Widie Nurmahmudy, Mantan Kuli Pengangkat Martabat Anak Hutan
›
Widie Nurmahmudy, Mantan Kuli ...
Iklan
Widie Nurmahmudy, Mantan Kuli Pengangkat Martabat Anak Hutan
Mantan kuli panggul, Widie Nurmahmudy, prihatin banyak anak petani di kampungnya yang tidak sekolah. Rasa prihatinnya mendorong dia membangun Rumah Batara, sekolah untuk anak petani.
Oleh
Angger Putranto
·5 menit baca
Widie Nurmahmudy (40) prihatin seorang anak di tepi hutan tak mampu menyebut jenis-jenis pohon. Tak lama sesudahnya, ia terkejut menemukan kenyataan banyak anak di kampungnya putus sekolah. Tahun 2013, ia bertemu Rudianto (8), di sebuah gudang Bulog di Banyuwangi saat menjadi buruh angkut. Rudianto yang seharusnya duduk di kelas 2 SD, putus sekolah dan bekerja sebagai buruh bangunan.
Setahun berlalu, belum hilang rasa pahit perjumpaan dengan Rudianto, ia kembali bertemu dengan seorang anak kecil yang tinggal tak jauh dari tempat tinggalnya. Anak yang semula bermain di halaman rumah Widie itu, lantas ia ajak berkeliling ke kebun di sekitar kampung Papring.
Saya kaget setengah mati, ada anak kampung tidak tahu nama-nama pohon. Kampung kami ini sudah mepet hutan
“Saya kaget setengah mati, ada anak kampung tidak tahu nama-nama pohon. Kampung kami ini sudah mepet hutan,” keluhnya, awal pekan lalu.
Lingkungan Papring terletak cuma 15 km dari pusat kota Banyuwangi, Jawa Timur. Namun, tidak mudah menuju ke lokasi tersebut. Jalan setapak yang menanjak dengan lebar tak lebih dari tiga meter membuat kampung ini seperti tersuruk di tengah hutan.
Fakta lain yang ditemukan Widie, selain banyak anak putus sekolah, sebagian besar anak perempuan berhenti sekolah karena dinikahkan orangtuanya. Dalam kurun waktu 2012 hingga 2015, Widie mencatat ada 10 anak perempuan di bawah umur yang dinikahkan.
Seingat Widie, hanya ada satu orang warga asli Papring yang bergelar sarjana. Kondisi ekonomi yang morat-marit, katanya, membuat banyak warga enggan menyekolahkan anaknya tingi-tinggi. "Kebanyakan warga di lingkungan ini perajin bambu, peternak, buruh tani, petani ladang dan penyadap pinus,” tutur Widie.
Jauhnya fasilitas pendidikan juga membuat banyak warga enggan menyekolahkan anaknya. Jarak SD terdekat dari Papring sejauh 1 km, sedangkan SMP terdekat berjarak 10 km dan SMK terdekat berjarak 8 km.
Rentetan peristiwa dan kondisi memperihatinkan inilah yang mendorong Widie mendirikan kelompok belajar atau sekolah non formal. Tahun 2015, ia mendirikan Kampung Batara, akronim dari Kampung Baca Taman Rimba. Pada tahun pertama, Kampung Batara berkegiatan setiap Jumat sore dan Minggu pagi. Setiap kegiatan digelar 2 jam. Di Kampung Batara, anak-anak antara lain diajari membaca. Widie yakin, anak kecil yang tidak mengerti nama pohon tersebut, tidak tahu karena kurang membaca.
Pada awalnya, Widie hanya mendampingi empat anak yang terdiri dari seorang ponakannya dan tiga orang tetangganya. Saat itu, ia mendampingi mereka dengan bekal 30 judul buku novel dan komik. Tahun 2016, jumlah pesertanya meningkat.
“Di tahun kedua hingga saat ini, kegiatan difokuskan hari Minggu. Waktu pertemuan bisa lebih panjang hingga 3 jam. Saat ini ada 40 anak yang aktif belajar di Kampung Batara, koleksi buku kami juga sudah bertambah jadi 250 buku,” tutur pria kelahiran 1979 itu.
