Setelah hampir dua dekade sejak konflik Poso, Sulawesi Tengah, berakhir, perdamaian tetap perlu dirawat. Bagi mantan Wapres Jusuf Kalla, dialog perlu terus dibangun untuk mencari jalan keluar persoalan di sana.
Oleh
Suhartono
·4 menit baca
Dini hari sekitar pukul 01.00 waktu Indonesia timur, telepon genggam tokoh Muslim Poso, H Muhammad Adnan Arsal, berdering. Ia diminta segera datang ke salah satu masjid di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Infonya, ada sejumlah anak muda yang berkumpul untuk menyerang kelompok pemuda lainnya.
Tanpa menunggu lama, pimpinan Pondok Pesantren Amanah, yang dikenal sebagai salah seorang tokoh perdamaian dalam konflik komunal di Poso pada 1998-2000, itu segera memacu sepeda motornya menuju lokasi. Di lokasi, ia langsung berbicara dengan para pemuda itu.
”Kalian mau mendengarkan saya tidak? Kalau kalian tidak mau dengar, berurusan dengan aparat keamanan sekarang juga. Namun, kalau masih mau dengar saya, bubar sekarang dan pulang. Jangan berkumpul lagi,” kata Adnan pada pertengahan November lalu saat ditemui di rumah dinas Bupati Poso Kolonel Mar (Purn) Darmin Agustinus Sigilipu.
Adnan mengenang peristiwa itu saat mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengunjungi Poso. Perdamaian Poso dan Kalla punya keterkaitan. Scott Cunliffe dkk dalam Negotiating Peace in Indonesia (2009) mengatakan, Kalla memainkan peranan penting dalam proses perdamaian di Poso. Kalla bersama Gubernur Maluku saat itu, M Saleh Latuconsina, merancang pertemuan tokoh Muslim dan Kristiani di Maluku, yang kemudian menghasilkan butir-butir kesepakatan damai Malino.
Dalam pertemuan bersama Kalla, Adnan menceritakan bagaimana beberapa kali ia mencegah masalah-masalah kecil yang berpotensi meluas menjadi konflik besar seperti awal kali pernah terjadi di Poso, dua dekade silam. Waktu itu, konflik Poso dipicu dari keributan anak-anak muda, yang meluas hingga konflik antaragama yang menewaskan banyak warga.
”Gara-gara soal sepele, senggolan, atau saling ejek, atau lainnya, konflik dapat terjadi sewaktu-waktu. Untuk itu, saya berkali-kali turun membantu menemui warga sendirian atau bersama-sama dengan Pendeta Damanik (Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah) dan tokoh agama lainnya,” kata Adnan.
Darmin Agustinus Sigilipu yang hampir empat tahun memimpin Poso mengatakan, ia bersama Wakil Bupati Poso Samsuri bahu-membahu merawat perdamaian di Poso dengan cara menunjukkan kekompakan dan kebersamaan seperti sebagai ”bapak umat”.
”Sebagai ’bapak umat’, selain mencegah konflik yang terjadi, saya dan Pak Samsuri selalu datang bersama di setiap acara-acara besar agama dan acara yang diselenggarakan, seperti Safari Ramadhan dan Safari Natal. Di acara itu, kami berdialog dan bertukar pikiran membahas persoalan untuk dapat menguatkan komunikasi antarumat beragama,” kata Darmin Agustinus Sigilipu.
Kesejahteraan
Merawat perdamaian di Poso menjadi tantangan tersendiri. Persoalan utama Poso hingga saat ini, di antaranya, kemiskinan, kesenjangan ekonomi, keadilan, dan kesejahteraan. Ekonomi Poso setelah konflik horizontal sangat terpuruk. Pertumbuhan ekonomi Poso yang semula di atas 2 persen, setelah konflik melorot minus 4 persen.
Menurut Ahmad Mardjun, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Poso, ekonomi Poso kini sudah membaik meskipun masih di bawah rata-rata nasional. Angka kemiskinan juga terus turun.
Sejak terwujudnya perdamaian di Poso dengan ditandatanganinya Deklarasi Malino I, kondisi sosial, politik, ekonomi, dan keamanan di Poso terus membaik. Deklarasi damai saat itu dimotori Kalla, yang waktu itu menjabat Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kesejahteraan Rakyat pada era Presiden Megawati Soekarnoputri. Kalla dibantu Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono.
Bagi Kalla, perdamaian di Poso tidak akan langgeng jika tak ada kegiatan usaha yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang ditopang stabilitas politik dan keamanan.
”Usaha permanen adalah merawat perdamaian dengan mengunjungi Poso, menemui dan mengajak masyarakat dan tokoh-tokohnya berdialog, serta mengetahui persoalan dan mencari jalan keluarnya sehingga masyarakat Poso tidak sendirian menghadapi persoalan.
Untuk itulah, saya datang ke Poso bertemu mereka selain melihat kemajuan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Poso Energi,” tutur Kalla.
PLTA Poso Energi dibangun PT Bukaka, anak usaha Kalla Group, milik Kalla tahun 2003. Pembangunan PLTA yang memanfaatkan Sungai Sulewana dari Danau Poso itu, kata Kalla, merupakan bagian dari janjinya kepada masyarakat Poso, setelah Deklarasi Malino, untuk menggerakkan usaha dan ekonomi, sekaligus sebagian penduduk Poso.
Kegiatan sosial
Setelah tak lagi menjadi Wapres RI mendampingi Presiden Joko Widodo, Kalla hanya ingin mengurus masalah sosial dan keagamaan. Saat ini, Kalla menjabat sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI).
Kendati begitu, Kalla tak ingin hanya beraktivitas di Jakarta. Pertengahan November lalu, ia tak hanya ke PLTA Poso Energi, tetapi juga ke Rumah Sakit Sinar Kasih di Tentena, Poso. Selain itu, Kalla juga menemui tokoh perdamaian Poso dari kelompok Nasrani.
Selanjutnya, Kalla antara lain menyambangi Makassar, Sulawesi Selatan, untuk memberi orasi soal deradikalisasi dan Islam moderat di Universitas Islam Negeri Alauddin, menengok PLTA Malea Energi di Tana Toraja, dan melantik pengurus DMI di Manado. ”Saya harus terus bergerak. Dengan bergerak itulah, saya terus sehat,” kata Kalla.