Upaya Kembalikan Paham Pancasila
Tidak operasional. Terlalu abstrak. Tidak menjadi paradigma ilmu yang melandasi pendidikan. Tidak ada contoh dalam praktik oleh sebagian kalangan elite penguasa. Kebijakan publik yang cenderung tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Itulah hal-hal yang menjadi kegusaran sejumlah peserta pembekalan materi pendidikan dan pelatihan pembinaan ideologi Pancasila. Acara yang diperuntukkan bagi penceramah, pengajar, dan pemerhati itu diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau BPIP di Jakarta, 18-20 November 2019.
Kegusaran atau keluhan itu dialamatkan pada Pancasila. Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas lima sila. Masing-masing dengan nilai dan tujuan ideal sebagai landasan dalam kehidupan bernegara.
Agus Subagyo, salah seorang peserta kegiatan itu, Senin (18/11), menuturkan, sejauh ini, sifat penyebarluasan dan pengajaran Pancasila cenderung masih doktrinal. Teknik komunikasi, bahasa, dan konsep yang dipergunakan cenderung masih abstrak dan belum operasional.
Agus yang juga pengajar di Universitas Jenderal Achmad Yani mengatakan pentingnya membumikan konsep-konsep itu. Konkretnya, ujar Agus, bisa dengan menuliskan sejumlah buku berisikan praktik nilai-nilai Pancasila untuk tiap-tiap bidang keilmuan.
Menurut Agus, yang juga penulis buku Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa Kedokteran, kenyataan itu menjadi tantangan para penulis buku untuk bisa menuliskan hal itu. Pada sisi lain, dinilai penting para pengajar mengetahui latar belakang dan kebutuhan keilmuan peserta didik yang spesifik terkait nilai-nilai Pancasila.
Ia mencontohkan bidang kedokteran. Pengamalan sila pertama bisa berupa praktik berdoa menurut agama masing-masing sebelum melakukan tindakan medis atau pengobatan.
Praktik sila kedua, kata Agus, bisa berupa keterangan agar dalam berpraktik hendaknya seorang dokter tak menetapkan biaya yang terlampau mahal. Pada sila ketiga praktiknya berupa kemauan ditempatkan di daerah-daerah terpencil dan perbatasan. Sila kelima, kata Agus, berhubungan dengan kedermawanan sosial dan gaya hidup sederhana dokter. ”Ini masuk (diterima), dibandingkan (penjelasan bahwa) Pancasila terdiri dari tinjauan yuridis, epistemologi. Itu nggak masuk (tidak diterima),” ujarnya.
Strategi untuk hal itu, lanjut Agus, bisa dilakukan BPIP dengan membuat semacam buku babon terkait hal itu. Selanjutnya aplikasi di setiap daerah akan disesuaikan dengan kearifan lokal daerah.
Menurut Agus, BPIP mesti memelopori pembuatan buku seri Pancasila untuk semua tingkatan pendidikan. Ia mencontohkan, hal itu sebagaimana dilakukan di masa lalu dengan penerbitan buku sejarah nasional Indonesia jilid 1 hingga 7. Sekalipun, ucap Agus, terdapat sejumlah catatan kritis mengenai isinya, sistematika penerbitan buku itu dinilai baik sebagai strategi untuk disebarluaskan.
Agus menambahkan, jika BPIP membuat buku induk dimaksud, hal yang selanjutnya dilakukan ialah mengusulkan agar diterbitkan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah itu terutama bakal mengatur semua lembaga pendidikan merujuk pada buku tersebut terkait dengan pendidikan dan pengajaran Pancasila.
Firman Umar, pengajar di FISIP Universitas Negeri Makassar, menekankan pentingnya contoh praktik nyata nilai-nilai Pancasila di pusat kekuasaan. Dalam hal ini, ujar Firman, yang juga penting ialah menjawab apakah kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Hal itu termasuk pada jawaban atas pertanyaan apakah kebijakan publik itu sudah menyejahterakan rakyat dan memberikan keadilan sosial. Jika jawaban atas pertanyaan itu bisa diberikan secara ideal, maka Firman menilai, barulah Pancasila bisa dibumikan.
Firman berharap kepada BPIP yang menurut dia serupa dengan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Akan tetapi, perbedaannya terletak pada sifat BP7 yang doktrinal dan monolog. ”Ini (BPIP) mau ada dialog. Semoga bisa dimulailah (pemahaman Pancasila) dari sini,” kata Firman.
Paradigma ilmu
Pelaksana Tugas Kepala BPIP Hariyono Senin itu menggarisbawahi pentingnya menjadikan Pancasila sebagai paradigma ilmu. Menurut dia, selama Pancasila belum menjadi paradigma ilmu, maka hal itu ironi pada keseharian.
Hariyono mengawali paparannya dengan ”Salam Pancasila.” Praktiknya berupa gerakan mengangkat tangan kanan yang terbuka hingga ke atas bahu. Maknanya, tambah Hariyono, setiap warga negara Indonesia punya tanggung jawab mengamalkan Pancasila. Tanggung jawab itu seolah-olah berada di bahu masing-masing.
