Mantan Kakanwil BPN Diduga Terima Gratifikasi Rp 22 Miliar
›
Mantan Kakanwil BPN Diduga...
Iklan
Mantan Kakanwil BPN Diduga Terima Gratifikasi Rp 22 Miliar
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kalimantan Barat 2012-2016 Gusmin Tuarita ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait dugaan menerima gratifikasi atas penerbitan hak guna usaha sejumlah perkebunan.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kalimantan Barat 2012-2016 Gusmin Tuarita ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan menerima gratifikasi atas penerbitan hak guna usaha untuk sejumlah perkebunan sawit di Kalimantan Barat. Gusmin diduga menerima uang tunai sejumlah Rp 22,23 miliar untuk menguntungkan diri sendiri.
Selain Gusmin, Kepala Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Wilayah Kalimantan Barat Siswidodo juga ditetapkan sebagai tersangka. Siswidodo diduga menerima sejumlah uang dari pihak pemohon hak atas tanah yang dikumpulkan ke bawahannya untuk uang operasional tidak resmi.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyampaikan, praktik penerimaan gratifikasi ini sangat memprihatinkan karena semestinya para pejabat negara di BPN melayani masyarakat, baik perorangan maupun perusahaan terkait pertanahan. Namun, dalam kasus ini, para pejabat tersebut diduga menguntungkan diri sendiri dan menyalahgunakan kewenangannya.
”Hal ini tentu dapat saja mendorong praktik ekonomi biaya tinggi dan juga tidak tertutup kemungkinan menjadi faktor penghambat investasi. Terutama bagi pelaku usaha yang ingin mendirikan usaha perkebunan atau pertanian dan sejenisnya, harus mengeluarkan biaya ilegal dan prosesnya dipersulit,” ujar Syarif, di Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Sebagai Kakanwil BPN, Gusmin memiliki kewenangan dalam pemberian hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah.
Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan tersebut, Gusmin dibantu oleh Siswidodo selaku Kepala Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Wilayah BPN Provinsi Kalimantan Barat dan pada 2016 selaku Kepala Bidang Hubungan Hukum Pertanahan.
Pada 2013-2018, Gusmin diduga menerima sejumlah uang dari para pemohon hak atas tanah, termasuk pemohon HGU baik secara langsung dari pemohon hak atas tanah maupun melalui Siswidodo. Dalam proses tersebut, Siswidodo kemudian diduga memberikan uang secara tunai kepada Gusmin di kantor ataupun di rumah dinas.
Uang tersebut disetorkan ke beberapa rekening miliknya pribadi, rekening milik istrinya, dan rekening milik anak-anaknya.
”Atas penerimaan uang tersebut, tersangka GTU (Gusmin) telah menyetorkan sendiri ataupun melalui orang lain sejumlah uang tunai total Rp 22,23 miliar. Uang tersebut disetorkan ke beberapa rekening miliknya pribadi, rekening milik istrinya, dan rekening milik anak-anaknya,” kata Syarif.
Selain itu, uang tunai yang diterima oleh tersangka Siswidodo dari pihak pemohon hak atas tanah, sebagian digunakan untuk membayar honor tanpa kuitansi, seremoni kegiatan kantor, serta rekreasi pegawai ke sejumlah tempat di Nusa Tenggara Barat, Malang, dan Surabaya.
Siswidodo juga memiliki rekening yang menampung uang dari pemohon hak atas tanah tersebut dan digunakan untuk keperluan pribadi.
”Tersangka GTU dan SWD (Siswidodo) tidak pernah melaporkan penerimaan uang-uang tersebut kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal uang-uang tersebut diterima,” tutur Syarif.
Dalam proses penyidikan, kata Syarif, KPK sudah mengagendakan pemeriksaan terhadap 25 saksi yang terdiri dari unsur swasta dan pegawai negeri. Para saksi di antaranya pegawai negeri sipil di BPN Kantor Wilayah Kalimantan Barat dan Kantor Pertanahan Pontianak, Kepala Kantor Pertanahan di daerah lain di Kalimantan Barat, serta sejumlah direksi, kepala divisi keuangan, dan pegawai perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit di Kalimantan Barat.
”KPK juga telah melakukan pemeriksaan terhadap tersangka SWD pada Kamis, 28 November 2019. Sementara tersangka GTU dijadwalkan pada 25 November 2019, tetapi keduanya tidak datang. Para tersangka akan kami panggil kembali sesuai kebutuhan penyidikan. Jika tidak datang, KPK dapat menjemput paksa,” kata Syarif.
Atas dugaan tersebut, dua tersangka disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Syarif menyampaikan, untuk mengembalikan Rp 22,23 miliar tersebut, KPK masih akan terus melakukan penyelidikan. Tidak menutup kemungkinan juga para tersangka akan dikenakan pasal tindak pidana pencucian uang jika ditemukan bukti lain.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oce Madril menyampaikan, langkah KPK dalam menyertakan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang harus terus dilakukan. Agar tidak hanya penjara badan, tetapi pengembalian hasil korupsi menjadi maksimal.
”Para koruptor ini, kan, memang seolah menjadikan pencucian uang ini sebagai hal yang ’lumrah’ yang kemudian menjadikan hasil-hasil korupsi ini ’legal’. Cara-cara menyamarkan ini memang yang harusnya dikenakan pasal-pasal TPPU untuk mengembalikan uang atau asset recovery,” ujar Oce.