Pelonggaran GWM yang dilakukan November 2019, berlaku pada Januari 2020, menambah likuiditas sistem perbankan sekitar Rp 26 triliun. Pelonggaran ini menjadi sinyal bahwa BI sedang menempuh kebijakan akomodatif.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan moneter berupa pemangkasan giro wajib minimum bisa memberi dampak positif terhadap laba bersih perbankan pada 2020. Pelonggaran makroprudensial ini disinyalir dapat menopang pertumbuhan ekonomi saat inflasi terjaga stabil rendah.
Dalam keterangan resmi yang diterima Kompas, Minggu (1/12/2019), analis Bahana Sekuritas, Prasetya Christy Gunadi, menyatakan, pelonggaran giro wajib minimum (GWM) dapat membuat likuiditas bank dengan segmentasi pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah menjadi bertambah.
Pelonggaran makroprudensial dapat menopang pertumbuhan laba bersih bank yang fokus menjaga pendapatan bunga bersih atau net interest margin (NIM) dan memperbaiki rasio kredit bermasalah.
”Melalui bauran kebijakan pada semester dua tahun ini akan berdampak positif bagi industri perbankan khususnya untuk menjaga laba bersih tahun depan meski likuiditas di pasar masih cukup ketat,” ujarnya.
Bank Indonesia (BI) telah menempuh pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga acuan secara bertahap sejak Juli dengan total penurunan 100 basis poin menjadi 5 persen untuk menopang pertumbuhan ekonomi saat inflasi terjaga stabil rendah.
Untuk menambah ketersediaan likuiditas di pasar dan mendorong bank menyalurkan kredit, pada Juni dan November lalu, BI menetapkan GWM rupiah secara total turun 100 bps menjadi 5,5 persen untuk bank konvensional dan 4 persen untuk bank syariah.
Prasetya menilai, pelonggaran GWM yang dilakukan November 2019, berlaku pada Januari 2020, menambah likuiditas sistem perbankan sekitar Rp 26 triliun. Meski tidak terlalu besar, pelonggaran ini menjadi sinyal kepada pasar bahwa BI sedang menempuh kebijakan akomodatif.
Penurunan GWM tidak serta-merta mendorong kemampuan bank untuk menyalurkan kredit karena tambahannya bagi pertumbuhan kredit diperkirakan sekitar 0,5 persen sehingga dampaknya bagi penurunan rasio pinjaman dan kredit (LDR) hanya sekitar 40 bps.
”Namun, bagi sebagian bank besar pelonggaran ini akan berdampak positif bagi peningkatan laba bersih yang diperkirakan melebihi 1 persen,’’ kata Prasetya.
Hingga akhir September 2019, kredit perbankan tumbuh 7,89 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Bahana Sekuritas memperkirakan, hingga akhir tahun 2019, kredit bank tumbuh di kisaran 9 persen, kemudian akan tumbuh sekitar 10 persen pada 2020. Pertumbuhan akan ditopang oleh pemotongan suku bunga acuan dan pelonggaran GWM.
”Pemotongan GWM akan memberi ruang lebih besar bagi perbankan untuk membukukan pendapatan dari bunga kredit daripada bunga yang diperoleh dari penempatan dana di BI melalui GWM,” ujar Prasetya.
Tahan konsumsi
Dihubungi secara terpisah, Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean sepakat bahwa penurunan GWM memang membuat likuiditas perbankan bertambah sehingga perbankan bakal membuka peluang peminjaman kredit.
”GWM turun, likuiditas pasti bertambah. Namun, kemudian, apa yang mau dipinjam orang-orang karena mereka sekarang menahan konsumsi,” ujar Adrian.
Perlambatan konsumsi ditengarai karena ada ketidakpastian global meski tahun politik Indonesia sudah berakhir. Ketidakpastian global seperti perang dagang antara AS dan China yang diprediksi akan berlangsung lama atau tidak temporer memengaruhi pola konsumsi masyarakat.
Menurut Adrian, saat ini masyarakat lebih banyak menyimpan uang di deposito untuk berjaga-jaga ketimbang sekadar menabung. Mereka akhirnya menahan konsumsi dengan menghindari kredit konsumsi, kredit properti, ataupun kredit otomotif.