Slamet Purwanto dan Evi L Kustanti Menyelamatkan ”Mutiara” di Ujung Utara
Pasangan suami-istri Slamet Purwanto dan Evi Lukhi Kustanti membantu anak berkebutuhan khusus agar bisa menjalani kehidupan normal di Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Mereka mendirikan yayasan sejak 2014.
Pasangan suami-istri Slamet Purwanto (35) dan Evi Lukhi Kustanti (34) menaruh cinta kepada anak berkebutuhan khusus. Mereka merintis pendirian pusat layanan anak berkebutuhan khusus di ujung utara Kalimantan Selatan untuk membantu orangtua mendampingi anak berkebutuhan khusus memasuki kehidupan normal.
Bagi Slamet dan Evi, anak berkebutuhan khusus adalah ”mutiara”. Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus tidak perlu malu dan berkecil hati dengan keberadaan anaknya. Sebab, anak-anak itu juga bisa tumbuh dan berkembang dengan baik jika mendapat pendampingan yang tepat.
”Pada akhir 2011, kami mendirikan pusat layanan anak berkebutuhan khusus di Tanjung untuk mendampingi anak-anak di Tanjung dan sekitarnya,” ujar Slamet saat ditemui di Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kamis (21/11/2019). Tanjung berjarak 232 kilometer (km) dari Banjarmasin, serta berbatasan langsung dengan wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Slamet dan Evi, yang sama-sama berasal dari Sragen, Jawa Tengah menyadari bahwa masyarakat yang tinggal di Tanjung jauh dari pusat layanan anak berkebutuhan khusus. Pusat layanan semacam itu hanya ada di Banjarmasin ataupun Balikpapan, yang berjarak sekitar 300 km dari Tanjung.
Tidak semua orangtua dengan anak berkebutuhan khusus bisa mengakses pusat layanan di kota besar karena terkendala jarak maupun biaya. ”Karena itu, kami mulai saja dulu. Niat kami, ingin membantu orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK). Apalagi, tidak semua ABK berasal dari kalangan keluarga mampu,” tutur Slamet.
Penanganan anak berkebutuhan khusus dilakukan oleh Evi, yang memang ahli di bidang okupasi terapi. Slamet yang memiliki latar belakang pendidikan teknik sipil mendukung sepenuhnya kegiatan sang istri. Ia membantu dalam urusan di luar penanganan ABK secara langsung, misalnya penyiapan tempat layanan dan pembuatan media pembelajaran.
Evi mengemukakan, ada 12 anak yang ditangani ketika pusat layanan anak berkebutuhan khusus baru buka. Untuk menangani anak-anak itu, ia dibantu dua terapis. Tidak seperti Evi, dua terapis yang membantunya itu bukanlah profesional di bidang penanganan ABK. ”Saya memberikan pelatihan kepada mereka terlebih dahulu selama tiga bulan,” ujar Evi.
Di tempat pasutri yang dikaruniai satu putri itu, anak-anak berkebutuhan khusus ditangani secara khusus dengan berbagai terapi, seperti terapi okupasi, terapi perilaku metode applied behavior analysis (ABA), terapi floor time (bermain di lantai), terapi sensory integration (integrasi sensorik), terapi berenang, dan terapi Al Quran.
Dalam proses terapi itu, orangtua anak harus terlibat. Karena itu, Evi bersama terapisnya rutin melakukan kunjungan dari rumah ke rumah (door to door) untuk memastikan orangtua melanjutkan pengajaran dari sesi terapi di rumah. ”Dengan pendekatan itu, orangtua anak juga senang karena perkembangan anaknya semakin pesat,” kata Evi.
Anak-anak berkebutuhan khusus yang sudah membaik secara emosi ataupun perilaku diberi rekomendasi untuk masuk ke sekolah umum. Sekolah umum yang semula tidak mau menerima ABK mulai bersedia menerima ABK yang sudah menjalani proses terapi.
Seiring perjalanan waktu, informasi penanganan ABK menyebar dari mulut ke mulut. Orangtua dengan anak berkebutuhan khusus makin banyak yang datang. Slamet dan Evi pun harus mencari tempat yang memadai, aman, dan nyaman bagi anak-anak. ”Kami harus lima kali berpindah tempat sebelum menempati bangunan yang digunakan sekarang,” ujar Slamet.
Gedung klinik pusat layanan anak berkebutuhan khusus yang ditempati saat ini dibangun pada 2016 dan diresmikan oleh Bupati Tabalong Anang Syakhfiani pada Januari 2017. ”Kami mendapat dukungan program CSR (corporate social responsibility) PT Adaro Indonesia untuk pembangunan gedung klinik,” ungkap Slamet.
