Medali Emas Beregu Putra Terlepas
Tak terkalahkan di ajang internasional sejak Kejuaraan Dunia Pencak Silat 2015, trio pesilat Indonesia kehilangan medali emas di nomor seni beregu putra pada SEA GAmes 2019 Filipina.
SUBIC, KOMPAS – Pada SEA Games Malaysia 2017, Anggi Faisal Mubarok, Asep Yuldan Sani, dan Nunu Nugraha tampil kompak merebut medali emas pencak silat nomor seni beregu putra. Mereka mengalahkan tim tuan rumah, negara yang menjadi pesaing terkuat Indonesia di cabang ini.
Prestasi mereka berlanjut dengan merebut emas nomor yang sama pada Asian Games Jakarta-Palembang 2018. Secara keseluruhan tim itu tak terkalahkan sejak Kejuaraan Dunia Pencak Silat 2015 hingga Asian Games 2018.
Namun, di SEA Games Filipina 2019, ketiganya tertunduk lesu. Rentetan gelar itu seperti tak berbekas saat mereka tampil di Subic Exhibition and Convention Center, Subic, Senin (2/12/2019). Bukan hanya gagal mempertahankan perolehan emas, tim yang telah dibentuk sejak 2010 itu pun gagal merebut medali.
Walau tampil relatif tanpa kesalahan elementer selama tiga menit penampilan, lima juri hanya memberikan mereka total skor 451. Dengan skor itu, mereka terlempar dari tiga besar. Medali emas direbut Singapura dengan skor 466, disusul tim Thailand (458), dan Malaysia (453).
Nunu mengaku tidak tahu persis di mana letak kesalahan dalam final itu. Mereka sudah menampilkan semua kemampuan seperti saat mengikuti SEA Games 2017 dan Asian Games 2018. Bahkan, kata pelatih Acep Solihin, kemarin adalah salah satu penampilan terbaik tim tersebut. Mereka dinilai sangat tenang tetapi tetap menunjukkan irama, tenaga, dan ketepatan gerakan dengan baik.
Secara keseluruhan, nilai itu adalah skor terendah yang pernah didapat tim tersebut selama karier mereka di dunia internasional. Skor tertinggi yang pernah mereka dapat adalah 472 saat memenangi Kejuaraan Dunia 2015. Sebelumnya, skor terendah mereka adalah 466 pada SEA Games 2017.
”Sesulit-sulitnya SEA Games dua tahun lalu, kami tetap yang terbaik. Itu karena kami masih yang terbaik di nomor ini. Namun, kali ini, kami benar-benar dikerjai oleh juri. Kami mencoba menerima kekalahan ini tetapi tidak bisa pula menyembunyikan kekecewaan pada kinerja juri,” ujarnya.
Pada hari pertama pencak silat SEA Games 2019, Indonesia mengikuti tiga nomor. Indonesia menurunkan Dino Bima Sulistianto (22) di seni individu dan pasangan Dede Setiadi- Hadir Agung Faletehan di pasangan. Indonesia yang menargetkan sekurangnya satu emas harus puas hanya dengan medali perunggu yang diraih Dino dengan skor 460. Emas diraih oleh atlet Filipina, Edwar Tacwel (470), dan perak oleh pesilat Singapura, Muhammad Iqbal bin Abdulrahman (461). Hasil itu menjadi emas pertama Filipina di nomor pencak silat seni.
Adapun tim ganda putra yang tampil cukup apik juga gagal merengkuh medali. Mereka hanya mendapatkan skor 559. Skor itu jauh di bawah Malaysia yang meraih emas dengan skor 564, Filipina dengan skor 564, dan Laos yang meraih perunggu dengan skor 562.
Tinggi subyektivitas
Dino menuturkan, nomor pencak silat seni memang tinggi unsur subyektivitas. Kerap kali, nomor itu menguntungkan tuan rumah. Tak heran, Filipina bisa merebut emas nomor seni untuk pertama kalinya.