Kampung Batara
Anak-anak biasa beraktivitas di sebuah pondokan persegi enam berukuran 1 meter pada tiap sisinya. Pondokan yang dibangun Widie di pekarangan rumahnya itu bukan kelas, tetapi ruang berkumpul.
Saat berkegiatan di Kampung Batara, anak-anak tidak dikelompokkan berdasarkan umur, melainkan dibiarkan membaur. Hal itu dilakukan agar anak-anak yang umurnya lebih tua mendampingi yang lebih muda.
“Mereka yang besar (umur lebih tua) mendampingi bukan mengajari. Karena kadang yang lebih kecil lebih lancar membaca. Cara belajar ini ingin mengajak mereka untuk sadar bahwa yang kecil atau minoritas belum tentu kalah dengan yang besar atau mayoritas,” tutur ayah dari dua orang anak tersebut.
Saat berkumpul anak-anak ditawari mau beraktivitas apa hari itu. Mereka dibebaskan ingin bermain, membaca, bercerita, menggambar, atau menjelajah. Setelah berkegiatan, setiap anak diminta untuk menceritakan pengalamannya. Setelah itu teman-temannya menanggapi dengan mencari nilai-nilai yang bisa dipelajari dari anak yang bercerita.
Anak-anak akan ditanya, baik atau tidak melakukan perundungan. Saya sebagai pendamping hanya memberi penekanan agar akhirnya mereka sadar bahwa perundungan itu tidak baik
“Misalnya ada yang mengisahkan saling ejek. Anak-anak akan ditanya, baik atau tidak melakukan perundungan. Saya sebagai pendamping hanya memberi penekanan agar akhirnya mereka sadar bahwa perundungan itu tidak baik,” kata pria yang juga berprofesi sebagai wartawan itu.
Sejak awal Widie ingin mewujudkan pendidikan demokrasi. Anak-anak bebas berkegiatan, bebas mengambil nilai-nilai namun tetap terbimbing. Kampung Batara diharapkan menjadi ruang untuk menyampaikan beragam aspirasi, berani bermimpi dan saling menghargai apa pun yang disampaikan anak-anak.
Widie memang tidak menentukan materi kegiatan anak di Kampung Batara, karena selama satu minggu anak-anak sudah mengikuti apa yang ditentukan guru di sekolah formal.
Dengan memberi kesempatan menceritakan pengalamannya, anak-anak Lingkungan Papring kini lebih percaya diri. Mereka dulu malu menceritakan asal daerahnya yang dianggap pelosok. Namun kini justru bangga berasal dari salah satu desa penghasil bambu.
Kampung Batara juga berhasil menumbuhkan minat belajar dan sekolah anak-anak di Papring. Terbukti sudah tidak ada anak usia SD yang menikah. Anak-anak yang lulus SD pada tahun 2017, kini sudah melanjutkan pendidikan di jenjang SMP.
Semua dilakukan Widie tanpa memungut uang sepeser pun dari anak-anak. Ia justru kerap memberi hadiah berupa jajanan bila anak-anak berprestasi dan aktif dalam berkegiatan.
Widie mengakui keberlangsungan Kampung Batara bukan hanya karena jerih payahnya. Ada banyak donatur dan relawan yang membantu usahanya mewujudkan pendidikan informal bagi anak-anak di Papring.
Selama hampir lima tahun Widie mengasuh Kampung Batara, ia tak pernah menerima bantuan dalam bentuk uang. Hal itu ia lakukan agar tidak menjadi beban bagi dirinya sendiri.
“Saya lebih senang kalau ada yang membantu memberi buku, alat tulis, atau alat peraga. Kami menolak uang karena pendidikan bukan lahan untuk mencari atau mengumpulkan uang. Biarkan ini menjadi bagian dari ruang pengabdian kami,” tutur pria yang aktif di Forum Banyuwangi Sehat tersebut.
Widie Nurmahmudy
Lahir: Banyuwangi, 30 Juni 1979
Istri: Novita
Anak: Syamsul Arifin dan Nata Pradipa Aksa Ravindra