1000 Guru Meretas Stigma Milenial
Benarkah milenial bisa dipukul rata sebagai generasi yang hobinya menghabiskan uang untuk jalan-jalan dan menggantungkan hidup sepenuhnya pada gawai?
Benarkah milenial bisa dipukul rata sebagai generasi yang hobinya menghabiskan uang untuk jalan-jalan dan menggantungkan hidup sepenuhnya pada gawai? Komunitas 1000 Guru di Sulawesi Utara meretas stigma ini.
Sinar mentari, Sabtu (23/11/2019) pagi, menghangatkan lapangan SD Inpres Desa Wongkai, Ratahan Timur, Kabupaten Minahasa Tenggara. Kesegaran udara desa di tenggara Gunung Soputan itu terasa makin ceria ketika satu per satu anak-anak desa berdatangan dan mulai berbaris rapi. Mereka adalah siswa SD Inpres dan SD GMIM Desa Wongkai.
Kendati Sabtu adalah hari libur, semangat 93 siswa dari kedua SD itu terasa dari senyum lugu yang mengembang di wajah mereka. Pagi itu memang berbeda, sebab bukan guru-guru berpakaian formal yang menyambut mereka, melainkan lebih dari 46 pemuda, relawan dari komunitas 1000 Guru Sulut.
Muda-mudi berkaos jingga terang itu tak kalah energik. Rolly Kandolia, ketua komunitas, menarik salah satu siswa kelas 6 ke depan barisan. “Ayo, biar semangat, kita tepuk semangat dulu sama-sama. Tepuk Semangat! Se! Ma! Ngat! Seeeeeeemangaaat!!” serunya diikuti lompatan anak-anak.
Suasana cair berlanjut di kelas. Kursi dan meja didorong ke sudut-sudut ruang kelas, membuka ruang bagi anak-anak untuk duduk melingkar di lantai. Kakak-kakak relawan memulai sesi pelajaran dengan permainan dan nyanyian, suasana jadi riang penuh canda. Bahan ajar bertema “Aku Pahlawan Masa Kini” berikut perlengkapannya telah disiapkan para guru sukarela ini. Kelas 4, misalnya, belajar tentang Pertempuran 10 November di Surabaya.
Di kelas 5 yang mendiskusikan peristiwa Sumpah Pemuda, para guru relawan membagi anak-anak ke dalam beberapa kelompok, kemudian meminta mereka menyusun kata-kata menjadi teks Sumpah Pemuda sebelum membacanya bersama keras-keras. Sementara itu, di kelas 6, para siswa bermain peran (role play) untuk menghayati kepahlawanan di era modern.
“Kelas 1 sampai 3 belajar tentang tokoh-tokoh pahlawan. Kelas 4 sampai 6 lebih banyak belajar tentang peristiwa kepahlawanan, karena cara berpikir mereka sudah lebih berkembang,” tutur Elizabeth Mela, fasilitator kelas 2.
Anak-anak tampak aktif dalam diskusi karena ada insentif berupa coklat dan permen. Mereka berebut mengangkat tangan untuk berpendapat atau merespons pertanyaan meski belum pasti tahu jawaban yang tepat.
Di sesi kedua, para siswa diperkenalkan pada bermacam profesi, termasuk pekerjaan para relawan, mulai dari guru, dokter gigi, hingga penegak hukum lingkungan hidup dan kehutanan. Selain bermain, para relawan 1000 Guru Sulut mengajak anak-anak menempel kertas di pohon impian yang berisi cita-cita mereka saat dewasa kelak.
Tak lupa motivasi diberikan para relawan kepada anak-anak SD di Desa Wongkai agar semangat belajar terus menyala. “Kakak-kakak semua berharap, adik-adik bisa terus belajar, sampai bisa meraih cita-cita yang kalian tempelkan di pohon impian,” ujar fasilitator kelas 6, Eunike Wahongan, di pengujung aktivitas kelas.
Jalan-jalan
Desa Wongkai yang terletak di tengah hutan dan perkebunan, sekira 63 kilometer dari Manado, adalah desa ke-22 yang dikunjungi 1000 Guru Sulut dalam program Travelling and Teaching (TnT). Sesuai nama program, para relawan tidak hanya mengajar dan berderma di desa yang sulit dijangkau, tetapi juga berwisata.
Minggu (24/11), para relawan berganti status jadi wisatawan. Di Pulau Ponteng dan Pulau Baling-baling, Desa Tumbak, Kecamatan Pusomaen, Minahasa Tenggara, mereka berenang, snorkeling, serta berswafoto di dua pulau tak berpenghuni itu. Sebagian dari uang pendaftaran Rp 525.000 untuk menjadi relawan dialokasikan untuk biaya wisata.
Para relawan, seperti Ardian Yudha (26), memaknai keterlibatannya di TnT lebih dari sekadar jalan-jalan. Sebagai seorang karyawan swasta di perantauan, terlibat dalam TnT bersama 1000 Guru Sulut adalah sebuah cara Yudha berbagi di tengah kesibukan dan penatnya pekerjaan. “Kadang orang yang sudah bekerja enggak punya banyak waktu untuk kegiatan sosial. TnT yang diadakan sekali dalam beberapa bulan bikin aku bisa menyempatkan volunteering. Ini sama dengan berbagi dan bersyukur,” katanya.
