Belum kunjung direvisinya Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada dinilai tidak memberikan landasan hukum kuat untuk rencana penerapan rekapitulasi elektronik dalam Pilkada serentak 2020
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Belum kunjung direvisinya Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada dinilai tidak memberikan landasan hukum kuat untuk rencana penerapan rekapitulasi elektronik dalam Pilkada serentak 2020. Rekapitulasi elektronik disarankan untuk diujicobakan saja dalam ajang pemilihan tersebut jika memang dasar hukumnya tidak diubah.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, Senin (2/12/2019) mengatakan bahwa hal itu menyusul tidak ada penyebutan secara spesifik mengenai rekapitulasi elektronik dalam UU Pilkada. Selain itu, dalam undang-undang tersebut juga masih disebutkan proses rekapitulasi di sejumlah tahapan yang dilakukan secara manual.
“Apakah (ketentuan itu) bisa hilangkan begitu saja melalui PKPU (Peraturan KPU)? Menurut saya tidak,” sebut Hadar.
Kecuali, imbuh Hadar, jika ada pasal dalam undang-undang tersebut yang mengatur konsekuensi terkait pengaturan dalam tahapan-tahapan tersebut jika rekapitulasi elektronik dilakukan. Misalnya, ketentuan yang berbunyi dalam hal rekapitulasi elektronik dilakukan maka tahapan selanjutnya diatur dalam PKPU.
“Ini kan tidak ada. Jadi menurut saya tidak cukup,” kata Hadar.
Hadar mendorong agar momentum Pilkada serentak 2020 dipergunakan sebagai ajang uji coba rekapitulasi elektronik. Ini jika memang hingga batas pelaksanaan tahapan krusial, revisi UU Pilkada tidak kunjung dilakukan.
Menurut Hadar, uji coba rekapitulasi elektronik pada ajang Pilkada serentak 2020 bisa dilakukan di seluruh daerah. Hal ini untuk mengetahui mana daerah-daerah yang berhasil menerapkan sistem tersebut dan mana yang tidak.
Ia menambahkan, penyelenggara tinggal memasukkan nomenklatur tersebut dan membicarakannya dengan pemerintah daerah setempat. Ini jika kelak muncul kekhawatiran mengenai biaya yang terbuang jika hal itu dilakukan.
“Selama ini Situng (Sistem Informasi Penghitungan Suara) bagaimana?” sebut Hadar setengah bertanya.
Hadar menegaskan, bahwa dengan uji coba itu, maka berarti penghitungan dan rekapitulasi yang menentukan hasil tetap bersandar pada metode manual. Landasan hukum yang belum solid menjadi latar belakangnya.
Bangun Kepercayaan
Menurut Hadar, dimensi penting dari hal tersebut adalah kepercayaan dari para pemangku kepentingan. Teknologi dan sumber daya manusia yang baik, dalam hal ini, akan membangun kepercayaan masyarakat.
Uji coba penggunaan teknologi rekapitulasi elektronik yang dilakukan dengan menyertakan semua orang, akan membentuk pula kepercayaan. Bukan dengan berharap kepercayaan bakal terbangun setelah menggunakan teknologi tersebut. Menurutnya, rekapitulasi elektronik juga bukan sebuah lompatan sebagaimana rencana jika pemungutan suara elektronik dilakukan. Rekapitulasi elektronik, menurut Hadar, dibangun dari Situng yang telah digunakan.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengatakan mengatakan bahwa hal umum yang penting diperhatikan dalam rencana penggunaan rekapitulasi elektronik terkait dengan kesiapan platform digital yang bakal dipergunakan. Ini berhubungan dengan sejauh mana platform aplikasi tersebut siap dipergunakan.
“(Terkait) Daya tahan, simulasi, dan kesiapan daerah,” sebut Fadli.
Selain itu, hal lain yang juga penting ialah sinkronisasi regulasi. Di dalamnya berhubungan pula dengan segala akibat hukum yang mesti diatur dengan detail.
Anggota KPU Evi Novida Ginting sehari sebelumnya menyatakan bahwa KPU merencanakan untuk melakukan uji coba rekapitulasi elektronik di sejumlah daerah yang belum ditentukan, pada tahun depan.