Tak Ada yang Baru di Bawah Matahari
Berjudul Majapahit Milenia, pembaca diajak bersiap mengikuti cara menulis Bre Redana yang tak biasa. Orang yang mengenal Bre pasti biasa dengan segala kejahilan dan sikapnya yang suka sembarangan.
Untuk sementara, huru-hara politik reda setelah Kabinet Indonesia Maju diumumkan. Meski kontroversial, susunan kabinet itu menghentikan segala pertikaian yang berlangsung sejak sebelum kampanye.
Apakah pilihan merangkul oposisi itu asli ide Presiden Jokowi? Dalam Ecclesiastes 1:9 ada ungkapan: ”Yang sudah terjadi akan terjadi lagi, yang sudah dilakukan akan dilakukan lagi; tak ada yang baru di bawah Matahari”.
Ungkapan itu mengingatkan pada pelbagai peristiwa yang berulang, sekalipun medium, tempat, dan waktu berubah. Maka, pilihan bekerja sama dengan oposisi juga bukan hal baru.
Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln (1861-1865) mengangkat pembencinya, Edwin McMasters Stanton, menjadi menteri pertahanan. Stanton kemudian membuktikan diri sebagai nasionalis yang setia.
Di dalam negeri, sejarah merangkul ”lawan” juga tak kurang. Tetapi, apakah balasannya dedikasi dan apresiasi, ini yang masih perlu diuji.
Sejarah berulang
Dalam kitab Pararaton ada Ken Arok, penjahat buron dari Kerajaan Kediri. Berkat pendeta bernama Lohgawe, ia menjadi pengawal Tunggul Ametung, akuwu di Tumapel. Akuwu setingkat kecamatan, bagian dari Kediri. Jatuh cinta kepada Ken Dedes, istri Tunggul Ametung, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung. Ken Arok kemudian mengalahkan Kediri dan membangun Kerajaan Singasari.
Dalam buku Majapahit Milenia, kebaikan berbalas kejahatan kembali berulang. Meski fiksi, landasannya pastilah sejarah negeri ini. Pada halaman 55 dikisahkan, Raden Wijaya—menantu Raja Singasari terakhir, Kertanegara—takluk dan mengabdi kepada Jayakatwang. Jayakatwang adalah Raja Kediri yang menyerang Singasari dan menewaskan Kertanegara. ”Sembari mengabdi, pelajari Kediri baik-baik,” begitu nasihat Wiraraja, Bupati Sumenep.
Setelah Raden Wijaya berhasil membangun kekuatan di kawasan Tarik, tanah pemberian Jayakatwang, ia menyerang Kediri dengan membonceng tentara Tartar. Tentara Kubilai Khan sebenarnya hendak balas dendam pada Kertanegara yang memotong telinga utusan sang kaisar, tetapi dibelokkan Raden Wijaya untuk membunuh Jayakatwang.
Menjelang Kerajaan Demak runtuh, Mas Karebre juga diutus Kyai Buyut Banyubiru kembali mengabdi Sultan Demak (hlm 162). Lewat strategi politik berdarah, Karebre—seorang trah Brawijaya—mendapat pengampunan dan diangkat anak oleh Sultan. Ia dihadiahi tanah di Pajang, membangun kekuatan, dan kemudian menggerogoti Demak.
Pada masa itu, sisa-sisa Kerajaan Majapahit mengalami masa sulit. Prabu Girindrawardana, Raja Majapahit terakhir, melarikan diri ke Gunung Lawu. Ia dan pengikutnya tidak hanya dikejar bala tentara Demak, tetapi juga golongan baru yang disebut penghulu bersenjata (hlm 21-22). Mereka memburu orang-orang Majapahit. Sultan Demak, sama-sama keturunan Majapahit, pura-pura tidak tahu.
Cara tak biasa
Berjudul Majapahit Milenia, sebenarnya pembaca diajak bersiap mengikuti cara menulis Bre Redana yang tak biasa. Orang yang mengenal Bre pasti biasa dengan segala kejahilan dan sikapnya yang suka sembarangan, persis gaya di bukunya. Dengan menyebut diri tukang cerita, ia bebas keluar masuk bab, mengomentari banyak hal dengan merdeka.
