Pergerakan tanah mulai mengancam Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, seiring musim hujan di wilayah ini. Semua perangkat desa diminta waspada dan aktif melaporkan tanda-tanda bencana untuk meminimalkan dampak.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
BANJARNEGARA, KOMPAS — Pergerakan tanah mulai mengancam Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, seiring musim hujan di wilayah ini. Pergerakan tanah yang menyebabkan dua ruang kelas retak-retak terjadi di Desa Suwidak, Kecamatan Wanayasa, masih berlangsung hingga saat ini. Semua perangkat desa diminta waspada dan aktif melaporkan tanda-tanda bencana untuk meminimalkan dampak.
”Pergerakan tanah masih terjadi, tetapi sangat pelan. Ruang kelas IV dan V rusak sehingga tidak bisa dipakai oleh siswa,” kata Kepala Desa Suwidak Eko Purwanto saat dihubungi dari Banyumas, Senin (2/12/2019).
Retakan tanah membentuk tapal kuda dengan panjang kurang lebih 500 meter.
Eko menyampaikan, pergerakan tanah teridentifikasi mulai Sabtu (30/11/2019) pukul 12.00 karena hujan deras yang mengguyur wilayah itu serta kontur tanah yang berbukit. ”Retakan tanah membentuk tapal kuda dengan panjang kurang lebih 500 meter,” katanya.
Menurut Eko, hujan yang masih terus berlangsung dalam tiga hari terakhir membuat pergerakan tanah masih terus terjadi. ”Mahkota retakan berada di Dusun Sikenong, Desa Bantar. Retakan itu juga mengancam permukiman warga di Dusun Ngalian, Desa Suwidak. Ada sekitar 30 rumah di RT 003 RW 003 yang terancam retakan tanah,” tutur Eko.
Eko menambahkan, warga di sana diimbau waspada terutama saat hujan deras turun. Pemantauan pergerakan tanah dilakukan dengan memasang tali tambang di sejumlah titik retakan tanah untuk memantau laju pergerakan. ”Ada alat EWS (early warning system), tapi sudah rusak parah karena speaker dan kabel-kabelnya dicuri orang,” katanya.
Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjarnegara Andri Sulistyo menyampaikan, selain di Kecamatan Wanasaya, potensi pergerakan tanah yang juga diwaspadai ada di empat kecamatan lainnya.
”Potensi pergerakan tanah ada di Desa Sijerku dan Prendengan, Kecamatan Banjarmangu; Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan; Desa Gemingsir, Kecamatan Pagentan; dan Desa Mlaya, Kecamatan Punggelan,” papar Andri.
Andri mengatakan, kesiapsiagaan antarinstansi dan juga perangkat desa dilakukan dengan memperkuat koordinasi hingga tingkat RT/RW. ”Kami mengecek alat EWS dan melakukan sosialisasi di daerah rawan. Dari 13 unit EWS, ada 8 unit yang aktif, sisanya mati,” katanya.
Selain itu, lanjut Andri, pihak BPBD juga mengimbau perangkat desa untuk menyiapkan posko yang bisa dipakai sewaktu-waktu, juga mengajak warga di desa untuk bergotong-royong membersihkan lingkungan. Hal itu dilakukan sembari memantau munculnya retakan tanah serta mendorong adanya simulasi mandiri menghadapi bencana. ”Tingkatkan kewaspadaan jika hujan mulai turun,” ujarnya.
Seperti diberitakan Kompas (3/11/2019), satu orang tewas tertimbun longsor akibat tanggul Saluran Irigasi Singomerto di Kelurahan Parakancanggah, Kecamatan Banjarnegara, jebol pada Sabtu (2/11) pagi. Minimnya mitigasi serta membiarkan pendirian bangunan liar di sekitar sempadan sungai menjadi penyebab terjadinya bencana di tengah kota itu.
Longsor terjadi sekitar pukul 05.30 dan menyebabkan tiga rumah ambruk tertimpa longsoran tanggul setinggi lebih dari 10 meter dengan lebar 15 meter. Rumah-rumah itu berada persis di bawah tanggul dengan badan tanggul hanya selebar 1,5 meter. Air dari saluran irigasi diduga merembes keluar dari saluran irigasi karena adanya kebocoran di saluran irigasi tersebut.
Kepala BBPD Banjarnegara Arif Rahman menyampaikan, dari 266 desa di Banjarnegara, sebanyak 199 desa termasuk rawan longsor. Arif mengimbau warga yang menemukan retakan tanah setelah kemarau panjang ini untuk segera menutupnya dengan timbunan supaya air tidak masuk dan menyebabkan longsor.