Terkait Pancasila yang belum menjadi paradigma ilmu, Hariyono menjelaskan, contohnya seperti di bidang ekonomi. Tuntutan untuk menerapkan perekonomian Pancasila cenderung jauh panggang dari api menyusul tidak diajarkannya hal itu dalam proses pendidikan. ”Di satu sisi mendorong agar (terjadi praktik ekonomi dengan jiwa) Pancasilais. Tetapi, di sisi lain (yang dipelajari hanya teori ekonomi) Adam Smith,” kata Hariyono.
Hal serupa terjadi di bidang politik. Menurut Hariyono, hal itu karena cenderung silaunya sebagian orang pada teori-teori yang berasal dari Barat. Ini membuat teori yang dikembangkan berdasarkan kondisi Indonesia menjadi relatif tak dihargai.
Pada kesempatan itu, ia kembali membincangkan tentang indegenisasi ilmu. Ini merupakan pembumian atau pelokalan teori-teori keilmuan agar sesuai dengan kondisi Indonesia. Hariyono mencontohkan upaya yang pernah dilakukan Prof Mubyarto di bidang ekonomi lewat konsep Ekonomi Pancasila. Akan tetapi, ujar Hariyono, upaya itu belum beroleh dukungan.
Kembali pada contoh teori ekonomi, Hariyono menyoroti teori ekonomi Barat yang dipraktikkan di Indonesia dan menimbulkan kesenjangan. Suatu kondisi yang dinilainya tidak hanya merugikan kelompok masyarakat miskin, tetapi juga golongan masyarakat kaya. Padahal, praktik pembangunan ekonomi berkelanjutan dikonseptualisasikan dalam Pancasila. Bukan merupakan praktik keserakahan ekonomi.
Karena itu, kajian akademik perlu didorong untuk menggunakan berbagai teori yang berhubungan dengan Pancasila. Dalam hal ini, Hariyono menegaskan, itu tidak berarti anti-teori asing, tetapi sifatnya memperkaya dan membumikannya di Indonesia.
Hadapi terorisme
Pada hari berikutnya, pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan, juga memberikan materi. Ia memberikan presentasi ”Menangkal Intoleransi, Ekstremisme, dan Terorisme dengan Pancasila: Pancasila sebagai Nilai Luhur yang Final dan Dasar bagi Kepemimpinan Nasional”.
Ken yang sempat bergabung dalam jaringan teror itu memaparkan tentang bagaimana kelompok-kelompok pelaku terorisme menggunakan sejumlah ayat dalam kitab suci Al Quran untuk melegitimasi pemikiran dan tindakannya. Dipaparkan pula bagaimana keterlibatan kaum muda dalam jaringan tersebut.
Ia menjelaskan, proses bergabungnya seseorang dalam jaringan teror diawali dialog yang logis. Proses ini seperti membongkar logika yang sebelumnya mapan dan bersemayam dalam diri seseorang. Ini termasuk mempertentangkan antara Pancasila dan agama. Selain itu, hukum-hukum negara dengan hukum agama. Pada gilirannya, orang yang terpengaruh akan dengan mudah mengikuti logika para perekrut ideologi teror tersebut.
Menurut Ken, saat ini banyak di sekitar kalangan terdekat, kelompok-kelompok masyarakat yang berpikiran sepaham dengan aksi terorisme. Fenomena itu termasuk kelompok-kelompok yang cenderung bisa menerima aksi teror atas simbol-simbol negara. Selain itu, ada pula sebagian kelompok yang meyakini bahwa negara adalah thaghut dan lantas melakukan hijrah berupa tindakan bergabung dengan NII. Selanjutnya penggalangan dana.
Ketiga, ujar Ken, merupakan kelompok yang dalam pikirannya bersemayam bara radikalisme dan siap berbuat aksi terorisme. Saat ini, di kehidupan sehari-hari, masyarakat banyak dikepung ancaman radikalisme atau manipulator agama. Masalahnya masyarakat tidak merasa terancam. Kondisi inilah yang cenderung membuat Pancasila seakan tak menemukan relevansinya.
Karena itulah, pemahaman tentang keberadaan Pancasila sebagai kesepakatan dalam bernegara mesti diingatkan kembali. ”Jangan pernah menganggap (Pancasila sebagai) thaghut atau berhala. (Pancasila harus dianggap) Sebagai nilai luhur,” ujar Ken.
Pada bagian lain, anggota Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Andreas Anangguru Yewangoe, memaparkan hubungan antara Pancasila, agama, dan negara. Menurut Andreas, relasi antara agama dan negara bersifat sebagai mitra yang mendukung dalam kerangka saling berdampingan. Namun, agama perlu mengkritik negara jika menyeleweng dari kesepakatan Pancasila.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal MPR Ma’ruf Cahyono menyebutkan, internalisasi nilai-nilai Pancasila juga penting dilakukan lewat berbagai instrumen dan beragam kelompok masyarakat. Di dalamnya termasuk menstimulasi partisipasi masyarakat dan juga penggunaan budaya populer.***