Golkar Menahan Erosi Elektabilitas
Elektabilitas dan raihan kursi MPR/DPR Partai Golkar terus tergerus. Musyawarah Nasional X Golkar, 3-6 Desember 2019, menjadi momentum untuk membalikkan kondisi tersebut.
Golkar berhenti bersinar pasca-Reformasi. Partai yang selama Orde Baru bisa menguasai lebih dari 50 persen suara setiap kali pemilu ini pasca-Reformasi suaranya tak sampai separuhnya, bahkan cenderung menurun. Alih-alih mencari solusi membalikkan tren, penurunan jadi ”jualan” para bakal calon ketua umum Golkar agar bisa terpilih.
Selepas Reformasi 1998, raihan suara tertinggi yang diperoleh partai terjadi pada Pemilu 2004. Kala itu, Golkar berhasil meraih 24,4 juta suara atau 21,6 persen dari total suara nasional, sekaligus menempatkannya sebagai partai pemenang pemilu.
Namun, setelah itu, partai kesulitan mengulang prestasi dan tingginya capaian suara tersebut. Pada Pemilu 2009, raihan suara anjlok menjadi menjadi 15,037 juta suara atau 14,4 persen. Raihan suara naik ke angka 18,4 juta suara atau 14,7 persen pada Pemilu 2014. Namun, lima tahun kemudian, elektabilitas kembali menurun menjadi sebesar 17,2 juta suara atau 12,31 persen.
Penurunan lebih kentara jika dilihat dari raihan kursi Golkar di MPR/DPR. Jika pada Pemilu 2004 Golkar masih bisa memperoleh 128 kursi, raihan kursi itu terus menurun di pemilu berikutnya; Pemilu 2009 sebanyak 107 kursi, Pemilu 2014 sebanyak 91 kursi, dan pada pemilu terbaru 85 kursi.
Alih-alih mencari solusi untuk membalikkan tren negatif itu, penurunan justru jadi ”jualan” para bakal calon ketua umum yang berniat maju dalam pemilihan ketua umum Golkar di Musyawarah Nasional (Munas) X Golkar, 3-6 Desember 2019.
Baca juga : Masa Depan Golkar dalam Pusaran Konflik
Kubu bakal calon Bambang Soesatyo, misalnya, menuding bahwa memburuknya prestasi Golkar pada 2019 disebabkan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. Airlangga dinilai tak mampu mengonsolidasikan kekuatan.
Selain itu, dia menuding, menjelang Pemilu 2019, DPP tak membayarkan uang saksi. Akibatnya, tak sedikit penghitungan dan rekapitulasi suara yang tak terkawal oleh saksi Golkar.
Oleh karena itu, Airlangga dinilai tak boleh memimpin Golkar kembali. ”Ibaratnya, daun-daun di pohon beringin sudah mulai kering dan berguguran, perlu ada sosok baru yang menyirami pohon beringin ini agar bisa kembali rindang dan nyaman sebagai tempat bernaung. Oleh sebab itu, kami mengusung Bambang sebagai calon ketua umum dalam Munas Golkar,” tutur Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar Nusron Wahid.
Baca juga : Persaingan Ketua Umum Bakal Sengit
Sebaliknya, kubu Airlangga cukup bangga dengan raihan suara tersebut. Sebab, sebelum Pemilu 2019, Golkar diterpa ujian berat. Ketua Umum Golkar 2016-2017 Setya Novanto terjerat korupsi pada pertengahan 2017. Ditambah lagi, konflik berkepanjangan Golkar pada 2014 antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.
Sekalipun diterpa badai, partai berlambang beringin itu tidak anjlok raihan suara dan kursinya pada 2019. Kalaupun ada penurunan, hal itu tidak signifikan. Elektabilitas masih menempatkan Golkar di peringkat ketiga partai dengan raihan suara terbanyak.
Posisi Golkar justru lebih baik jika dihitung dari jumlah kursi karena raihan kursi di MPR/DPR tersebut, menempatkan Golkar di peringkat kedua partai peraih kursi terbanyak setelah PDI-P.
”Berdasarkan hasil sejumlah survei sebelum Pemilu 2019, Golkar diprediksi hanya akan mendapat suara sekitar 6 persen. Namun, di era kepemimpinan Airlangga yang hanya menjabat 1 tahun 8 bulan, ia mampu membawa Golkar meraih suara dua kali lipat lebih besar dari prakiraan survei,” kata Ketua DPP Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily.
