mengatakan, sekitar 60 persen penggunaan energi di Indonesia masih memanfaatkan batubara sebagai bahan baku energi. Padahal, energi fosil itu dikenal sebagai salah satu penyumbang kerusakan lingkungan.
”Kami mendorong Pemerintah DKI Jakarta untuk komitmen memperhatikan pemanfaatan energi terbarukan. Tenaga surya paling praktis dikembangkan di Jakarta yang minim ruang terbuka,” kata Satrio saat diskusi ”Energi Surya untuk Sekolah Menuju Jakarta Solar City”, di Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Pemerintah DKI, dari sisi kebijakan, dinilai sudah mengarah pada tujuan perbaikan kualitas lingkungan. Komitmen itu muncul sejak isu pencemaran udara di Jakarta mengemuka dan jadi sorotan publik.
Kebijakan itu berupa Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 mengenai pengendalian kualitas udara di Jakarta. Dalam instruksi tersebut, ada pengaturan tentang rencana pemasangan fasilitas surya atap (panel surya) di sekolah-sekolah negeri, fasilitas olahraga dan kesehatan, serta gedung-gedung pemerintah.
Berdasarkan data Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), pada tahun 2019, ada 80 panel surya yang dipasang di sekolah negeri, sejumlah gedung pemerintahan, dan fasilitas kesehatan. Sementara itu, pada tahun 2020 ditargetkan ada penambahan pemasangan panel surya di 234 gedung sekolah.
Sekretaris Jenderal AESI Arya Rezavidi menambahkan, secara keseluruhan, DKI menargetkan pemasangan panel surya pada 44 gedung gelanggang olahraga remaja (GOR), 32 gedung rumah sakit, 2.072 gedung sekolah, dan 87 gedung pemerintahan.
Jika semua gedung itu terpasang panel surya, potensi daya yang dihasilkan diperkirakan mencapai 4,47 megawatt-peak (MWp) untuk panel surya berkapasitas 2 kilowatt-peak (kWp).
”Potensi ini akan membantu pemerintah mengurangi pengeluaran kelistrikan. Apalagi di sekolah itu lebih banyak penggunaan listrik di siang hari sehingga bisa digunakan langsung,” kata Arya.
Daerah perkotaan
Arya berharap, pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya terus dikampanyekan agar bisa lebih familiar dan dilirik masyarakat. Selama ini, penggunaan panel surya di Indonesia lebih banyak menyasar daerah-daerah pinggiran yang belum tersambung listrik dari PT PLN.
”Pemasangan panel surya di gedung pemerintahan jadi program percontohan. Harapannya, nanti akan diikuti kota-kota lain di Indonesia,” ujar Arya.
Pembangkit listrik tenaga surya dinilai cocok dikembangkan di kawasan padat penduduk, terutama daerah perkotaan. Sebab, panel surya tak membutuhkan ruang luas karena akan dipasang di atap perumahan.
Penggunaan pembangkit listrik tenaga surya juga dinilai menghemat penggunaan energi listrik dari PT PLN. Satu panel surya setiap hari rata-rata menyerap radiasi matahari selama 3 jam.
Asumsinya, energi listrik yang dihasilkan panel surya berkapasitas 2 kWp dikalikan 3 jam, maka energi listrik yang dihasilkan sebesar 2.214 kilowatt-jam (kWh) per hari.
Jika ditotal selama satu bulan, biaya yang dihemat dari pemakaian listrik sekitar Rp 3,2 juta per bulan. Asumsinya, listrik yang dihasilkan dari panel surya per hari sebesar 2.214 kWh dikalikan dengan tarif dasar listrik sebesar Rp 1.467,28 (batas daya 1.300 volt ampere) hasilnya sebesar Rp 3,2 juta.