Sebanyak lima juta ton emisi karbon dioksida dilepas ke atmosfer setiap jam, mendorong Bumi mendekati titik kritis iklim. Kondisi ini menyebabkan dampak pemanasan menjadi tak terhentikan.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak lima juta ton emisi karbon dioksida dilepas ke atmosfer setiap jam, mendorong Bumi mendekati titik kritis iklim. Kondisi ini menyebabkan dampak pemanasan menjadi tak terhentikan dan menjadi ancaman nyata terhadap peradaban.
Bukti-bukti tentang terlampauinya titik kritis (tipping point) iklim ini dipaparkan Direktur Global Systems Institute, University of Exeter, Inggris Timothy M. Lenton dan tim di jurnal Nature, edisi 27 November 2019. Dari 15 titik kritis yang diketahui dalam sistem iklim planet ini, sembilan titik dinilai dalam kondisi mengkhawatirkan, termasuk permafrost, hutan hujan Amazon, lapisan es Greenland, es laut Kutub Utara, dan sirkulasi Samudra Atlantik.
”Stabilitas dan ketahanan planet kita dalam bahaya. Kita sekarang harus beradaptasi dengan beberapa perubahan yang tidak dapat dihindari lagi,” kata Lenton kepada kantor berita AFP, Jumat (29/11/2019).
Stabilitas dan ketahanan planet kita dalam bahaya. Kita sekarang harus beradaptasi dengan beberapa perubahan yang tidak dapat dihindari lagi.
Suhu global pada tahun 2018 sudah lebih panas 1 derajat celsius dibandingkan tahun 1900-an, dan diperkirakan terus meningkat, karena akumulasi emisi yang dilepaskan masa lalu dan tingkat gas rumah kaca masih meningkat. Terlampauinya satu titik kritis, seperti pelepasan metana dari mencairnya lapisan es beku atau permafrost, memicu dampak ikutan, yaitu memanasnya suhu Bumi menjadi lebih cepat.
Dia mencontohkan, Laut Amundsen di Antartika Barat melewati titik kritis itu, ditandai dengan terus menyusutnya garis landasan tempat bertemu es, samudra, dan batuan dasar. Ketika akhirnya sektor es di kawasan itu runtuh, hal ini bakal menggoyahkan kestabilan sisa lapisan Antartika Barat seperti kartu domino sehingga bakal memicu kenaikan permukaan laut sekitar tiga meter.
”Pemodelan menunjukkan, lapisan es Greenland bisa hancur oleh penambahan panas 1,5 derajat celsius yang dapat terjadi segera setelah tahun 2030. Kenaikan permukaan laut jangka panjang ini tak bisa dielakkan lagi dan ini berarti kita harus serius memikirkan relokasi aktivitas di pesisir,” ujarnya.
Data terakhir juga menunjukkan, lapisan es Antartika Timur di Cekungan Wilkes tidak stabil. Pemodelan menunjukkan, runtuhnya sektor ini bisa menambah peningkatan muka laut 3-4 meter pada rentang waktu lebih dari satu abad.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) memperkenalkan gagasan titik kritis sejak dua dekade lalu. Waktu itu disebutkan perubahan yang tak bisa kembali dalam sistem iklim dianggap hanya mungkin terjadi jika pemanasan global melebihi 5 derajat celsius di atas tingkat praindustri.
Namun, informasi yang dirangkum dalam dua Laporan Khusus IPCC terbaru yang diterbitkan pada 2018 dan September 2019 menyebutkan, titik kritis dapat terlampaui oleh penambahan suhu antara 1 dan 2 derajat celsius.
Direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research Johan Rockstrom, yang turut dalam riset itu, menambahkan, penambahan panas 2 derajat celsius bukan hanya target politis, melainkan sebenarnya merupakan batas planet ini. Jika kita melampauinya, Bumi kita berisiko melepaskan pemanasan semakin tinggi, hingga tidak bisa mendingin lagi.
”Selama ini kita telah meremehkan risiko terjadinya perubahan yang tidak dapat diubah, yakni planet ini dapat memperkuat pemanasan global secara mandiri setelah terlampuainya titik kritis,” katanya.
”Inilah yang sekarang mulai kita lihat, setelah terjadinya penambahan pemanasan global 1 derajat celsius,” katanya lagi.
