Stigma pada Pekerja dengan HIV/AIDS Picu Gangguan Kesehatan Jiwa
›
Stigma pada Pekerja dengan...
Iklan
Stigma pada Pekerja dengan HIV/AIDS Picu Gangguan Kesehatan Jiwa
Stigma masyarakat menyebabkan tingginya perlakuan diskriminasi yang dialami oleh orang dengan HIV/AIDS. Akibatnya, pekerja dengan HIV/AIDS rentan mengalami tekanan yang dapat memicu gangguan kesehatan jiwa.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stigma masyarakat menyebabkan tingginya perlakuan diskriminasi yang dialami oleh orang dengan HIV/AIDS, termasuk diskriminasi di tempat kerja. Akibatnya, pekerja dengan HIV/AIDS rentan mengalami tekanan yang dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan jiwa.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bidang Ilmu Psikiatri, Tjhin Wiguna menuturkan, berbagai tekanan yang dialami oleh orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan jiwa. Jika tidak diperhatikan, ODHA bisa mengalami disabilitas dan menurunkan produktivitas dalam kerja.
”Apabila ODHA mengalami gangguan jiwa, mereka berarti mengalami beban ganda, baik terkait masalah kesehatan maupun pengobatan. Belum lagi stigma dan diskriminasi yang masih tinggi pada masyarakat. Kondisi ini justru bisa menghambat pengobatan yang harus dijalankan,” ujarnya di Jakarta, Senin (2/12/2019).
Menurut dia, penyebab ODHA mengalami gangguan jiwa karena kurangnya dukungan dari lingkungan terdekat sehingga mengakibatkan adanya isolasi sosial. Selain itu, sebagian besar ODHA juga merasa tertekan karena rasa khawatir akan kehilangan pekerjaan dan tidak mampu melakukan pekerjaannya karena penyakit yang dialaminya.
Rasa jenuh dalam konsumsi obat yang harus diminum setiap hari serta tekanan karena kehilangan orang terdekat yang juga mengalami HIV/AIDS juga menjadi penyebab lain yang dapat memicu terjadinya gangguan jiwa pada ODHA.
Menutip jurnal dari Biological Psychiatry, Tjhin mengatakan, ODHA berisiko mengalami gangguan depresi mayor berkisar 22-45 persen. Jumlah ini lebih tinggi daripada populasi umum yang berisiko sekitar 5-17 persen. ”ODHA juga berisiko 38 persen mengalami gangguan cemas dan juga mengalami gangguan psikotik serta gangguan penggunaan zat lainnya,” tuturnya.
Menteri Kesehatan periode 2012-2014, Nafsiah Mboi, berpendapat, edukasi terkait HIV/AIDS kepada masyarakat harus terus dilakukan untuk melawan stigma dan diskrimasi pada ODHA. Menurut Nafsiah, stigma dan diskriminasi yang terjadi di tempat kerja karena masih banyak masyarakat yang tidak terpapar komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar soal HIV/AIDS.
Rasa jenuh dalam konsumsi obat yang harus diminum setiap hari serta tekanan karena kehilangan orang terdekat yang juga mengalami HIV/AIDS juga menjadi penyebab lain yang dapat memicu terjadinya gangguan jiwa pada ODHA.
Berdasarkan studi yang dilakukan Global Network of People Living with HIV (GNP+) dan Badan PBB untuk Masalah AIDS (UNAIDS), bentuk diskriminasi yang dialami ODHA di tempat kerja antara lain keterbatasan terhadap akses makanan (22,4 persen), penolakan kerja (8,5 persen), serta perubahan sikap kerja dan penolakan kenaikan jabatan (7,2 persen). Angka pengangguran pada ODHA pun tercatat cukup tinggi, yakni 46,1 persen.
Nafsiah mengatakan, salah satu upaya yang perlu dilakukan permerintah adalah memperbarui petunjuk teknis yang tertuang dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 68/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja. ”Dalam aturan ini perlu ditambahkan target capaian 3 zero, yakni tidak ada lagi stigma, tidak ada penularan, dan tidak ada kematian karena AIDS,” ujarnya.
Ia juga mengimbau agar pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja diperluas tidak hanya dilakukan di perkantoran. Penularan penyakit ini juga banyak terjadi pada pekerja informal, seperti buruh kasar, sopir, dan wiraswasta.
”Intervensi juga harus menekankan pada jender sensitif dan melihat kebutuhan serta hak buruh perempuan yang selama ini belum diprioritaskan,” kata Nafsiah.