Dari yang remeh-temeh, seperti bentuk fisik Banca dan Naya—dua roh abdi dalem dari periode akhir Majapahit dan kemudian menitis pada Mas Karebre (hlm 62)—hingga memasukkan suluk sang dalang, ”Bumi gonjang ganjing langit kelap-kelap katon....”
Segala kenakalan Bre muncul dalam perdebatan Banca dan Naya yang jenaka, nama tokoh utama yang dimirip-miripkan, hingga pujian kepada sang istri dalam bentuk preferensi perempuan pilihan Mas Karebre.
Bagi mereka yang biasa dengan alur cerita, di mana pengarang berjarak dari tokohnya, kehadiran Bre sebagai tukang cerita yang iseng memasukkan model rambut Robert Plant dari Led Zeppelin, misalnya, bisa membuat terkaget-kaget.
Dunia sastra mengenal gaya penulisan ”stream of consciousness”. Suatu teknik naratif dalam fiksi untuk mengungkap pelbagai impresi: visual, audio, fisikal, asosiatif, bahkan liminal, untuk membangkitkan kesadaran. Literatur Britanica menyebut psikolog William James sebagai pengguna pertama teknik stream of consciousness dalam The Principle of Technology (1890). Pengarang lain dengan teknik ini adalah Virginia Woolf dalam The Waves (1931).
Bre mungkin terilhami para dalang yang sering keluar dari pakem sehingga model stream of consciousness menjadi ekstrem dengan caranya yang ”mbeling”.
Konteks kesejarahan
Di sisi lain, upaya Bre mendekatkan tulisan pada konteks kesejarahan pantas dipuji. Ia berziarah dari candi ke candi, mencoba menembus lorong waktu, mencari pertanda dari leluhur. Bukankah kematian tidak melenyapkan hidup, hanya mengubah dimensinya? Dalam budaya Jawa lelaku adalah salah satu cara berkomunikasi dengan leluhur ataupun Penguasa Semesta.
Dalam peziarahannya, Bre tidak hanya menemukan sosok gemuk dan kurus dalam pelbagai relief—yang ia hidupkan menjadi Banca dan Naya—tetapi juga banjir bisikan langit. Seketika, ia melihat masa lalu dengan benderang (hlm 20).
Majapahit Milenia juga memunculkan candi-candi peninggalan Hindu yang sarat makna dari posisi, bentuk, hingga reliefnya. Kita diajak ke candi-candi terpencil, yang runtuh dimakan waktu, yang sebagian terlupakan. Terima kasih kepada Putu Sutawijaya, yang melukis candi-candi dengan artistik. Ada Candi Gunung Gangsir, Candi Bangkal, Candi Ngetos, Candi Jabung, dan Candi Sukuh favorit Bre.
Dalam buku ini juga dijumpai penjelasan sebelas struktur tembang Jawa, yang setiap rangkaian vokal, kata, dan kalimatnya mewujudkan makna dan suasana tertentu. Semoga dalam buku berikutnya, Maskumambang, Asmarandhana, Dhandhanggula, dan delapan lainnya, bukan sekadar pengantar bab, tetapi menyatu dalam cerita.
Majapahit Milenia tidak hanya mengajak pembaca menjelajahi kawasan di lereng-lereng gunung di Jawa Tengah, tetapi juga belajar memahami kehidupan. ”Jangan teperdaya pada yang kamu anggap nyata” (hlm 98), ”Yang mencari tidak mendapatkan, yang tidak mencari menemukan” (hlm 101), atau tentang makna kewajaran: untuk tidak melupakan tugas dan kewajiban sebagai anggota masyarakat, untuk menjaga jarak dengan penguasa dan tidak takut berpendapat (hlm 143).
Semua itu saling menjalin menjadi cerita tentang runtuhnya Majapahit, tentang masuknya Islam di Pulau Jawa, dan terutama tentang perlawanan mereka yang terpinggirkan di tengah arus baru yang menggulung. Sesuatu yang rasanya kita hadapi hari-hari ini. Sungguh, tak ada yang baru di bawah Matahari.
Penulis: Bre Redana
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Cetakan: Pertama, Juli 2019
Tebal Buku: 208 halaman
ISBN: 978-602-481-176-1