Petani yang bermukim dekat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Kabupaten Tanggamus, Lampung, pernah bermusuhan dengan kawanan gajah liar.
Oleh
Vina Oktavia
·4 menit baca
Petani yang bermukim dekat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Kabupaten Tanggamus, Lampung, pernah bermusuhan dengan kawanan gajah liar. Belakangan, mereka memilih hidup berdampingan dengan gajah liar.
Tupon (50), warga Desa Margomulyo, Kecamatan Semaka, Tanggamus, tidak akan pernah lupa saat enam gajah liar mendekat ke rumahnya yang hanya berdinding papan pada suatu malam. Meski lahir dan besar di dekat kawasan hutan, nyalinya ciut saat mengintip dari sela dinding, gajah-gajah itu menginjak-injak pohon pisang di kebunnya.
Dia juga cemas membayangkan gajah-gajah itu merobohkan gubuk yang ia tinggali bersama istri dan tiga anaknya. Tupon pun bergegas membuang keluar beberapa tandan pisang yang disimpan di rumah. Hal itu dia lakukan agar gajah liar tidak mendekati rumah. Beruntung, satwa yang dilindungi itu kembali ke hutan setelah menghabiskan pisang di kebun.
Rumah Tupon berada di jalur aktif pelintasan gajah di Desa Margomulyo. Antara rumahnya dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) hanya terpisah jalan kampung selebar 6 meter. ”Sudah puluhan kali gajah liar melintas di desa ini,” ujarnya, Senin (25/11/2019) siang.
Selama ini, Tupon bertani kopi dan pala. Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, dia menanam pisang karena dapat dipanen lebih cepat. Selain itu, dia juga menjadi tukang ojek untuk menambah penghasilan.
Tupon mewakili potret sebagian besar warga Desa Margomulyo. Mayoritas warga di desa penyangga TNBBS itu bertani tanaman perkebunan. Mereka menghuni tanah marga yang sertifikat kepemilikan lahannya sedang diproses oleh pemerintah.
Jejak konflik
Konflik manusia dengan gajah liar di empat kabupaten di Lampung pun makin sering terjadi beberapa tahun terakhir. Selama periode 2012-2018, Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP) mencatat terjadi 233 konflik manusia dengan gajah dan 128 konflik manusia dengan harimau di Bukit Barisan Selatan dan Bukit Balai Rejang Selatan.
Di Kabupaten Tanggamus dan Pesisir Barat, konflik manusia dengan gajah bahkan telah menewaskan tiga orang dalam dua tahun terakhir. Warga Desa Margomulyo kini membekali diri dengan kemampuan menghalau gajah hingga tak perlu ada korban jiwa. Didampingi WCS-IP, warga membentuk Satuan Tugas (Satgas) Mitigasi Konflik Manusia-Gajah di tingkat desa.
Selain memahami perspektif tentang satwa liar, warga juga dilatih mampu menanggulangi konflik secara mandiri, dengan berbasis konservasi. Desa Margomulyo menjadi satu dari 16 desa di Sumatera yang dinilai mandiri dalam penanganan konflik dengan satwa.
”Kami menggunakan kawat sirene dan alat dentuman untuk menghalau gajah. Alat ini aman digunakan dan murah,” ujar Ketua Satgas Mitigasi Konflik Manusia-Satwa Desa Margomulyo Suyono. Senin itu, berbagai peralatan untuk menghalau gajah liar dipamerkan di balai pertemuan tim satgas yang disulap menjadi ruang pamer. Maket kandang antiserangan satwa liar dan produk hasil hutan, seperti madu dan kerajinan kayu, juga dipamerkan.
Menurut Suyono, warga mulai menggunakan kawat sirene dan alat dentuman spiritus sejak 2017. Kawat sirene dipasang di dua jalur lintasan gajah di desa itu. Kawat berfungsi sebagai alat pendeteksi kedatangan gajah. Masyarakat yang mendengar sirene segera menyiapkan alat dentuman untuk menghalau gajah agar kembali ke dalam hutan. ”Mbah Gajah takut mendengar dentuman alat ini,” katanya.
Suyono dan warga desa menyebut gajah liar dengan ”Mbah Gajah”. Sebutan yang disematkan sejak nenek moyang mereka itu sebagai bentuk penghormatan pada satwa berbadan besar tersebut.
Belajar ikhlas
Selama ini, Suyono menuturkan, banyak warga merugi karena kebun pisangnya dirusak gajah. Walakin, warga tak ingin memendam amarah terlalu lama pada gajah. Mereka belajar ikhlas. ”Kami menyadari gajah-gajah liar itu tetangga kami. Namanya dengan tetangga, ya, harus saling berbagi,” ujarnya sembari tertawa.
Dulu, warga tidak kompak dalam mengatasi konflik dengan gajah. Menghalau gajah dianggap tanggung jawab petani yang kebunnya dirusak gajah. Namun, hal itu membuat warga lelah karena bekerja sendiri-sendiri.
Sejumlah warga pernah menggunakan bola api, juga belerang, untuk mengusir gajah. Ternyata hal itu tidak efektif. Dengan keberadaan satgas, warga belajar berorganisasi dan berinovasi membuat alat yang lebih aman dan efektif untuk menghalau gajah.
Sekretaris Desa Margomulyo Binarno mengatakan, pemerintah desa memberikan bantuan senter, handy talky, jas hujan, untuk tim satgas. Menurut Landscape Manager Program Bukit Barisan Selatan WCS-IP Firdaus Affandi, penguatan mitigasi konflik penting karena masyarakat desa menjadi ujung tombak dalam penanganan konflik satwa dan manusia.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Wiyogo Supriyanto mengapresiasi kemampuan warga dalam mengatasi konflik berbasis konservasi.