Tidak mudah
Perjalanan pasutri Slamet dan Evi membangun pusat layanan anak berkebutuhan khusus di Tanjung tidaklah mudah. Sebelum mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah daerah serta perusahaan swasta seperti sekarang, mereka harus berjuang sendiri. Apalagi, seorang pejabat daerah kala itu sempat menafikan keberadaan ABK di Tabalong.
”Waktu itu sempat ada pernyataan dari salah satu kepala instansi bahwa tidak ada ABK di Tabalong, padahal kami sudah menangani sekitar 20 anak,” ungkap Evi.
Untuk membuktikan bahwa pernyataan pejabat daerah itu keliru, Slamet dan Evi pun mengadakan berbagai kegiatan yang melibatkan anak-anak berkebutuhan khusus. Setelah melihat anak-anak berkebutuhan khusus tampil, pejabat daerah itu akhirnya mengoreksi pernyataannya dan mengakui keberadaan ABK di Tabalong.
Setelah datang pengakuan dan mulai ada perhatian, Slamet dan Evi membentuk Yayasan Taman Mutiara Indonesia pada 2014. Yayasan itu untuk menaungi pusat layanan ABK yang sudah berjalan selama tiga tahun. ”Kami mendapat kemudahan dalam proses pengajuan bantuan setelah berbentuk yayasan,” kata Slamet.
Slamet dan Evi masih memerlukan bantuan pihak lain dalam pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus. Sebab, sebagian ABK berasal dari kalangan keluarga kurang mampu. Mereka kesulitan untuk membayar penuh biaya terapi.
”Sejak awal memberikan pelayanan, kami selalu memberikan subsidi kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu. Mereka tidak harus membayar penuh biaya terapi, atau bahkan tidak membayar sama sekali,” tutur Slamet.
Slamet dan Evi harus merogoh koceknya sendiri untuk membantu ABK dari keluarga kurang mampu. Namun, kini beban subsidi dengan dana pribadi mulai ringan karena terbantu program CSR. ”Kalau dulu, paling hanya 1-3 anak yang bisa kami subsidi. Sekarang, dengan campur tangan Adaro, ada 7-8 anak yang bisa disubsidi. Mereka tidak membayar sama sekali,” kata Slamet.
”Sejak awal memberikan pelayanan, kami selalu memberikan subsidi kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu. Mereka tidak harus membayar penuh biaya terapi, atau bahkan tidak membayar sama sekali,” tutur Slamet.
Memberdayakan
Saat ini, Pusat Layanan ABK Yayasan Taman Mutiara Indonesia menangani 66 anak. Yayasan juga menyelenggarakan pendidikan anak usia dini (PAUD) ABK. Menurut Evi, jumlah anak yang ditangani meningkat signifikan sejak 2017. Anak-anak yang ditangani tidak hanya berasal dari Tabalong, tetapi juga dari luar Tabalong, termasuk dari Kalteng dan Kaltim.
Untuk menangani anak-anak, Evi kini dibantu sembilan terapis. Semua terapis itu berasal dari Tabalong. Satu di antaranya sedang menempuh pendidikan di Pulau Jawa dan dipersiapkan untuk menjadi terapis profesional.
”Kami kesulitan mendatangkan terapis profesional ke Tabalong. Karena itu, kami memberdayakan masyarakat Tabalong untuk menjadi terapis, serta menyiapkan mereka untuk menjadi terapis profesional,” kata Slamet.
Pasutri Slamet dan Evi menginginkan pusat layanan ABK di Tabalong terus ada sampai kapan pun. Keberadaannya jangan sampai bergantung pada figur mereka berdua yang telah merintisnya. ”Pusat layanan ABK ini harus tetap berjalan dan menjadi milik umat. Tidak ada lagi alasan ABK tidak tertangani,” ujar Slamet.
Slamet Purwanto
Lahir : Sragen, 17 November 1984
Pendidikan : S-1 Teknik Sipil dari Universitas Tunas Pembangunan Surakarta
Pekerjaan : Swasta
Evi Lukhi Kustanti
Lahir : Sragen, 24 Januari 1985
Pendidikan : D-3 Okupasi Terapi dari Poltekkes Surakarta
Pekerjaan : Aparatur Sipil Negara di RSUD H Badaruddin Kasim, Tanjung
Anak : Kalyna Aldya Wirastri (6)