Jujur, relijius, berpikiran terbuka dan kerja keras. Nilai-nilai kehidupan ini yang ditanamkan pelukis Jeihan Sukmantoro kepada lingkungannya. Dia jadi guru seni dan spiritual bagi semua murid, kerabat, dan sahabatnya.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
Jujur, relijius, berpikiran terbuka dan kerja keras. Nilai-nilai kehidupan ini yang ditanamkan pelukis Jeihan Sukmantoro kepada lingkungannya. Dia menjadi guru seni dan spiritual bagi semua murid, kerabat, dan sahabatnya. Meski telah tiada, nilai-nilai ini yang membuat sang maestro tetap hidup di hati mereka.
Tiga pria paruh baya jongkok tidak jauh dari pusara Jeihan Sukmantoro, Sabtu (30/11/2019). Mereka memerhatikan rombongan demi rombongan yang mengunjungi nisan dengan tulisan yang masih segar. Sesekali tiga murid Jeihan mereka menekur diam dalam duka. Meski posisi duduk berdekatan, mereka tidak banyak berbicara . Hanya menatap pusara guru mereka sambil melihat orang berlalu lalang.
Sang guru baru saja pergi, meninggalkan dunia, pada malam hari sebelumnya. Pagi itu, jenazahnya diantar ke pembaringan terakhir bersama duka semua karib kerabatnya.
Pusaranya terletak di dalam pendopo yang tidak jauh dari Studio Jeihan di Jalan Padasuka Atas, Kecamatan Cimenyan, Bandung, Jawa Barat.Ruangan ini sebelumnya dipergunakan Jeihan untuk mengajar murid-muridnya.
Area tersebut ditanami pepohonan bambu. Tidak jauh dari sana, Masjid Al-Jeihan berdiri kokoh di dekat pendopo ini. Jeihan sudah menyiapkan rumah terakhirnya.
Salah satu pria, Abdurrahman Abro (63), seketika menggeser tempat duduk yang lebih nyaman. Setelah mendapatkan posisi duduk, dia berujar, “Beliau mengajarkan kami berkarya dengan jujur dan bebas, menjadi diri sendiri. Kami tidak diminta ikut pakem beliau. Yang penting, melukis apa yang ada di pikiran, apa yang dirasa.”
Nilai ini dapat dilihat dari aliran lukisan murid-muridnya. Abro menuturkan, tidak ada muridnya yang memiliki gaya melukis yang mirip Jeihan. Bagi Jeihan, tutur Abro, kejujuran ini yang membangun keberagaman gaya lukisan murid-murid Jeihan. Mereka dibebaskan dalam berkarya, namun tetap dalam bimbingan Jeihan.
Bahkan, sebagai seniman lukis, Abro sendiri memilih gaya lukisan berbeda dengan Jeihan. Dia menganut aliran realisme-surealisme, sedangkan Jeihan beraliran ekspresionisme dalam berkarya. Berbeda dengan Abro, karya Jeihan mendobrak batas-batas realitas. Hampir seluruh lukisan rupa wajah karyanya memiliki mata hitam dan terkadang memiliki porsi yang tidak sesuai kenyataan, seperti lengan yang lebih tirus dan panjang.
“Beliau menekankan kepada kami, jujur dalam berkarya adalah bentuk pribadi seniman. Dengan kejujuran itu, kami memiliki identitas sehingga berbeda,” ujarnya.
Beliau menekankan kepada kami, jujur dalam berkarya adalah bentuk pribadi seniman. Dengan kejujuran itu, kami memiliki identitas sehingga berbeda (Abdurrahman Abro)
Abro jelas mengagumi Jeihan. Dia menuturkan, Jeihan tidak tanggung-tanggung dalam berkarya. Sebagai murid periode 1983-1989, dia kerap melihat Jeihan melukis. Selalu berkeringat, fokus, dan terkadang mendesah seperti kepedasan.
“Lukisan beliau seperti mengandung misteri, dalam dalam setiap melukis beliau seakan masuk ke dalamnya. Beliau pernah berkata, melukis itu seperti bersetubuh, mengerahkan seluruh jiwa dan raga dalam cinta. Seni itu adalah harmoni,” tuturnya.
Nilai kejujuran ini juga dibawa muridnya yang lain, Muhammad Firdaus (56). Dosen Desain Komunikasi Visual Universitas Widyatama Bandung ini mengatakan, kejujuran dalam berkarya ini yang selalu ditekankannya kepada para mahasiswa.
Firdaus mengernyitkan kening, mencoba mengingat tahun pasti, sejak kapan mengikuti Jeihan saat ditanya kapan mulai mengikuti Jeihan. “Wah tahunnya saya sudah lupa, yang penting sebelum saya masuk ITB tahun 1983. Saya ini menjadi murid generasi kedua semenjak beliau mulai mengajar di Bandung,” ujarnya.
Guru spiritual
Bagi Firdaus, Jeihan tidak hanya menjadi guru dalam perjalanan seni lukisnya, tetapi juga guru spiritual dalam hidupnya. Jeihan selalu mengajak murid-muridnya berpikir ke masa depan, tidak terkungkung dengan problem yang ada di depan mata.
“Terkadang pemikiran beliau tidak sampai dalam pikiran saya. Bingung,” tuturnya. Namun, bagi Firdaus itu menjadi pembelajaran sehingga dia lebih terbuka. Jeihan kerap berfilsafat dalam melihat permasalahan.
Yeyet Dewi Koryeti (54) adalah murid Jeihan lainnya yang memilih untuk menjadi dosen DKV di Institut Teknologi Nasional. Sama seperti Firdaus, pikiran Yeyet selalu terasah dengan diskusi spiritual dari Jeihan setiap belajar.
Dia berujar, Jeihan selalu mengingatkan mereka untuk menjadi orang yang berguna di masyarakat. “Kami belajar dengan beliau bisa seharian. Kalau sudah membicarakan masalah-masalah spiritual, saya selalu memikirkannya sampai dibawa pulang,” ujarnya tertawa.
Yeyet melanjutkan, nilai kehidupan yang dia tekankan kepada mahasiswanya dari Jeihan adalah berpikiran bebas dalam berpikir tapi tidak mengurangi nilai-nilai dalam masyarakat.”Bagi beliau, seni adalah estetika tanpa harus mengesampingkan etika,” ujarnya.
Nilai spiritual Jeihan terlihat dari karya-karyanya. Tetangga dan kawan karib Jeihan, sekaligus budayawan Jakob Sumardjo menuturkan, sebagai sahabat baik mereka terkadang berdebat tentang nilai-nilai spiritual. Jakob berujar, spiritualitas Jeihan tertuang dalam karya-karya dalam pameran terakhirnya yang bertajuk SUFI/SUWUNG di Bandung pertengahan 2017 lalu.
“Meski kesehatannya menurun, kami tetap berdiskusi. Dia selalu ingat karya-karyanya yang kami perdebatkan. Kepercayaan diri Jeihan luar biasa,” ujarnya tersenyum.
Matahari mulai mencapai titik zenith, azan zuhur berkumandang. Setelah merenung beberapa saat, Jakob meninggalkan pusara bersama beberapa pelayat. Satu persatu karib kerabat, kolega dan murid-murid Jeihan pergi.
Jeihan memang meninggalkan dunia fana. Namun, bagi semua murid, kerabat, dan sahabatnya, Jeihan tetap ada di hati mereka. Kehadiran sang maestro itu berbentuk nilai-nilai seni yang jujur. Bebas, tapi tetap berbalut kesantunan etika.