Ketidakpastian Politik Menyelimuti Irak Pasca-mundurnya PM Abdul Mahdi
›
Ketidakpastian Politik...
Iklan
Ketidakpastian Politik Menyelimuti Irak Pasca-mundurnya PM Abdul Mahdi
Mundurnya PM Adil Abdul Mahdi membuka babak baru pertarungan regional dan internasional dalam memengaruhi penunjukan PM baru Irak. Pengunjuk rasa menolak elite politik loyalis Iran menjabat posisi strategis di Irak.
Oleh
Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
KAIRO, KOMPAS -- Publik dan pengunjuk rasa di Irak, Senin (2/12/2019), masih menunggu arah atmosfer politik terkait figur yang akan ditunjuk sebagai perdana menteri baru negara itu. Parlemen Irak Minggu lalu menyetujui dan mengesahkan pengunduran diri PM Adil Abdul Mahdi.
Abdul Mahdi pada Sabtu lalu menyampaikan pengunduran diri setelah terus tertekan oleh gerakan unjuk rasa paling berdarah di dunia Arab yang meletus sejak awal Oktober lalu. Unjuk rasa itu telah menelan korban 420 tewas dan ribuan orang lainnya luka-luka.
Abdul Mahdi selama ini dikenal sebagai loyalis Iran. Ia menduduki jabatan PM Irak, Oktober 2018, berkat dukungan Iran setelah beberapa bulan terjadi perundingan alot di antara kekuatan politik Irak, melibatkan kekuatan regional dan internasional, seperti Iran, Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Tampilnya Abdul Mahdi sebagai PM Irak saat itu merupakan kemenangan politik bagi Iran.
Sejak unjuk rasa melanda Irak, awal Oktober lalu, tuntutan utama pengunjuk rasa adalah mundurnya Abdul Mahdi. Mundurnya Abdul Mahdi merupakan kemenangan politik pengunjuk rasa. Namun, situasi itu juga membuka babak baru pertarungan regional dan internasional dalam memengaruhi penunjukan PM baru Irak.
Bagi pengunjuk rasa, identitas figur PM baru Irak sangat menentukan masa depan mereka. Pengunjuk rasa menolak elite politik loyalis Iran menjabat posisi strategis di Irak karena dinilai gagal membawa keadilan, kemakmuran, dan kemajuan negara.
Pemilu parlemen Irak tahun 2018 menghasilkan tiga kekuatan aliansi besar yang semuanya berasal dari kaukus Syiah. Tiga kekuatan aliansi besar itu adalah aliansi Saairun pimpinan Moqtada al-Sadr yang meraih 54 kursi, aliansi Fatah pimpinan Hadi al-Amiri (48 kursi), dan aliansi Al-Nasr pimpinan mantan PM Irak Haider al-Abadi (42 kursi).
Pemimpin aliansi Saairun, Moqtada al-Sadr, mulai didekati Arab Saudi. Sadr telah mengunjungi Arab Saudi, Juli 2017, dan bertemu Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman.
Dari tiga aliansi itu, aliansi Fatah dan Al-Nasr dikenal sebagai loyalis Iran. Adapun aliansi Saairun, meskipun dari kaukus Syiah, lebih bersikap independen dan lebih mengutamakan nasionalisme Irak. Bahkan, pemimpin aliansi Saairun, Moqtada al-Sadr, mulai didekati Arab Saudi. Sadr telah mengunjungi Arab Saudi, Juli 2017, dan bertemu Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman.
Kunjungan Sadr ke Arab Saudi itu merupakan pertama kali selama 11 tahun terakhir ini. Sebelumnya, Sadr mengunjungi Arab Saudi pada 2006.
Sadr secara mengejutkan kini melepaskan haknya untuk menunjuk PM Irak baru. Menurut undang-undang di Irak, aliansi politik yang meraih kursi terbanyak dalam pemilu parlemen berhak menunjuk atau memilih PM baru.
Namun, Sadr menyerahkan kepada pengunjuk rasa untuk menunjuk sendiri PM Irak mendatang. Ia meminta Presiden Irak Barham Salih berkomunikasi dengan pengunjuk rasa tentang figur PM yang akan memimpin Irak mendatang.
Anggota parlemen dari aliansi Saairun, Nabil al-Torfi, mengatakan, aliansi Saairun kini menginginkan berakhirnya sistem politik di Irak yang membagi-bagi kekuasaan antara kekuatan politik dan mazhab agama. Ia menegaskan, rakyat kini memiliki keputusan, dan presiden Irak serta kekuatan politik harus menghormati aspirasi rakyat.
Seperti diketahui, memilih PM Irak yang disepakati semua pihak tidak mudah dan butuh waktu beberapa bulan, seperti yang terjadi pada tahun 2018. Pemilu parlemen Irak digelar pada Mei 2018, namun baru bisa memilih PM baru pada Oktober 2018 atau lima bulan setelah pemilu parlemen.