”Bukannya meragukan kapasitas juri maupun atlet tuan rumah. Tetapi, saya sering bertemu dengan atlet Filipina itu. Beberapa kali dia berada di bawah saya. Bahkan, pertengahan tahun ini, dia sempat berlatih di Jakarta dan saya sering mengkoreksi gerakannya,” katanya.
Sebelum perlombaan hari pertama dimulai, sempat ada insiden sejumlah wasit juri asal negara lain terlambat tiba di arena. Tiga perwakilan wasit juri Indonesia misalnya. Panitia membelikan tiket untuk berangkat dari Jakarta ke Manila dengan penerbangan transit di China pada Sabtu (30/11/2019). Ternyata, penerbangan transit itu butuh visa. Karena tidak sempat membuat visa, tiga wasit juri itu pun batal berangkat pada tanggal tersebut.
Ketua Kontingen (CdM) Indonesia Harry Warganegara pun membelikan tiket pengganti. Namun, tiket tercepat yang didapat adalah penerbangan dari Jakarta ke Manila pada Senin (2/12) dini hari. Akibatnya, sampai perlombaan dimulai, hanya satu wasit juri Indonesia yang sudah ada di arena, sedangkan dua orang baru tiba siang hari. Andai tidak ada sama sekali perwakilan Indonesia, situasinya akan semakin merugikan tim Merah-Putih.
Kontingen silat Indonesia pun tak kuasa meluapakan kekecewaan. Bahkan, pesilat Indonesia untuk nomor tanding kelas D (60-65 kilogram) Hanifan Yudani Kusumah berteriak bahwa situasi tak kondusif itu akan membuat pencak silat sulit menembus Olimpiade. ”Bagaimana mungkin silat bisa tembus Olimpiade kalau seperti ini terus?,” tutur peraih emas Asian Games 2018 itu.
Menurut Hanifan, tingkat kecurangan pada nomor seni bisa mencapai 80 persen, sedangkan tingkat kecurangan nomor tanding sekitar 50 persen. ”Saya harap Indonesia sebagai negara yang punya suara paling berpengaruh di dunia silat bisa segera mengatasi masalah ini. Kondisi ini sangat mengancam eksistensi silat di dunia internasional. Jangankan untuk tampil di Olimpiade, bertahan di Asian Games pun sulit jika situasi ini terus terjadi,” ujarnya.
Perlu terobosan
Kekecawan terhadap tingkat subyektivitas nomor seni pun diungkap tim Singapura. Pelatih nomor seni Singapura asal Indonesia, Muhamad Hamdi menyampaikan, situasi itu terjadi karena belum ada kesamaan persepsi gerakan antara para juri di setiap negara. Bahkan, hal itu juga terjadi di Indonesia. Selain itu, belum ada teknologi yang bisa mengukur perlombaan seni maupun tanding dengan presisi serta adil.
”Mungkin sebagai solusi, silat perlu belajar dari senam yang menggunakan 10 juri. Atau berkaca dari karate dan taekwondo yang punya juri sangat profesional dan benar-benar menghilangkan ego kenegaraan ketika memimpin perlombaan. Itu pula yang membuat karate dan taekwondo bisa menembus Olimpiade,” katanya.
Manajer tim silat Indonesia pada SEA Games 2019 Suwarno mengutarakan, subyektivitas selalu ada pada nomor seni atau jurus cabang bela diri. Hal itu adalah faktor yang belum bisa dihilangkan selama proses penilaian masih dilakukan secara manual.
”Sebenarnya kami sudah membuat sistem lebih baik untuk mengurangi dampak subyektivitas itu, antara lain menghilangkan skor terendah dan tertinggi dari lima penilaian wasit juri di setiap perlombaan. Namun, dampak subyektivitas itu tetap ada. Masalah itu hanya bisa dihilangkan kalau sudah ada teknologi canggih untuk menilai gerakan seni ataupun tanding dengan adil,” tegasnya.