Lebih dari sekadar jalan-jalan, TnT memungkinkan Yudha bisa membangun relasi dengan orang dari berbagai latar belakang. Tak heran kalau tiga kali TnT dia ikuti selama sembilan bulan di Manado. “Aktivitas sosial jadi yang utama buat aku,” katanya.
Bagi Bahar Sudrajat (28), TnT adalah oase di tengah kejenuhan mengurus mesin pembangkit listrik di kantor. Sekalipun hadir untuk negeri dan masyarakat lewat BUMN, batinnya terasa kering karena tak pernah merasa berinteraksi langsung dengan masyarakat, apalagi berkontribusi.
“Dari mengajar dan berbagi dengan anak-anak, aku merasa bisa memberikan manfaat langsung, apalagi di desa yang sulit terjangkau,” ucapnya. Dari empat kali TnT, ia bisa melihat langsung realitas pendidikan di masyarakat. Di Desa Ayong, Kabupaten Bolaang Mongondow, misalnya, masih ada anak kelas 4 dan 5 yang belum bisa menulis. Ia sadar, 1000 Guru Sulut tak akan bisa mengubah itu dalam sekejap.
“Memang, dampak volunteering terbatas karena kegiatan cuma sehari. Tapi apa yang kita lakukan bersama 1000 Guru lebih baik daripada tidak sama sekali. Setidaknya bisa memotivasi anak-anak untuk terus bermimpi,” katanya.
Sementara itu, TnT menjadi pengalaman baru bagi Elsar Agung Triansa, guru SMA. Mengajar siswa SD berarti keluar dari zona nyaman. Di samping itu, ia terkesan pada antusiasme para pemuda yang mau membayar agar bisa menjadi relawan. “Artinya ada keinginan dan kerinduan untuk bisa membuat dampak, terutama dari teman-teman yang bukan guru. Di tengah kepadatan kerja, masih ada keinginan untuk menjadi contoh bagi adik-adik di sekitar kita,” ujarnya.
Kendati begitu, latar belakang Elsar sebagai guru membuat dia tak memungkiri ada kekurangan dari TnT. Pendidikan hanya bisa berdampak jika dilakukan secara berkelanjutan dalam jangka panjang, dan itu belum diakomodasi oleh TnT. Selain itu, metode memberi insentif berupa hadiah tak selamanya baik.
“Dalam proses, anak-anak yang dibimbing hanya antusias untuk mendapatkan hadiah, bukan mengembangkan cara berpikir. Tapi tentu saja ini bukan porsi 1000 Guru, karena tidak semua relawan adalah guru. Pendidikan formal tetap yang utama,” kata Elsar.
Menurut Rolly, Ketua 1000 Guru Sulut, pihaknya memang lebih banyak membuat program yang sifatnya sesekali. Ia juga mengakui dampaknya tidak akan signifikan. “Akhirnya, kami menarget pendidikan karakter. Jadi, seperti para orangtua bagi anaknya, kita semua juga bisa menjadi guru dengan berbagi dan menginspirasi,” paparnya.
Bagi kepala sekolah SD Inpres Wongkai, Altien Tanauma, kehadiran para relawan meringankan guru-guru. Mengajar memang sudah pekerjaan mereka. Namun, membangun mental siswa yang kuat adalah pekerjaan yang lebih berat.
“Kegiatan belajar yang kreatif, saya yakin, bisa membantu para siswa,” katanya.
Narasi berbeda
Kendati esensial dalam TnT 1000 Guru, pemaknaan para relawan tidak hanya terfokus pada mencari wadah keseruan dan berwisata. Para pemuda milenial dengan rentang usia 19-35 tahun itu rindu untuk memberi dampak langsung bagi masyarakat lewat kegiatan sosial.
Sayangnya, narasi yang berkembang tentang milenial mereduksi satu generasi hanya menjadi data-data akun media sosial, sebagaimana dikatakan Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada Derajad Widhyarto. Data ini akhirnya dieksploitasi demi kepentingan pasar. Tak heran jika berbagai perusahaan mengemas produknya dengan kata milenial, mulai dari wisata hingga kredit pemilikan rumah.
“Selama ini, milenial hanya dilihat dari dimensi online. Padahal, mereka juga terjun langsung ke masyarakat untuk mengatasi masalah di sekitar melalui kegiatan sosial seperti volunteering,” kata Derajad. Di saat yang sama, pemerintah banyak mengidentikkan milenial dengan usaha rintisan (start up). Padahal, generasi muda yang fasih bergawai bisa menentukan sendiri cara mereka memberi dampak langsung bagi masyarakat.
“Menjadi volunteer itu bisa jadi gaya hidup bagi milenial. Di tengah perkembangan narasi tentang milenial yang berpihak pada pasar, generasi muda jangan kehilangan idealisme. Tetap harus jadi penyelesai masalah, bukan sekadar jadi followers,” katanya.