Pelukis Jeihan Sukmantoro (81) kembali ke asal mula. Ia mengembuskan napas terakhir di Studio Jeihan, kawasan Padasuka, Bandung.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·4 menit baca
Pelukis Jeihan Sukmantoro (81) kembali ke asal mula. Ia mengembuskan napas terakhir di Studio Jeihan, kawasan Padasuka, Bandung, setelah beberapa kali dirawat di rumah sakit sejak Juli 2019 lalu. Tiga hari lalu, dalam keadaan tidak sadarkan diri, Jeihan dibawa ke studio oleh pihak keluarga. Pada Jumat (29/11/2019) pukul 18.15 pelukis perempuan bermata hitam itu, meninggal di hadapan putrinya Arifi Arum.
Menurut putra sulung Jeihan, Atasi Amin, jenazah ayahnya akan dimakamkan hari ini, Sabtu (29/11/2019) pukul 12.00 di pendopo di belakang Studio Jeihan. Pendopo yang berdekatan dengan masjid ini telah dibangun pelukis kelahiran Solo, 26 September 1938 ini, beberapa tahun lalu. Besok pagi, putra ketiga Jeihan, Aragani Akbari, diharapkan telah tiba dari Singapura menuju Bandung.
Studio Jeihan terlihat dipenuhi para pelayat dari berbagai kalangan, salah satunya penulis Jakob Sumarjo (80). Menurut Jakob, Jeihan termasuk seniman yang sangat istimewa. Ia setidaknya telah menghasilkan 3.000 lukisan. Ciri khas lukisannya, selalu bermata hitam. “Mayoritas lukisannya gambar manusia. Namun karyanya tidak pernah membosankan,” tutur Jakob.
Pada Sabtu (16/11/2019) ketika Kompas menjenguknya di studionya, Jeihan menunjukkan kegairahan bercerita yang meledak-ledak. Meski suaranya timbul tenggelam dan terkadang menyerupai teriakan-teriakan parau, ia tak mau menyerah. Berkali-kali setelah bercerita panjang lebar, ia bertanya kepada anak sulungnya Atasi Amin,”Ini siapa?” Atasi lalu meneriakkan sebuah nama di telinga ayahnya keras-keras. Padahal ceritanya sudah berlangsung berlama-lama. Dari atas pembaringannya ia berkata,”Hidup itu akhirnya menuju kosong, ya kan?” Kalimat itu tidak sejelas sebagaimana kemudian dituliskan, tetapi Jeihan meneriakkannya berulang kali.
Dalam satu wawancara dengan Kompas, sembilan tahun lalu, Jeihan mengatakan ia sudah tiba pada puncak pencariannya. Puncak dari seni dalah puisi, puncak puisi adalah filsafat, dan puncak dari filsafat adalah sufi. Jeihan merasa ia sudah sampai pada tingkatan sufi. Salah satu puisi yang ia tuliskan dalam lukisan berjudul “Aku” berbunyi://dariMu/hamba datang/kepadaMu/hamba pulang//. Puisi dan lukisan ini dibuat Jeihan tahun 1999, ketika usianya mencapai 61 tahun. Pada usia 71 tahun Jeihan menjalani operasi cangkok ginjal di Singapura. Ia memperoleh donor ginjal dari seorang lelaki berusia 35 tahun. Ketika setahun berjalan Jeihan mengatakan,”Rambut saya yang putih jadi hitam, saya hidup seperti berumur 35 tahun,” katanya.
Dua pekan lalu, ketika diberi kertas dan pulpen, Jeihan secara spontan menulis,”Hari terang/hati tenang” dengan huruf-huruf yang nyaris sudah tidak terkontrol. Keesokan harinya, Atasi Amin memberi kabar bahwa ayahnya dilarikan kembali ke rumah sakit karena tak sadarkan diri. “Tetapi tiga hari lalu minta pulang lagi dan ke studio,” katanya. Sebenarnya pada bulan Maret 2019 Jeihan merasa operasi kanker getah beningnya di Malaysia berjalan baik. “Saya tidak menyangka, padahal ini sudah stadium lanjut. Dokter di Singapura menyerah, eh di Malaysia berhasil,” kata Jeihan sambil menunjukkan bekas luka bedah di bagian leher kirinya.
Menurut Atasi Amin, ayahnya dirawat sejak Juli 2019 karena penyakit kanker getah bening merembet ke bagian tubuh yang lain. Selain itu, ginjal hasil cangkokan sekitar 12 tahun lalu, kini bermasalah pula. “Jadi bapak dirawat karena dua penyakit kronis kanker dan gagal ginjal,” katanya. Beberapa kali pula Jeihan bercerita dengan sangat menggebu-gebu, bahwa ia sudah siap untuk pulang, jika Tuhan memanggilnya.
“Anda harus lihat ini,” katanya suatu hari. Ia kemudian mengajak berjalan menuju sebuah pendopo di dekat sebuah masdjid. Di pendopo terdapat sebuah kijing dengan nisan bertuliskan nama Jeihan Sukmantoro. “Jadi saya tidak mau apa-apa lagi, semuanya sudah tercapai,” katanya. Ia menambahkan, telah menyiapkan wasiat buat anak-anaknya. Pada hari-hari terakhirnya, kata Atasi, ayahnya selalu bilang sudah siap menghadap Sang Maha Pencipta.
Penari dan koreografer asal Bandung, Lena Guslina mengatakan Jeihan tak pernah kehabisan cerita. Bahkan ketika ia melukis dirinya, cerita Jeihan bisa melantur kemana-mana. “Saat saya jenguk di Studio Jeihan, masih bisa cerita walau suaranya sudah semakin tidak jelas,” kata Lena. Lena termasuk penari yang seringkali diminta menjadi model, jika Jeihan sedang melukis sosok perempuan.
Saya tidak mau apa-apa lagi, semuanya sudah tercapai.
Nama Jeihan melambung dalam dunia seni rupa Tanah Air sejak "berduel" dengan pelukis dan peletak dasar-dasar kritik seni rupa Indonesia S Soedjojono dalam tajuk "Temunya 2 Ekspresionis Besar", 4-11 Agustus 1985 di Hotel Sari Pacific Jakarta. Saat itu lukisan Jeihan terjual dengan harga 50.000 dollar AS (kurs Rp 1.000 per dollar). Sementara lukisan karya maestro seperti Affandi saat itu baru senilai Rp 3 jutaan. Momen itulah yang dianggap mengubah cara pandang orang terhadap dunia seni lukis. Bahkan, kejadian itu pula yang dinilai sebagai tonggak awal bom seni rupa Indonesia. Sejak itu lukisan tidak saja diapresiasi sebagai seni, tetapi diberi nilai investasi sampai kini. (TAM)