Momen penting
Peneliti iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto, Minggu (1/12/2019), mengatakan, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC-COP25) di Madrid tahun 2019 ini menjadi momen penting untuk memperbarui komitmen antarnegara dalam rangka mengurangi emisi karbon global. Hal itu disebabkan komitmen yang dibuat pada COP 2015 di Paris akan berakhir tahun depan.
”COP25 diharapkan membawa kesepakatan untuk menghentikan degradasi hutan dan memulihkan kawasan hutan yang luas. Kesepakatan juga diharapkan dapat menjaga keberlanjutan ekosistem laut. Hasil perundingan Konferensi Madrid harus menghasilkan solusi yang akan dibawa ke COP26 di Glasgow, Skotlandia, pada 2020 nanti,” kata Siswanto, yang turut dalam delegasi Indonesia ke Madrid.
Siswanto mengatakan, saat ini berbagai parameter iklim menunjukkan terjadi krisis yang meningkatkan risiko bencana hidrometerologi, termasuk di Indonesia. Data yang dirilis Badan Meteorologi Dunia (WMO) menyebutkan, tahun 2015, 2016, 2017, dan 2018 sebagai empat tahun terpanas yang pernah tercatat. Data itu menyebutkan, tahun 2018 lebih panas 1 derajat celsius dibandingkan tahun 1900-an.
Di Indonesia, peningkatan suhu saat ini bahkan lebih tinggi dibandingkan rata-rata global. Kajian Siswanto terhadap tren suhu di Jakarta sejak tahun 1866 hingga 2012 menunjukkan, peningkatan suhu mencapai 1,6 derajat celsius.
Kajian Siswanto, tren kenaikan suhu di Indonesia meningkatkan ekstremitas cuaca dan bencana hidrometeorologi. Hujan lebat berdurasi pendek (1-3 jam) di Jakarta meningkat signifikan secara statistik. Adapun hujan berdurasi menengah (4-6 jam), dan durasi lama (lebih dari 6 jam), juga meningkat.
Menteri Lingkungan Hidup Spanyol Teresa Ribera, yang jadi tuan rumah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) atau COP25 tahun 2019 ini, dalam siaran persnya menyerukan agar semua pihak menetapkan target ambisius dalam mengurangi laju perubahan iklim.
”COP25 menjadi momen penting untuk memastikan pada tahun 2020 negara-negara mematuhi komitmen Perjanjian Paris 2015 dan meningkatkan ambisi kontribusi mereka untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celsius pada akhir tahun. Inilah yang saat ini menjadi tuntutan masyarakat,” ucapnya.
Pemerintah Spanyol telah menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah COP25, setelah Chile menarik diri karena dilanda kerusuhan sosial. Pemerintah Spanyol mengharapkan sekitar 25.000 peserta dan 1.500 jurnalis dari seluruh dunia untuk menghadiri pertemuan dua minggu, yang akan berlangsung pada awal Desember 2019 di Madrid.
Menurut Ribera, konferensi iklim kali ini harus menangkap momentum dari gerakan sosial yang meluas, terutama dari kalangan anak muda yang dipelopori remaja dari Swedia, Greta Thunberg. Protes dan pemogokan yang dilakukan siswa sekolah dan anak-anak muda terkait iklim terjadi di banyak negara.
Misalnya, seperti dilaporkan The Guardian, pada Jumat (29/11/2019), anak-anak dan remaja di lebih dari 100 kota dan kota-kota di Inggris berjalan keluar dari ruang kelas untuk melakukan protes terkait meningkatnya krisis iklim. Fenomena serupa terjadi di Australia dan banyak negara lain.
Di Jakarta, massa yang tergabung dari Jaringan Jeda Iklim bersama Wahana Lingkungan Hidup berjalan kaki menuju Taman Aspirasi. Mereka mendesak Pemerintah Indonesia untuk menyatakan darurat iklim sehingga mampu memobilisasi sumber daya dan usaha untuk mengatasi krisis iklim.
”Selama dua minggu ke depan kami akan berusaha memastikan tuntutan kaum muda untuk meningkatkan ambisi mengatasi perubahan iklim menggema selama pertemuan COP25. Ini merupakan satu-satunya cara agar kita dapat memenuhi tanggung jawab sosial kita sekarang dan di masa depan,” kata Ribera.