Klaim keberhasilan dari petahana yang kemudian dibalas ”serangan” dari kubu penantang itu diperkirakan akan terus mendominasi narasi yang keluar dari Munas X Golkar. Setiap kubu bakal mengembangkan klaim dan ”serangan” demi menggaet pemegang suara agar memilih kandidatnya saat pemilihan ketua umum Golkar.
Padahal, ajang tertinggi di Golkar tersebut sejatinya tak semata soal urusan kekuasaan atau berebut kursi ketua umum. Munas juga menjadi ajang konsolidasi kader. Pasalnya, hanya pada munas, seluruh elite Golkar di pusat dan daerah hingga level kabupaten/kota, plus organisasi sayap, bisa bertemu.
Saat itulah, seharusnya pemilu terakhir dievaluasi secara mendalam. Dari proses evaluasi, semestinya muncul ide-ide cemerlang untuk membalikkan tren negatif elektabilitas. Namun, dengan ketatnya persaingan antarcalon ketua umum, bisa jadi semua malah terfokus pada persaingan tersebut.
Sekjen Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus menepis kekhawatiran itu. Dia memastikan Munas X Golkar akan sekaligus merumuskan strategi menghadapi Pemilu 2024.
Baca juga : Golkar dan Kutukan Pilpres
Salah satu strategi yang direncanakan, menjadikan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di 270 daerah sebagai batu loncatan untuk meningkatkan elektabilitas. Menurut dia, kader Golkar akan diprioritaskan maju di setiap pilkada.
”Kami akan melakukan proses penjaringan dan memprioritaskan kader kami untuk maju. Penjaringan kader akan kami lakukan dengan mempertimbangkan hasil survei dari sejumlah lembaga terhadap tingkat popularitas kader tersebut,” katanya.
Selain itu, untuk mendekatkan partai dengan publik, kapasitas kader bakal ditingkatkan. Untuk itu, akan ada pendidikan politik partai bagi kader. Materi di dalamnya sekaligus disesuaikan dengan program-program pemerintah karena saat ini Golkar menjadi salah satu partai pendukung pemerintah.
Usulan lain muncul dari Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono. Dia mengusulkan Golkar kembali menggelar konvensi calon presiden (capres) untuk Pemilu Presiden 2024. Ini berangkat dari fakta, konvensi capres pada 2004 berhasil membuat partai menjadi partai pemenang pemilu.
Rapuh
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menilai, penurunan suara Golkar yang terjadi terus-menerus sulit untuk dilepaskan dari konflik internal yang juga konsisten terjadi di tubuh partai. Konflik terbesar salah satunya berdampak pada perpecahan. Sejumlah elite keluar, kemudian membangun partai politiknya sendiri.
Baca juga : Pelajaran dari Sejarah Konflik Internal
”Sejumlah partai yang merupakan pecahan Golkar adalah Nasdem, Gerindra, Hanura, dan Partai Berkarya. Para elite tersebut membawa gerbong dari Golkar sehingga suara pendukungnya pun terpecah ke sejumlah partai,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Arya, Ketua Umum Golkar terpilih nantinya harus bisa mengelola konflik internal secara tepat. Ia mengemban tugas untuk mengonsolidasikan faksi-faksi dan DPD agar mesin partai bisa berjalan efektif dan membuahkan hasil pada Pemilu 2024.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana menilai, ketidakmampuan Golkar menaikkan raihan suara juga terkait dengan minimnya sosok dengan ketokohan yang kuat. Belum ada tokoh yang mampu memberikan dampak elektoral setelah era Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla.
Kombinasi kuatnya basis akar rumput dan ketokohan merupakan hal mutlak untuk dimiliki Golkar untuk bisa meningkatkan perolehan suara lima tahun ke depan.
Namun, untuk melahirkan tokoh seperti itu butuh komitmen dan kerja keras. Sebab, mereka lahir dari proses panjang dan tidak bisa instan.
Peningkatan perolehan suara juga semakin sulit karena dalam konteks praktik pemilu yang sarat politik uang, loyalitas pemilih tak bisa dipastikan. Untuk itu, penguatan basis partai di akar rumput menjadi hal yang tak bisa ditawar.
Menurut dia, prestasi Golkar yang mampu mempertahankan posisi tiga besar dari lima kali pemilu pasca-Reformasi menunjukkan partai tersebut berhasil membangun basis akar rumput yang kuat. Ditambah lagi, Golkar tidak memiliki daerah yang identik sebagai basisnya. Perolehan suara di semua daerah cenderung merata.
”Kombinasi kuatnya basis akar rumput dan ketokohan merupakan hal mutlak untuk dimiliki Golkar untuk bisa meningkatkan perolehan suara lima tahun ke depan,” kata Aditya.